Awas! Indonesia Darurat Stunting



Oleh :
Ratna Kurniawati

Satu dari tiga anak Indonesia menderita gagal tumbuh akibat kurang gizi kronis atau disebut stunting. Bertahun-tahun angka tersebut tidak kunjung membaik. Jika tidak ditangani secara sistematis dalam bentuk gerakan nasional yang melibatkan seluruh komponen bangsa, di masa depan kondisi tersebut akan membuat daya saing anak Indonesia tertinggal dari negara-negara lain.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 30,8%. Artinya, 1 dari 3 balita (1/3 balita) mengalami stunting/kerdil. Data Kementerian Kesehatan mencatat prevalensi stunting tersebut terdiri atas balita yang memiliki badan sangat pendek 11,5% sementara dengan tinggi badan pendek mencapai 19,3%.

Angka prevalensi stunting di Indonesia masih jauh di atas ambang yang ditetapkan WHO. Lembaga tersebut menetapkan batas toleransi stunting (bertubuh pendek) maksimal 20 persen atau seperlima dari jumlah keseluruhan balita. Dengan tingginya angka stunting tersebut, WHO menetapkan Indonesia sebagai negara berstatus gizi buruk.
Stunting dan Dampaknya
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak berusia 2 tahun. Masalah balita pendek dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita.
Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia. Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata.
Upaya Intervensi
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai “periode emas”, “periode kritis”, dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai “window of opportunity“. Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi.
Program pemerintah untuk mencegah stunting:
Pemerintah juga telah memiliki program resmi untuk menangani masalah stunting, seperti pada Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, ada 13 kementerian yang sesuai tugas pokok dan fungsinya melakukan pencegahan stunting. Pemerintah sampai tahun 2019, menetapkan 160 Kabupaten/Kota yang menjadi daerah prioritas penanganan stunting yang melingkupi 1.600 desa.
Berikut 4 program pemerintah untuk mencegah stunting:
1. Peningkatan Gizi Masyarakat melalui program Pemberian makanan tambahan (PMT) untuk meningkatkan status gizi anak. Kementerian Kesehatan merilis, 725 ribu ibu hamil yang mendapatkan PMT untuk ibu hamil dan balita kurus di Papua dan Papua Barat, Surveilans Gizi pada 514 Kabupaten/Kota dan Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) pada 514 Kabupaten/Kota.
2. Sanitasi berbasis Lingkungan melalui peningkatan kualitas sanitas lingkungan di 250 desa pada 60 Kabupaten/Kota, dengan target prioritas pada desa yang tingkat prevalensi stuntingnya tinggi. 
3. Anggaran setiap desa dalam program ini sebesar 100 juta, dengan target minimal 20 KK terlayani jamban individu sehat dan cuci tangan pakai sabun dan kebijakan yang menyasar kepada warga miskin agar ada perubahan perilaku.
4. Pembangunan infastruktur. Pemerintah membangun infrastruktur air minum dan sanitasi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, salah satunya mencegah stunting. Dalam empat tahun telah membangun Instalansi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Tempat Pengolahan Air (TPA), dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS).
Target belum tercapai
Meski pemerintah berupaya menurunkan angka stunting dengan berbagai program yang ada, namun penurunannya belum mencapai target. Tahun 2017, angka prevalansi stunting berada pada kisaran 29.6%. Tahun 2016 berkisar 27.5%, 2015 berkisar 29%, dan 2014 berkisar 28.9% (katadata.co.id, 16/18/19). Meski pada tahun 2016 prevalensi stunting bisa dibawah 28%, namun di tahun berikutnya malah mengalami kenaikan menjadi 29.6%. Tahun 2018 prevalensinya meningkat di angka 30.8%. Penyebabnya karena masalah stunting ini selain kompleks juga sistemik.

Sehingga semua solusi yang digencarkan pemerintah tidak akan menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Karena solusi tersebut dilaksanakan di bawah sistem kapitalis yang justru menjadi akar segala permasalahan. Tak dapat dipungkiri bahwa di era kapitalis sekuler ini, sulit bagi masyarakat untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya. Harga bahan pokok yang semakin membumbung tinggi, berdampak pada sulitnya masyarakat memperoleh bahan makanan yang sesuai dengan syarat dan memenuhi standar gizi keluarga. Oleh karena itu, tak sedikit kasus gizi buruk, diakibatkan karena kurangnya daya beli masyarakat akan makanan yang bergizi. Kurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat berperan dalam terjadinya kasus stunting ini.

Di samping itu, beban ekonomi yang semakin hari semakin menghimpit, memaksa wanita terjun ke dunia kerja untuk ikut menambah penghasilan keluarga. Peran wanita sebagai ibu, pengelola rumah tangga dan madrasatul ula bagi anak-anaknya, kadang terabaikan karena peran tambahan ini. Apalagi dengan dalih emansipasi yang diserukan para feminis, menyebabkan wanita sibuk mengejar karir dan mengabaikan hak anak. Tak jarang, pengasuhan anak terbengkalai, pasokan gizi anak pun kadang luput dari perhatian.
Islam mengatasi stunting
Kasus gizi buruk dan stunting  merupakan kewajiban negara untuk mengatasinya. Karena merupakan bagian dari tanggung jawabnya. Berdasarkan hadits: " Kamu semuanya adalah penanggungjawab atas gembalanya. Maka, pemimpin adalah penggembala dan dialah yang harus selalu bertanggungjawab terhadap gembalanya.”  (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Ibnu Umar).
Di dalam sistem ekonomi islam, negara wajib memperhatikan kesejahteraan setiap individu rakyatnya agar terpenuhi kebutuhan pokoknya. Baik itu kebutuhan akan pangan, sandang, maupun papan. Juga kebutuhan tambahan berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Karena itulah makna sejahtera. Dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok dan tambahan individu per individu rakyat, mustahil terjadi kasus stunting dalam negara yang menerapkan sistem islam ini. Di samping itu, negara akan menyerukan kepada setiap warganya terutama para orang tua agar memberikan perhatian dalam pengasuhan anaknya.
Karena dalam islam, fungsi negara adalah sebagai ra'in (pengurus) warga negaranya baik muslim dan non muslim. " Seorang pemimpin adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab terhadap peliharaannya" (HR. Imam Bukhari dan Muslim). Pemimpin benar-benar bertanggung jawab atas rakyatnya. Bukan sebagai regulator atau fasilitor semata seperti dalam sistem kapitalisme saat ini. Dimana pemenuhan kebutuhan hidup diserahkan pada masing-masing individu rakyat.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak