Nabila Imani Y.
Pemerhati Generasi Remaja
Ketimpangan harga antara produk dalam negeri dan import, disebabkan adanya kesenjangan biaya distribusi laut jalur domestik dan internasional. Karena itu pemerintahan Presiden Joko Widodo mencanangkan Program Tol Laut. Setelah kurang lebih empat tahun lamanya beroperasi, bagaimana kabar Tol Laut Indonesia kini?
Benarkah cita-cita pemerintahan saat ini terkait mobilitas barang, mobilitas manusia, serta turunnya biaya logistik untuk transportasi laut sudah tercapai?
Yang dimaksud Tol laut adalah bagaimana terjadinya konektivitas antara pelabuhan satu dengan lainnya. Pada tahun 2014, pemerintah menetapkan 24 pelabuhan tol laut. Tujuh pelabuhan utama yang akan dilalui diantaranya adalah pelabuhan Kuala Tanjung (Sumatra Utara), Batam, Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Soekarno Hatta (Makassar), Bitung, dan Sorong (Papua).
Dalam proses perjalanannya, Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menilai tuduhan pemerintah bahwa ada swasta yang melakukan monopoli terhadap aktivitas tol laut menunjukkan ada upaya mencari ‘kambing hitam’ untuk menutupi kegagalam program tersebut. Dia menilai pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang menjadikan swasta sebagai kambing hitam kegagalan tol laut menunjukkan sistem tol laut banyak kelemahan yang tidak mau diakui sejak awal oleh Kemenhub. Apalagi jelasnya, tidak ada alat kontrol dalam menjalankan subsidi tol laut. Dia mengaku heran setelah berjalan 5 tahun, pemerintah baru menyadari kelemahan tol laut.
Di lain hal, Presiden Joko Widodo menyatakan proyek Tol Laut saat ini masih dikuasai oleh pihak swasta dan tidak sesuai dengan tujuan pemerintah membangun Tol Laut. Presiden Jokowi menjelaskan dengan kondisi saat ini perusahaan swasta justru bebas menentukan harga barang ke daerah yang dilalui Tol Laut. Beliau keluhkan transportasi tol laut dikuasai oleh pengiriman barang-barang dari perusahaan swasta. Hal itu berdampak buruk bagi harga penggunaan tol laut. Oleh karena itu, Jokowi meminta penyelesaian untuk memberikan kompetitor dalam pengaturan harga. (m.kontan.co.id/30/10/2019)
Bahkan Menhub Budi Karya menilai ada praktik monopoli di pengiriman barang melalui rute tol laut. Ada oknum yang menguasai pasar. Hal itu budi sampaikan di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (30/10/2019). Menurutnya, oknum tersebut melakukan monopoli dengan menguasai jalur tol laut. Oknum tersebut menguasai pengiriman barang rute tol laut Surabaya yang menjadi akses ke NTT, Maluku, dan Papua. Untuk antisipasi praktik monopoli, Budi akan menggunakan sistem pemasaran terbuka pada tol laut.
Oleh karenanya untuk mencegah praktik monopoli yang terjadi, maka pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mengajak perusahaan swasta baru yaitu aplikasi Gojek untuk ikut terlibat dalam layanan transportasi tol laut. Gojek diajak kerja sama terkait Digitalisasi Pelayanan untuk mempermudah pemesanan kontainer dan berbagi muatan secara adil kepada shipper di daerah Terpencil, Tertinggal, Terluar dan Perbatasan (m.liputam6.com/03/11/2019).
Adapun enam perusahaan yang terlibat dalam proyek tol laut diantaranya tiga BUMN dan tiga pelayaran swasta yang ditetapkan sebagao operator yang melayani 18 trayek Tol Laut pada 2019. Keenam perusahaan itu adalah PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero), PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), PT Djakarta Lloyd (Persero), PT Mentari Sejati Perkasa (Mentari Lines), PT Pelayaran Tempuran Emas Tbk. (Temas Line), dan PT Pelangi Tunggal Ika (m.bisnis.com 04/04/2019).
Tol laut seharusnya menjadi solusi dari tingginya harga komoditas bahan pokok di wilayah Indonesia Timur. Sebab selama ini harga barang di wilayah pelosok Indonesia terbilang mahal karna sulit dijangkau oleh arus logistik.
