Oleh : Liza Burhan, Analis Mutiara Umat
Lagi, berita tertangkapnya pelaku yang diduga terlibat agenda terorisme kembali mewarnai negeri ini. Setali tiga uang, belum usai cerita isu terorisme yang dikaitkan dengan kejadian penusukan yang menimpa Menkopolhukam Wiranto tempo lalu, kini isu terkait terorisme ini kembali dibiaskan. Kali ini disebut-sebut menimpa seorang polwan yang berpangkat Bripda yang berinisial NOS dari Maluku.
Bripda Nesti Ode Samili (23) dua kali ditangkap Densus 88 Antiteror Polrikarena diduga terpapar paham radikal. Polwan tersebut telah dipecat dari institusi Polri.
"Dia sudah dipecat," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo, seperti dilansir Antara, Sabtu (12/10/2019). https://m.detik.com/news/berita/d-4743324/polwan-terpapar-radikalisme-dipecat-dari-institusi-polri
*Isu radikalisme strategi pembusukan ajaran Islam*
Ada yang terasa janggal dan memunculkan sebuah pertanyaan dari pemberitaan tersebut, yakni di awal tulisan berita dinyatakan sudah dipecat, namun di akhir berita disebutkan jika terbukti maka akan di lakukan PTDH atau (pemberhentian tidak dengan hormat)," lalu maksudnya apa dan bagaimana? Bukankah artinya belum ada kepastian bahwa yang bersangkutan terbukti telah terlibat kasus terorisme.?
Sebelumnya polwan dari Maluku yang sudah berpenampilan berhijab syar'i itu ditangkap lantaran berada di bawah pengawasan Densus 88 dan diduga aktif dalam kegiatan-kegiatan bersama kelompok radikal.
Benarkah lagi-lagi isu radikalisme ini sengaja diblow-up untuk mengalihkan perhatian publik agar fokus kepada isu yang berbau teroris hingga lupa kondisi kekacauan dalam pemerintahan yang tengah berkuasa, serta ada agenda apakah di balik isu radikalisme tersebut?
Dengan melihat berbagai pemberitaan tentang seseorang atau kelompok yang disebut-sebut terpapar radikal, mengapa yang selalu disasar yakni orang-orang atau kelompok yang bagroundnya tampak islami seperti berpakaian syar'i pada wanita-wanitanya atau lekat dengan yang berjenggot atau gemar berbaju koko serta peci, berjidat hitam dan sebagainya pada lelakinya.
Tidakkah lagi-lagi ini justru memunculkan pertanyaan yang mendalam, kenapa pelakunya harus selalu umat Islam? Yakni orang-orang yang tampak ingin taat pada agamanya Islam. Kenapa hampir tidak ada pelakunya dari agama budha, hindu, Kristen dan lainnya. Bukankah bisa saja orang-orang dari selain pemeluk Islam juga bisa berpotensi terpapar Radikal.
Maka bukanlah sesuatu yang berlebihan jika muncul kesan dan kesimpulan bahwa isu-isu radikalisme ini lebih lekat pada terorisasi serta upaya pembusukan terhadap umat dan ajaran Islam. Bagaimana tidak, ketika yang dimunculkan di tengah publik orang-orang yang dianggap terpapar faham radikal tidak jauh-jauh dari orang-orang yang tampak terlihat sedang berusaha taat pada agamanya, gemar mengkaji Islam dan aktif dalam mendakwahkan dan memperjuangkan syariat-Nya.
*Agenda barat dan membebeknya Pemerintah*
Istilah radikalisme memang selalu tampak seksi untuk selalu disajikan di negeri ini, dan itu didukung pula oleh keberadaan Tim Densus 88 anti teror berikutpun undang-undang anti terorisme yang disahkan. Yang menciptakan keyakinan di masyarakat bahwa faham radikalisme yang bermakna peyoratif (negatif) ini memang tampak nyata keberadaannya.
Namun yang dilakukan pemerintah dalam membasmi faham Radikalisme ini malah lebih cenderung menyasar kepada umat Islam, alih-alih untuk memerangin terorisme, yang tampak justru selalu berupaya memerangi orang-orang Islam yang ingin berusaha taat pada ajaran agamanya serta berkeinginan untuk menerapkan aturan agama dalam tataran segala aspek kehidupannya, serta mereka yang menolak ide nasionalisme dan bertujuan unilateralisme yaitu menginginkan Islam diterapkan dalam tatanan dunia global.
Adapun penangkapan-penangkapan orang-orang terduga teroris oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror sering terlihat tidak proporsional. Karena alasan penangkapan seringkali tidak jelas, misalnya hanya karena mereka memasang bendera simbol yang sering dimanfaatkan ISIS maka ditangkap. Padahal, bendera tersebut bendera tauhid bukan bendera ISIS.
Sedangkan ISIS sendiri hanyalah alat propaganda barat yang dipakai untuk mendiskreditkan perjuangan untuk mengembalikan kehidupan Islam. Yang sengaja dimunculkan untuk membuat rasa takut dan horor terhadap ajaran Islam Khilafah yang seakan-akan mengajarkan terorisme dan kekerasan. Dan celakanya Pemerintah Indonesia sendiri turut memprogandakan ISIS sebagai gerakan yang memperjuangkan Islam dan Khilafah.
Dalam sebuah berita yang dimuat oleh CNN Indonesia -- Presiden Amerika Serikat Barack Obama terpeleset lidah dalam sebuah konferensi pers membicarakan ISIS. Dalam pernyataannya, Obama mengatakan bahwa AS melatih tentara ISIS.
Dalam konferensi pers Senin kemarin, Obama mengatakan bahwa "kami meningkatkan pelatihan pasukan ISIL, termasuk relawan dari suku Sunni di Provinsi Anbar." ISIL adalah sebutan lain ISIS yang biasa digunakan pemerintah AS. (Cnnindonesia.com)
Sedangkan sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat adalah induknya negara-negara kafir yang selalu berupaya menjajah dan memerangi Islam. ISIS adalah alat propaganda barat yang aktif menyebarkan teror di Irak dan Suriah yang mengatasnamakan jihad dan tegaknya Khilafah. Dan sering dikait-kaitkan dengan sejumlah drama aksi terorisme di Indonesia.
Maka sungguh jelas agenda peperangan terhadap radikalisme ini sebenarnya adalah agenda membidik ummat Islam yang menginginkan tegaknya Islam secara keseluruhan dalam bingkai sistem Khilafah Islamiyyah. Dengan didasari oleh berbagai kepentingan, pemerintah tampak selalu membebek dalam arahan barat yang menganggap Islam sebagai problem dan ancaman bukan solusi yang sempurna untuk diterapkan. Maka terang sudah isu radikalisme dan terorisme sejatinya adalah terorisasi terhadap umat dan Islam sendiri, guna menghalanginya untuk tegak kembali di muka bumi.