Oleh :
Tiara (Pelajar & Aktivis Remaja)
Kami katakan padamu Tuan,
Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Tuan boleh membungkam media, tapi kami
akan terus mengabarkan pada dunia, seperti inilah wajah Indonesia.Tuan, yang
terjadi di Wamena bukan lagi kerusuhan biasa. Yang terjadi di sana adalah
Tragedi Kemanusiaan. Yang kekejiannya bahkan tak sanggup kami lukiskan dengan
kata-kata. Tuan, jika untuk seorang Jacques Chirac Tuan bisa mengucap belasungkawa,
mengapa untuk rakyat Tuan sendiri tak ada ungkapan duka cita?. Rakyat Minang
tengah berduka, rakyat Bugis juga berduka. Adik-adik Mahasiswa sampai STM sudah
bersuara. Tapi Tuan malah asyik bersepeda keliling istana.
law-justice.co -Kisruh Papua 2019
tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat. Mungkin kisruh tersebut akan
berlangsung lebih lama hingga 1 Desember 2019, sebuah hari yang rutin dirayakan
sebagai “Hari kemerdekaan Papua” oleh para nasionalis dan simpatisan Papua
merdeka. Atau, boleh jadi kisruh Papua akan berlanjut di tahun 2020, yang akan
menjadi malam-malam yang panjang dan menakutkan (mimpi buruk) terutama bagi
para pendatang yang hanya datang mengais kehidupan di Papua.
Wamena
telah berubah menjadi lautan api dan darah. Tragis! Pembantaian secara sadis
dan tidak manusiawi telah dipertontonkan dengan telanjang. Kali ini, kisruh
Wamena telah menyebabkan kematian sejumlah 33 jiwa dan 77 orang luka-luka. Selain itu, sekitar
10.000 orang mengungsi ditempat titik yang berbeda. Bahkan kebanyakan mereka
berupaya melakukan eksodus besar-besaran untuk keluar dari Wamena. Belum lagi
kerusakan fisik akibat kebrutalan massa. Mereka membakar 5 perkantoran, 80
mobil, 30 motor dan 150 ruko.
Kerusuhan yang cukup membara tersebut faktanya justru sepi dari
pemberitaan baik media televisi maupun media sosial. Media memang diarahkan
untuk lebih tertarik dengan demonstrasi mahasiswa. Meskipun demo mehasiswa juga
hal penting, tapi kejadian di Wamena jangan dianggap remeh. Selain korbannya
cukup besar, kisruh di sana berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan.
Pertanyaannya, dimana negara? Dikala ancaman disintegrasi bangsa sudah di depan
mata. Tuntutan referendum dan Papua merdeka bahkan sudah menjadi pembicaraan di
forum internasional.
Masalah
berulang yang terjadi di Wamena merupakan potret bahwa negara ini tidak pernah
hadir di tanah Papua. Ada yang split dengan permasalahan Papua yang sudah
kronis. Pemerintah telah gagal menyembuhkan setiap luka dan sakit yang ada di
sana. Bahkan terkesan dibiarkan. Konflik kepentingan sebenarnya sudah terjadi
sejak penandatanganan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang menetapkan
penyerahan Papua Barat dari Belanda ke Indonesia. Namun, Pemerintah Indonesia
tidak pernah mampu mengusir cengkeraman kekuatan asing di bumi Cendrawasih.
Padahal
masalah Papua kini tengah mencekam, kerusakan dimana-mana , banyak korban
meregang nyawa tetapi rezim tutup mata dan telinga. Apakah mereka menganggap
masalah ini hanya drama sinetron semata yang akan berakhir dengan bahagia dalam
waktu singkat?!. Wahai penguasa Jangan hanya menyibukkan dirimu dengan bagi-bagi
jabatan dan sidang prosedural sampai lupa bahwa negaramu kini sedang tidak
baik-baik saja. Dahulukanlah soal kemanusiaan di Papua bukan dahulukan
pelantikan anda!
Pemerintah
telah gagal melindungi dan mempertahankan keutuhan negaranya sendiri,
pemerintah gagal membangun SDM Papua agar kualifikasinya merata dan setara
hingga mampu mandiri membangun wilayahnya. Harapan itu jelas sulit dipenuhi
oleh rezim yang hanya bekerja untuk para kapital, kepada mereka yang berani
bayar. Inilah situasi yang telah terjadi di negara ini, kita telah terkurung
oleh sistem kapitalisme-liberal.
Sekarang
semua tau hanya Islam yang serius menata kemanusiaan, persatuan, kepemimpinan
dan juga keadilan sosial, sebab Islam
itu rahmat. Hanya kepemimpinan Islam lah yang dapat menyatukan Papua dan
mengatasi masalah Papua hingga ke akar-akarnya termasuk makar asing.
Wallahu a’lam bishawab
Tags
kemanusiaan