Wamena Berdarah, Nasib Tak Tentu Arah




Oleh: Nunung Purwaningsih,  S.E


Wamena adalah sebuah kota yang berada di Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua, Indonesia, sekaligus merupakan ibu kota kabupaten tersebut. Wamena merupakan satu-satunya kota terbesar yang terletak di pegunungan tengah Papua. (Wikipedia)

Aksi damai yang berujung ricuh kembali terjadi di Wamena, Jayawijaya, Papua pada Senin (23/9/2019) lalu. Sejumlah kantor pemerintahan dan warga terbakar.Tercatat puluhan orang menjadi korban dalam kerusuhan tersebut. Tak hanya penduduk asli, masyarakat dari luar Papua pun turut menjadi korban. Bahkan tak sedikit masyarakat dari luar kota tersebut untuk sementara waktu pulang ke kampung halamannya. (suara.com) 

Wamena kembali bersimbah darah, dulu pada tahun 2000 peristiwa serupa sudah pernah terjadi sehingga darinya pemerintah bisa belajar banyak. Trauma dan dendam konflik horizontal menyebabkan ketakutan dan ketidak tenangan dalam hidup. Konflik tersebut adalah antara pendatang dengan pribumi. Namun sangat disayangkan, respon pemerintah khususnya kepala negara sangat lambat. Mulai dari upaya pencegahan dan antisipasi pertumpahan darah yang potensinya begitu nyata, hingga upaya penyelamatan dan penanganan korban. 

 Nasib wamena sungguh sangat menyedihkan, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Adanya trauma karena kekerasan fisik dan psikis, kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, dan bahkan orang-orang yang dicintai harus hidup terlunta-lunta di tempat pengungsian dengan fasilitas pemenuhan hajat hidup yang jauh dari memadai. Namun, inilah yang diderita ribuan jiwa kerusuhan Wamena.

Adanya pemenuhan hajat publik yang  buruk, merupakan disfungsi negara, yakni regulator bagi kepentingan korporasi, sehingga semua hajat hidup publik dalam kendali korporasi. Baik pangan, sandang, dan papan. Begitu juga dalam sistem pelayanan kesehatan, pendidikan, air bersih, energi, dan transportasi. Hasilnya, sebagaimana tampak negara lemah dari berbagai aspek juga logistik menghadapi kondisi darurat seperti ini.

Dengan adanya otonomi daerah menjadikan kekuatan bangsa jadi terkerat kerat dalam ikatan kesukuan dan kedaerahan. Sehingga setiap kepala daerah bisa menentukan kebijakan sendiri. 

 Sangat berbeda dengan sistem Islam bahwa pelaksanaan syariat Allah SWT sebagai inti politik dalam negeri tidak mengenal fungsi regulator, bahkan diharamkan. Juga tidak mengenal desentralisasi kekuasaan, yang ada hanyalah sentralisasi kekuasaan dan administrasi yang terdesentralisasi.

Fungsi negara secara umum selalu dikaitkan dengan kehidupan rakyat di mana mereka tinggal dengan tujuan agar sejahtera, makmur, bahagia, dan sentosa. Bung Karno sebagai pendiri negara Indonesia yang berdaulat, pernah berujar dalam autobiografinya, bahwa negara Indonesia didirikan untuk mengabdi kepada Tuhan.

Dalam Islam, negara berfungsi sebagai ria’ayah su’unil umat, yaitu sebagai pengurus urusan umat (rakyat). Negara bertugas melaksanakan kewajibannya sebagai pelayan umat, yakni memenuhi kebutuhan dasar rakyat, menyejahterakan kehidupan mereka, serta memberikan perlindungan dan keamanan bagi mereka. Jika ini terlaksana maka yang terjadi adalah keamanan dan kenyamaan hidup rakyat akan terpenuhi.  

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak