Oleh : Irayanti
(Pemerhati Sosial Politik)
Setiap manusia diciptakan untuk berpasang-pasangan. Jatuh cinta adalah fitrah manusia, dan menikah adalah ikatan suci untuk menyatukan 2 jiwa. Jika syarat agama dan hukum sudah terpenuhi, mengapa menikah harus perlu disertifikasi? Sebelumnya, menikah tanpa embel-embel sertifikat namun sekarang wacana sertifikasi layak kawin mulai tersiar.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi akan mencanangkan program sertifikasi perkawinan bagi calon pengantin. Pasangan yang akan menikah harus dibekali pemahaman yang cukup tentang pernikahan. Salah satu pengetahuan yang harus mereka miliki adalah tentang ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi. Pengetahuan soal pernikahan yang cukup, diharapkan dapat menekan angka perceraian. (Tempo.com, 14/11/2019)
Klaim Sertifikasi Nikah
Sertifikat layak kawin adalah sertifikat yang diberikan kepada calon pengantin yang telah lulus dan merupakan upaya negara dalam membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan dan berkeadilan. Pasangan yang sudah menikah diharapkan mampu membangun keluarga sejahtera, dan berguna bagi bangsa. Serta terciptanya ketahanan keluarga dengan prinsip keadilan, kesetaraan dan ini sangat didukung oleh pegiat gender. Pengelola dan pembekalan dilakukan oleh Kementerian Agama dan Kementerian Kesehatan.
Sertifikasi nikah dilakukan pemerintah dengan beberapa tujuan.
Pertama, memastikan calon pengantin faham pengetahuan dasar tentang kesehatan keluarga,
Kedua, perbaikan program pranikah yang sudah ada. Karena sebelumnya hanya sebatas hak dan kewajiban suami istri.
Ketiga, menekan angka penyakit berbahaya pada anak misalnya stunting. Stunting adalah kondisi tinggi badan anak lebih pendek dibanding tinggi badan anak seusianya. Di Indonesia, kasus stunting masih menjadi masalah disebabkan oleh kekurangan gizi kronis dengan manifestasi kegagalan pertumbuhan (growth faltering) dimulai sejak masa kehamilan hingga anak berusia 2 tahun.
Keempat, menekan angka perceraian.
Kelima, menekan angka pernikahan dini.
Rencana dari sertifikasi ini adalah berupa kelas atau bimbingan pranikah yang dilaksanakan selama tiga bulan Pasangan yang belum lulus sertifikasi tidak diizinkan menikah. Sertifikasi ini akan diterapkan pada tahun 2020.
Wacana sertifikasi yang diwacanakan oleh Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi menimbulkan pro kontra. Wacana sertifikasi ini malah justru mempersulit aturan pernikahan dan memberatkan warga untuk melaksanakannya. Pemerintah sebaiknya mengkaji ulang wacana tersebut. Saat ini masalah pergaulan bebas, prostitusi, aborsi dan kejahatan seksual lainnya masih marak dan belum ada solusi tuntas untuk mengatasinya. Ekonomi yang kian melemah namun para TKA China tanpa keahlian menjamur di ibu pertiwi, mengapa tidak menjadi fokus pemerintah?
Akar Masalah
Pemerintah seharusnya tidak masuk dalam ranah privat masyarakat dengan menambah persyaratan pernikahan dalam kelas pra nikah. Apabila pasangan yang tidak lulus kelas pra nikah dan tidak mendapat sertifikasi, dikhawatirkan akan melakukan perzinahan. Diluaran sana banyak pasangan yang belum menikah sudah terbebani dengan biaya pernikahan tetapi malah harus memikirkan lagi mengikuti sertifikasi nikah. Belum lagi pergaulan bebas yang kemudian berakibat aborsi, pembunuhan, serta munculnya penyakit yang lebih berbahaya seperti HIV-AIDS, dari pada alasan adanya sertifikasi nikah yaitu penyakit stunting. Stunting sendiri akibat rendahnya tingkat ekonomi rumah tangga yang bersumber dari negara yang tak mampu mensejahterakan masyarakatnya sendiri dan malah menyejahterakan para TKA China yang tidak kompeten.
Tujuan sertifikasi nikah yang salah satunya memahamkan tentang kesehatan jika kita telaah, seharusnya pemahaman seperti itu bisa dilakukan di lingkungan sekolah dimana ada pelajaran IPA dan Agama yang akan menjelaskan tentang kesehatan tanpa harus menunggu ketika ingin menikah. Sayangnya pendidikan di negeri kita adalah pendidikan yang memisahkan agama dari kehidupan dan menjadikan hidup dengan pemahaman kebebasan atau liberalisme. Dengan adanya sertifikasipun tidak akan menjamin penurunan angka perceraian terlebih prinsipnya adalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Alhasil ketahanan keluarga bukan lagi dengan ketakwaan kepada Pencipta. Prinsip keadilan dan kesetaraan adalah salah satu wujud dari akar sistem liberal- sekuler saat ini.
Di era kapitalistik saat ini, ketahanan keluarga tak cukup disiapkan oleh individu dengan tambahan pengetahuan dan keterampilan, tapi membutuhkan daya dukung negara dan sistemnya yang terintegrasi untuk menanamkan takwa kolektif, iklim ekonomi yang kondusif bagi pencari nafkah keluarga, jaminan kesehatan berkualitas dan gratis serta peran media yang steril dari nilai liberal. Sayangnya sistem di negeri kita adalah biang kerok dari segala problematika yang ada. Bukan menyelesaikan masalah malah menambah masalah yang lain.
Solusi Cinta bagi Ibu Pertiwi
Pernikahan adalah pengaturan interaksi antara dua jenis kelamin yakni pria dan wanita dengan aturan yang khusus. Dengan adanya pernikahan terbentuklah institusi keluarga yang menjadi institusi terkecil dalam pembangunan sebuah negara. Solusi yang tepat untuk berbagai permasalahan yang ada bukanlah dengan selembar kertas sertifikat pra nikah yang diklaim oleh pemerintah akan melahirkan generasi yang baik bagi ibu pertiwi.
Liberalisme atau pemahaman kebebasan yang menjadi biang kerok negeri ini harus dituntaskan. Dalam Islam pendidikan tentang berumah tangga ataupun hubungan antara lawan jenis bukanlah dipahamkan dan diajarkan saat menjelang pernikahan tetapi jauh sebelumnya. Dalam Islam keluarga dan negara saling bahu membahu untuk mencetak generasi peradaban yang luarbiasa dengan beberapa cara. Pertama, penguatan aqidah adalah yang paling penting. Agar seseorang tahu apa tujuan ia hidup bahwa hidup bukanlah sekedar untuk menikah tetapi adalah untuk menggapai ridho Allah. Penguatan akidah menjadikan anak paham akan syariah.
Kedua, selain penguatan akidah orangtua juga memberikan pendidikan seksualitas. Pendidikan seks dalam Islam berbeda dengan cara pandang barat. Pendidikan seks ala barat hanya berkisar pada alat reproduksi, bagaimana melakukan seks yang aman. Sementara Islam sudah mengajarkan sejak dini seperti pengenalan jenis kelamin, berperilaku sesuai jenis kelamin, menutup aurat, mengharamkan zina, tidak berikhtilat(campur baur antar lawan jenis non mahrom) dan berkhalwat (berdua-duaan dengan non mahrom), yang akan diberikan secara bertahap sesuai usia.
Ketiga, menanamkan anak agar tumbuh menjadi anak mandiri khususnya pada anak laki-laki sehingga mampu untuk bekerja.
Negara pun bertugas menyediakan sarana, prasarana pendidikan yang memadai, layanan kesehatan yang cuma-cuma, menyediakan lapangan kerja, mengawasi masyarakat hingga memberikan hukuman sesuai dengan syariah. Alhasil kembali menjadikan Islam sebagai aturan hidup adalah solusi cinta yang tepat untuk ibu pertiwi. Karena menikah adalah bentuk cinta. Maka menyatukan secara sah 2 insan manusia yang saling cinta tidak perlu dihambat dengan selembar sertifikasi
Wallahu a’lam bish showwab