Namun, faktanya jauh dari memberikan jawaban, justru kian mengundang banyak pertanyaan. Ini bukan soal bagaimana pemerintah dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi bagi bangsa ini, tetapi soal siapa yang diuntungkan oleh pertumbuhan itu? Untuk siapa sesungguhnya pembangunan infrastruktur itu ada? Benarkah untuk rakyat?
Pembangunan jalan tol laut sejatinya bukan menjadi satu-satunya solusi untuk menurunkan harga komoditas barang, tetapi justru untuk kepentingan para kapitalis . Jika demikian, cukuplah menambah panjang catatan kebobrokan sistem negeri ini yang notabene menerapkan sistem sekuler kapitalisme yang jelas-jelas memberi banyak kesengsaraan rakyat dan menambah keuntungan hanya bagi para pemilik modal saja.
Lihat saja, seperti yang dikatakan Ahli Ekonom Faisal Basri bahwa proyek tol laut belum memberikan dampak signifikan pada penurunan harga barang. Dia mengakui, memang biaya atau ongkos angkutan yang menjalankan program tersebut sudah dapat ditekan, karena diberikan subsidi. Namun, penurunan ongkos tersebut hanya dinikmati oleh para pedagang dan tidak berdampak pada penurunan harga. Dengan demikian disparitas harga antara satu wilayah dengan wilayah lain masih terjadi (m.merdeka.com)
Nyata, proyek-proyek pembangunan infrastruktur komersial seperti jalan tol laut hanyalah untuk melayani akses rantai pasok global para kapitalis dan tidak memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan rakyat, dan malah menjadi jalan tol bagi ‘dagangan politik’ para elite. Rakyat hanya menjadi korban kapitalisme di atas altar eksploitasi tanpa batas.
Sekiranya kita bisa melirik dan mencontoh sistem yang paripurna yang datangnya dari Yang Maha Sempurna. Ialah sistem Islam. Bagaimana dengan islam mengatur persoalan ini?
Terdapat empat aturan umum terkait pembangunan infrastruktur publik dalam islam. Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara. Kedua, adanya kejelasam terkait kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat, juga kepastian jalannya politik ekonomi secara benar. Ketiga, rancangan tata kelola ruang dan wilayah dalam negara Khilafah didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi. Keempat, pendanaan pembangunan infrastruktur Khilafah berasal dari dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Hal itu sangat memungkinkan karena kekayaan milik umum dan kekayaan milik negara memang secara riil dikuasai dan dikelola oleh negara. Jikapun Baitul Mal tidak ada dana, baik karena terkuras misalnya untuk peperangan, bencana ataupun yang lain, namun proyek infrastruktur tersebut memang vital dan dibutuhkan dalam kondisi seperti ini, negara bisa mendorong partisipasi publik untuk berinfak. Jika tidak cukup, maka kaum Muslim, laki-laki, dan mampu dikenakan pajak khususuntuk membiayai proyek ini hingga terpenuhi.
Sistem ekonomi Islam meniscayakan sebuah negara sebagai pengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya dalam Sumber Daya Alam seperti tambang emas, batu bara, perhutanan, perkebunan, dsb. Sehingga Negara mampu membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik. Dengan pengelolaan kekayaan umum dan kekayaan negara yang benar berdasarkan aturan islam, menjadikan sebuah negara membiayai penyelenggara negara tanpa harus berhutang ataupun proyek diserahkan kepada swasta.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan sistem ekonomi demokrasi kapitalis seperti sekarang ini yang berujung dan bertumpu pada perusahaan swasta. Dimana Negara menjadikan dirinya hanya sebagai regulator semata dengan menyerahkan proyek negara yang menjadi kebutuhan umat untuk dikelola oleh pihak swasta.
Maka masihkah kita mempertahankan sistem pemerintahan hari ini? Tidakkah kita meyakini pada sistem Islam yang sempurna dan terbukti pernah diterapkan selama 1300 tahun yang wilayahnya membentang di sepanjang 2/3 dunia? Saatnya kita kembali kepada aturan Allah Yang Maha Kuasa atas dunia ini, maka sudah selayaknya Ia Maha Mengetahui akan segala aturan kebutuhan manusia.
Wallahu a’lam bishshawwab.