Wabah Difteri melanda, Tanggung jawab siapa?



Oleh :
Ratna Kurniawati

Sejak beberapa hari lalu, ratusan siswa MIN Malang 1 dan SMAN 7 Malang diliburkan hingga satu minggu penuh. Pasalnya, ada sekitar 212 siswa dan 15 guru-karyawan yang diduga membawa carrier atau gejala penyakit difteri. Siswa dan guru sekolah di Kota Malang positif terjangkit difteri sehingga terpaksa meliburkan aktivitas belajar mengajar di sekolah akibat penyebaran bakteri ini.
Kejadian yang cukup luar biasa ini membuat masyarakat Malang khawatir lantaran selain terjadi di salah satu sekolah favorit dengan jumlah murid yang sangat besar, kejadian ini bukanlah yang pertama. Beberapa tahun silam, kasus serupa yang menimpa sekolah lain, baik SD hingga SMA. Wabah difteri menjadi wabah penyakit yang harus ditanggapi dengan cukup serius
Wali Kota Malang Sutiaji membenarkan jika siswa dan guru di wilayahnya positif terjangkit difteri. Untuk itu, Pemerintah Kota Malang akan melakukan pemetaan sekolah mana saja yang sudah terjangkit. Pemetaan itu dilakukan untuk mengambil langkah antisipasi penyebaran dan pencegahan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynbacterium diphteriae ini. 

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria tersebut memang memiliki waktu penularan yang cukup cepat. Berbagai faktor penyebab penularan dapat ditemukan di sekitar kita. Mulai bersin, batuk, dan berbagai benda yang sudah terkontaminasi dengan bakteri ini. 
Yang membuat penyakit ini harus diwaspadai adalah tidak semua orang yang sudah terinfeksi difteri mengalami gejala yang khas. Seperti sakit tenggorokan, suara serak, batuk, pilek, dan demam menggigil. 

Kepala SMAN 7 Malang Herlina Wahyuni mengungkapkan, terjangkitnya penyakit difteri di sekolahnya berawal dari temuan seorang siswa yang terkena difteri. 
“Begitu ada anak sakit, sekolah langsung melakukan pemeriksaan pada seluruh siswa dan guru yang belajar mengajar di kelas siswa tersebut. Hasilnya, ada dua guru dan siswa yang positif sebagai carrier difteri,” ungkap Herlina.
Saat ini seluruh warga sekolah tanpa terkecuali harus memakai pakai masker agar tidak tertular. Selain itu, pihak sekolah juga telah bekerja sama dengan puskesmas untuk melakukan upaya sosialisasi dan pemberian obat pencegahan difteri.
Sebagai upaya pencegahan dan penyembuhan, seluruh siswa dan guru di SMAN 7 Malang akan mengikuti pemeriksaan usap atau swab pada Jumat (25/10) besok. Pemeriksaan itu dilakukan bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Selain swab, siswa dan guru juga diharuskan meminum obat setiap 6 jam sekali.
Kesehatan Di Era Khilafah: Pelayanan Berkualitas dan Gratis

Kesehatan dalam Islam
 
Pandangan Islam tentang kesehatan jauh melampaui pandangan dari peradaban manapun. Islam telah menyandingkan kesehatan dengan keimanan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Mintalah oleh kalian kepada Allah ampunan dan kesehatan. Sesungguhnya setelah nikmat keimanan, tak ada nikmat yang lebih baik yang diberikan kepada seseorang selain nikmat sehat.” (HR Hakim).
 
Rasulullah saw. juga bersabda yang artinya, “Orang Mukmin yang kuat itu lebih baik dan disukai Allah daripada Mukmin yang lemah.” (HR Muslim).
 
Dalam Islam, kesehatan juga dipandang sebagai kebutuhan pokok publik, Muslim maupun non-Muslim. Karena itu, Islam telah meletakkan dinding yang tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan. Dalam Islam, negara (Khilafah) bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga negara. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
 
Tugas ini tidak boleh dilalaikan negara sedikitpun karena akan mengakibatkan kemadaratan, yang tentu diharamkan dalam Islam.
 
Kesehatan Gratis untuk Semua
Layanan kesehatan berkualitas dijamin ketersediaannya. Semunya digratiskan oleh negara bagi seluruh warga negara yang membutuhkannya, tanpa membedakan ras, warna kulit, status sosial dan agama, dengan pembiayaan bersumber dari Baitul Mal. Hal ini terlihat dari apa yang dilakukan Rasulullah SAW kepada delapan orang dari Urainah yang menderita gangguan limpa. Saat itu mereka datang ke Madinah untuk menyatakan keislamannya. Mereka dirawat di kawasan pengembalaan ternak kepunyaan Baitul Mal, di Dzil Jildr arah Quba’. Selama dirawat mereka diberi susu dari peternakan milik Baitul Mal. Demikian pula yang terlihat dari tindakan Khalifah Umar bin al-Khaththab. Beliau mengalokasikan anggaran dari Baitul Mal untuk mengatasi wabah penyakit Lepra di Syam.
 
Banyak institusi layanan kesehatan yang didirikan selama masa Kekhilafan Islam agar kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi. Di antaranya adalah rumah sakit di Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8000 tempat tidur, dilengkapi dengan masjid untuk pasien dan chapel untuk pasien Kristen. Rumah sakit dilengkapi dengan musik terapi untuk pasien yang menderita gangguan jiwa. Setiap hari melayani 4000 pasien. Layanan diberikan tanpa membedakan ras, warna kulit dan agama pasien; tampa batas waktu sampai pasien benar-benar sembuh. Selain memperoleh perawatan, obat dan makanan gratis tetapi berkualitas, para pasien juga diberi pakaian dan uang saku yang cukup selama perawatan. Hal ini berlangsung selama 7 abad. Sekarang rumah sakit ini digunakan untuk opthalmology dan diberi nama Rumah Sakit Qolawun.
 
Gratis dan Berkualitas
 
Tingginya kualitas layanan kesehatan gratis yang disediakan negara terlihat dari standar layanan yang diterapkan rumah sakit pemerintah. Tenaga medis yang diterima bertugas di rumah sakit, misalnya, hanyalah yang lulus pendidikan kedokteran dan mampu bekerja penuh untuk dua fungsi rumah sakit: menyehatkan pasien berdasarkan tindakan kedokteran yang terbaharui (teruji); memberikan pendidikan kedokteran bagi calon dokter untuk menjadi para dokter yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan pengobatan pasien. Hal ini terlihat dari tes yang dilakukan Adhud ad-Dawla terhadap seratus orang dokter calon tenaga medis di Al-‘Adhudi Bimaristan (rumah sakit). Yang lulus akhirnya 24 dokter saja.
 
Lokasi rumah sakit harus yang terbaik untuk kesehatan, seperti di atas bukit, atau di pinggir sungai. Bimaristan al-‘Adhudi (rumah sakit umum), misalnya, didirikan Adhud ad-Dawla pada tahun 371H/981 M, di pinggir Sungai. Air sungai mengalir melalui halaman gedung rumah sakit yang dikelilingi tembok dan ruangan-ruangan yang luas dan kembali ke mengalir ke Tigris. Lokasi ini dipilih Khalifah Harun ar-Rasyid berdasarkan arahan ahli kedokteran ar-Razi.

Kembali pada fungsi rumah sakit sebagai tempat layanan kesehatan, kontrol terhadap mutu pelayanan dilakukan secara ketat. Tim ahli yang diangkat Khalifah yang bertanggungjawab atas penyelenggaraan layanan rumah sakit. Tim ini mengevaluasi, antara lain, isi catatan rekam medik pasien, pelayanan yang diperoleh pasien, makanan yang diberikan kepada pasien, apakah para dokter melaksanakan tugasnya secara sempurna. Dengan begitu rumah sakit selalu dalam kompetensi yang tinggi secara teknis, scientifically dan administratively.
 
Demikianlah sebagian permata indah yang tersimpan dalam catatan sejarah peradaban emas Khilafah di bidang kesehatan, yang tak tertandingi oleh peradapan manapun. Sungguh, dunia sangat merindukan kembali hadirnya keindahan permata itu di tengah-tengah kehidupan yang nyata. Allahu a’lam. []

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak