Tak Ada Api Tanpa Penyulut!



Oleh : Ayunah L. Nasibah

Sekali lagi Indonesia menarik perhatian dunia. Setelah pada 2015 lalu, hutan dan lahan Indonesia mengalami kebakaran paling besar sepanjang sejarah karhutla era 2000an. Bahkan  karhutla juga memicu asap pekat hingga turut dirasakan oleh Malaysia dan Singapura. Kini bencana tersebut terjadi kembali di 2019. Dikutip dari katadata.co.id, sepanjang tahun ini, hingga Agustus 2019 tercatat 135,7 ribu hektar area hutan dan lahan yang terbakar. Kalimantan dan Sumatera merupakan dua wilayah yang paling banyak terdapat titik panas. Berdasarkan data SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, selama periode 16-22 Agustus 2019 saja telah terdapat 999 titik panas. Di Kalimantan terdapat 480 titik panas, sementara Sumatera sebanyak 467 titik panas.

Tak hanya merusak keseimbangan lingkungan, bahkan asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan menghasilkan bencana massal bagi kesehatan. Tercatat 26,5 juta jiwa penduduk di Pulau Sumatera dan Kalimantan terancam  kesehatannya. Dikutip dari nasional.kompas.com, jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hingga September 2019 mencapai 919.516 orang. Penderita ISPA tersebar di enam provinsi yang terdampak karhutla yakni di Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Penderita ISPA di Kalimantan Selatan mencapai 67.293 orang. Belum ditambah total puluhan ribu kasus ISPA di daerah lainnya. Rata-rata mengalami batuk pilek, sesak nafas, pusing, iritasi mata, demam, dan muntah-muntah.  Masyarakat  yang terpapar kabut asap terpaksa mengungsi untuk mendapatkan udara segar. Begitu juga sekolah-sekolah terpaksa diliburkan karena kabut asap  sangat mengkhawatirkan  para siswa. Selain itu, akibat kabut asap yang terus menebal menyebabkan jarak pandang memendek. Beberapa penerbangan pesawat di Bandara Sumatera dan Kalimantan juga terganggu.

Sementara itu, kerugian materi pun tak bisa terelakkan. Tidak sedikit tenaga, perhatian dan anggaran yang dihabiskan untuk menanggulangi bencana karhutla yang terjadi. Tercatat kerugian yang dihasilkan pada tahun 2015 mencapai USD 16,1 miliar atau setara Rp 221 triliun. Sedangkan hingga hari ini, total kerugian akibat karhutla ditahun 2019 belum bisa dipastikan. Namun dapat diperkirakan tak sedikit biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk memadamkan karhutla. Dilansir dari cnnindonesia.com, Untuk memadamkan api, BNPB menerjunkan 44 helikopter dengan rincian 34 helikopter untuk waterbombing dan 10 untuk patroli. Disamping itu upaya pemadaman api juga dilakukan menggunakan 270 juta liter air untuk waterbombing, 163 ribu kilogram garam disemai untuk membuat hujan buatan, dan 9.072 personil untuk pemadaman di darat. Sementara menurut Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, pihaknya akan meyemai 50 ton garam di Kalimantan Barat dan 15 ton di Riau secara bertahap sejak Sabtu (14/9). Di Kalimantan Selatan sendiri telah dikerahkan 7 Helikopter, 1.512 personil pemadaman di darat, dan 11 juta Liter waterbombing.

Tak Ada Asap Tanpa Api

Miris sekali melihat fakta karhutla yang tak pernah menemukan solusi tuntas untuk penyelesaikannya. Lebih jauh lagi, apabila bencana ini tidak diberi perhatian dan penanganan serius, dapat menyebabkan kerugian besar tak hanya pada SDA Indonesia, namun juga pada SDM di dalamnya yang berpotensi mengalami kematian dini. Peneliti Harvard University, Tianjia Liu memperkirakan potensi kematian dini yang disebabkan karhutla menyentuh 36 ribu jiwa per tahun. Jika karhutla tak segera diatasi, potensi ini dapat terjadi pada 2020-2029. “Ini dampak dari aktivitas kebakaran di Indonesia yang menghasilkan asap ekstrim dan besar,” ujarnya di Jakarta, Selasa (13/8).

Seperti sebuah pepatah, “tak ada asap tanpa api”, jelas terjadinya karhutla adalah akibat adanya pelaku pembakaran. Jika kita bicara mengenai pelaku, maka terdapat dua kemungkinan, pertama adalah siklus alam dan kedua kesengajaan. Acep Akbar (2017) menyebutkan bahwa sejatinya ada dua hal yang menyebabkan terjadinya karhutla. Pertama  Karhutla yang sengaja dilakukan oleh manusia baik oleh masyarakat atau perusahaan besar untuk penyiapan lahan. Kedua, Kebakaran yang terjadi akibat alam misalnya, karena petir, kemarau yang panjang, sehingga matahari akan membakar tanaman yang kering melalui hal sederhana seperti adanya percikan api karena pembiasan cahaya dari kaca/kaleng yang mengkilap.

Namun, jika kita meneliti secara mendalam pola kasus-kasus karhutla yang terjadi di Indonesia, maka akan ditemukan bahwa karhutla yang terjadi lebih dominan diakibatkan oleh faktor kesengajaan. Di Kalimantan sendiri, sering terjadi kebakaran di lahan gambut. Benar, lahan gambut mudah sekali terbakar, dan ini karena kekeringan akibat tata kelola air di lahan gambut bermasalah. Telah ada 765 titik panas karhutla di tahun 2018. Kebakaran tersebut ternyata banyak terjadi di kawasan hutan industri dan perkebunan yang dikuasai oleh perusahaan swasta (antaranews.com, 28/08/2018).

Jelas sebagaimana diketahui, dengan adanya pemberian hak istimewa berupa konsesi pengelolaan hutan Indonesia pada beberapa korporasi lokal dan multinasional oleh penguasa, menjadikan negara tidak mampu menindak tegas pelaku karhutla. Konsesi ini memberi keleluasaan bagi korporasi untuk menjadikan lahan dan hutan sebagai objek eksploitasi untuk kepentingan bisnis tanaman industri korporasi. Atas dasar kelegalan ini, mereka yang seharusnya bertanggungjawab makin sulit tersentuh hukum dengan tegas. Fakta di lapangan menunjukkan sanksi yang dikenakan pada mereka hanya sekadar peringatan yang sifatnya administratif belaka, seperti pencabutan surat izin, atau denda. Sanksi semacam ini akhirnya tidak menimbulkan efek jera terhadap pelaku.

Sejatinya ketika seseorang/kelompok tertentu dengan sengaja melakukan pembakaran tentu saja memiliki tujuan tertentu pula yakni penyiapan lahan untuk membuka bisnis. Bagi masyarakat umumnya, membakar adalah pilihan satu-satunya untuk membuka usaha dengan modal sedikit ditengah tuntutan biaya hidup yang tinggi. Apalagi bagi perusahaan besar  yang diberi konsesi lahan yang luas untuk dikelola.  Maka, demi keuntungan yang lebih besar, jelas mereka menginginkan semua biaya awal harus ditekan, salah satunya untuk biaya penyiapan lahan. Maka menyiapkan lahan dengan melakukan pembakaran adalah solusi praktis dengan biaya sedikit.

Tak Ada Api Tanpa Penyulut

Adanya keberanian oknum-oknum tertentu, terutama korporasi untuk melakukan pembakaran lahan adalah akibat adanya hak konsesi pengelolaan lahan serta kebebasan di dalam negara ini untuk memiliki sesuatu termasuk lahan dan hutan. Hadirnya hak dan kebebasan bagi siapa saja untuk memiliki sesuatu adalah buah dari sistem demokrasi dan ekonomi kapitalistik yang dianut oleh negara ini. Segala sesuatu diukur berdasarkan materi (manfaat/keuntungan semata), menjadi asas dari sistem ekonomi kapitalistik. Dengan slogan menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Apapun yang dapat mendatangkan keuntungan besar, dengan modal minim, akan ditempuh tanpa memperhatikan dampak buruknya terhadap sekitar. Maka tak mengherankan jika ini pula yang menjadi asas para korporat dalam membangun bisnis.

Sistem kapitalisme demokrasi menjadikan para korporat dapat dengan leluasa menguasai kekayaan alam Indonesia, termasuk penguasaan hutan dan lahan. Akibat sistem ini yang diterapkan di tengah masyarakat, menjadikan negara tidak bisa menindak tegas pelaku-pelaku karhutla karna akan mengalami kontradiksi dalam setiap aturan yang dikeluarkan. Di satu sisi memberi kebebasan, di sisi lain ingin nmemberi saksi atas kebebasan yang ada. Dengan sistem kapitalis yang dianut, negara pun tak bisa ambil rugi. Jika para korporat diberi sanksi tegas dan berat jelas akan merugikan negara. karena salah satu sumber APBN negara adalah dari pajak para korporat yang membangun bisnis.

Bahkan peraturan negara yang sering mengalami kontradisi ini sering dimaanfaatkan oleh pihak-pihak korporat untuk dijadikan dalil pembenaran atas tindakan mereka. Selain menghindari kerugian materil, negara pun tak mampu bergerak bebas akibat terikat perjanjian-perjanjian dengan organisasi negara dunia. Atas dasar ini, jelas mustahil bagi negara untuk menghasilkan solusi tuntas dalam menyelesaikan problematika yang  ada. Ingatlah kabar gembira sekaligus peringatan Allah dalam QS. Al-a’raf ayat 96, “Dan sekiranya penduduk negeri  beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
 
Solusi Tuntas Karhutla

Jika negara ingin memberikan solusi tuntas terhadap problematika karhutla dan lainnya, maka seharusnya kita sebagai manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan di dunia ini, membuka diri dan sadar bahwasanya segala sesuatu adalah ciptaan Allah. Maka sudah sewajarnya jika ingin menjadikan segala sesuatu teratur dengan benar pada tempatnya maka aturlah dengan aturan yang datang dari Sang Pencipta. Sebab Sang Pencipta-lah yang mengetahui bagaimana aturan sempurna untuk memelihara setiap ciptaan-Nya. Aturan yang mensolusikan secara tuntas bagi setiap permasalahan kehidupan yang lahir dari Sistem Islam.

Sistem Islam dengan jelas, tegas dan ketat dalam menjaga keteraturan kehidupan. Termasuk didalam pengelolaan sumber daya alam dan alam itu sendiri. Hutan adalah kekayaan alam yang sangat penting untuk menjaga keberlangsungan pemenuhan hajat hidup manusia dan menjaga keseimbangan alam. Hakikat hutan adalah milik Allah SWT yang diamanahkan pada manusia agar dipelihara dan dikelola dengan sebaik-baiknya.  Maka, Islam memiliki pengaturan lengkap dan paripurna dalam pengelolaan hutan. Tersusun apik dalam sistem ekonomi Islam, karena sangat berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat.

Dalam peraturan kenegaraan pada sistem ekonomi Islam ditetapkan bahwa hutan dan lahan terkategori kepemilikan umum (hak seluruh rakyat) seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api”, (HR Abu Dawud dan Ahmad). Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta, baik individu maupun perusahaan. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan. Dengan dikelola penuh oleh negara, tentu mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan.

Negara tidak boleh terikat perjanjian-perjanjian dengan pihak-pihak atau negara tertentu dalam perkara vital seperti pengelolaan kepemilikan umum. Syariah memandang pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara, tidak diserahkan pada pihak lain (swasta atau asing). Dan hasilnya wajib dikembalikan pada rakyat. Bisa dalam bentuk layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Negara berfungsi sebagai ra’in (pemelihara urusan rakyat). Dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan sehingga hak setiap individu publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya. Di sisi lain, negara berfungsinya sebagai junnah (tameng). Khususnya tameng bagi hutan dan lahan gambut yang merupakan harta publik. Negara akan memberikan sanksi (ta’zir) tegas terhadap pihak yang merusak hutan. Penguasa pun wajib memerhatikan pengelolaan alam. Agar terhindar dari dampak kerusakan ekosistem, apalagi sampai membahayakan manusia.  Penerapan pandangan Islam ini menjadi kunci solusi persoalan menahun Karhutla. Hal ini mengharuskan kehadiran  pelaksana syari’ah secara kaaffah yang diwajibkan  Allah SWT.

Satu-satunya  solusi yaitu kembali kepada hukum Allah SWT.  Yakinlah bahwa ketika kita beriman dan bertakwa yang diwujudkan dengan menjalankan sistem yang Allah  SWT turunkan untuk mengatur kehidupan, maka keberkahan akan kita dapatkan. Dan dengan sistem Islam yang diterapkan maka pengelolaan hutan sebagai milik umum dilakukan oleh negara, akan mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, rakyat dan kelestarian hutan/lingkungan  dibanding dengan sistem kapitalisme yang rakus akan materi dan keuntungan pribadi.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak