Oleh : Nisa Agustina, M.Pd
Muslimah Pegiat Dakwah
Indonesia kembali memanas. Sebagaimana yang kita lihat dalam beberapa hari terkahir, demonstrasi mahasiswa merebak di sejumlah daerah di Indonesia memprotes rencana pemerintahan Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang. Demo digelar serentak di Riau, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Makassar, hingga Papua pada hari Senin (23/9/2019) sampai menelan korban jiwa.
Para mahasiswa yang selama ini seperti adem ayem melihat berbagai permasalahan negeri, serentak turun ke jalan menyuarakan aspirasi memprotes beberapa revisi UU bermasalah. Beberapa diantara tuntutan mahasiswa adalah mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP, mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia, menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja, menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agrarian, dan mendesak penghapusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (CNNIndonesia, 23/9/2019).
Bila kita teliti satu persatu UU bermasalah yang menuai banyak protes ini, akan kita dapati bahwa UU tersebut sejatinya lahir dari sistem demokrasi kapitalisme yang mengagung-agungkan kebebasan. Sekulerisme yang mejadi asas demokrasi, memberi tempat bagi manusia untuk menentukan hukumnya sendiri sesuai akal mereka. Ketika manusia mengatur kehidupan dengan pandangannya sendiri, maka hukum itu bisa berubah-ubah sesuai kehendak dan kepentingan.
Ambil contoh pelaku korupsi dalam pasal kontroversial RUU KUHP hanya dipidana selama dua tahun. Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dalam KUHP yang lama, yakni hukuman paling sedikit enam tahun penjara. Pasal ini juga dinilai terlalu memanjakan koruptor. Ditambah dengan hadirnya UU KPK yang baru disahkan, RKHUP melengkapi hak-hak istimewa terhadap para napi korupsi. Bila produk hukumnya begini, pemberantasan korupsi hanyalah mimpi belaka. Ada UU lama saja mereka tak jera, apatah lagi UU baru yang dinilai banyak menguntungkan para maling berdasi.
Kebebasan dalam demokrasi jugalah yang melahirkan banyak kerusakan di segala bidang; moral, pemerintahan, hukum, ekonomi, dll. Dengan dalih demokrasi dan kebebasan, pornografi, pornoaksi, seks bebas, aborsi, peredaran miras, dll tidak bisa diberantas tuntas. Di bidang pemerintahan, korupsi juga menonjol di semua lini. Kebebasan kepemilikan melahirkan sistem ekonomi kapitalisme liberalisme yang membolehkan individu menguasai dan memiliki apa saja termasuk harta milik umum. Kebebasan berpendapat melahirkan keliaran dalam berpendapat sehingga menistakan agama, mencela Rasul saw, dan menyebarkan kecabulan dan berbagai kerusakan. Kebebasan beragama membuat agama tidak lagi menjadi prinsip, orang dengan mudah bisa menodai kesucian agama, mengaku nabi, dsb.
Demokrasi menghasilkan UU deskriminatif dan tidak adil. Sebab dalam demokrasi, UU dibuat oleh parlemen yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan. Jadilah UU yang dihasilkan dalam sistem demokrasi lebih banyak berpihak kepada pihak yang kuat secara politik dan atau finansial. Melalui UU dan peraturan yang dibuat secara demokratis, kelas politik dan ekonomi yang berkuasa bisa terus melipatgandakan kekayaannya termasuk dari penguasaan atas kekayaan alam; melindungi kekayaan dari pungutan pajak dan malah mendapat berbagai insentif.
Wajah Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019-2024, diperkirakan tidak lebih baik dibanding DPR sebelumnya. Menurut Andar Nubowo, pengajar FISIP UIN Syarif Hidayatullah, yang menjadi penyebabnya antara lain 30 persen dari 560 anggota DPR yang terpilih karena faktor uang dan popularitas.
Di samping faktor individual, DPR yang merupakan pilar penting demokrasi, juga bermasalah secara sistem. Keputusan yang didasarkan kepada suara mayoritas, kerap kali lebih berpihak kepada pemilik modal, bukan rakyat. Demokrasi mahal yang menjadikan uang sebagai panglima menciptakan lingkungan yang subur untuk jual beli kebijakan dan korupsi. Semua ini menciptakan simbiosis mutualisme politisi dan pemilik modal yang membahayakan rakyat.
Butuh Perubahan Sistemik
Tuntutan penolakan revisi UU pada dasarnya tak cukup, mengingat kesengsaraan yang saat ini dialami rakyat Indonesia bukan sekadar diakibatkan oleh sejumlah aturan tersebut. Penerapan sistem sekuler kapitalisme adalah akar masalah negeri ini. Dari rahim kapitalisme-lah aturan tersebut lahir. Fokus memprotes UU bermasalah tanpa menghancurkan biangnya hanya akan menghabiskan energi sia-sia dan tak akan menyelesaikan masalah. Permasalahan RKUHP pun tak sekadar sebagai aturan warisan Belanda. Lebih dari itu, ini adalah warisan kapitalisme sekuler.
Islam adalah solusi tuntas atas seluruh problem negeri ini. Islam memiliki konsep yang khas dalam mencegah dan memberantas korupsi, memiliki hukum yang jelas dalam mengurai masalah ketenagakerjaan dan konflik agraris, pencegahan kekerasan seksual dan lain sebagainya. Sebagai hukum yang bersumber dari Allah, sistem Islam adalah sistem terbaik bagi manusia yang layak untuk diterapkan di negeri ini, bukan yang lain. Karena itu, selama Indonesia masih mengadopsi sistem kapitalisme maka tidak akan terjadi perubahan yang berarti. Perubahan yang dibutuhkan oleh rakyat adalah perubahan yang mendasar (asasiyah) dan menyeluruh (inqilabiyah). Perubahan totalitas (taghyir) inilah yang seharusnya diperjuangkan oleh masyarakat saat ini.
Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).
Dalam menjalani kehidupan, Islam sudah memberikan seperangkat aturan. Allah sebagai Pencipta sekaligus Pengatur hidup manusia tak mungkin membiarkan manusia hidup bebas tanpa aturan. Di sinilah perbedaan mendasar manusia dengan makhluk lainnya. Allah memberi kita akal untuk memahami dan menerapkan ayat-ayat-Nya. Berbeda halnya dengan hewan, tak terdapat akal pada penciptaan mereka. Dan akal inilah yang menjadikan manusia disebut sebagai makhluk termulia. Sebab, dengan akalnya ia mampu membedakan hal baik dan buruk.
Maka dari itu, Allah turunkan Alquran sebagai pedoman hidup manusia. Dengan Alquran itulah baik dan buruk itu dinilai. Perbuatan baik dan buruk dinilai mengikuti perintah dan larangan Allah, bukan akal dan nafsu manusia saja. Manakala standar baik dan buruk dikembalikan pada penilaian manusia, maka berapa banyak hukum yang dihasilkan dari penilaian tersebut? Sebab, nilai manusia itu relatif. Tidak sama dan berubah-ubah tergantung selera. Oleh karenanya, Allah sudah memberi rambu-rambu yang wajib ditaati berupa syariat Islam.
Banyaknya RUU bermasalah menunjukkan bahwa hukum buatan manusia itu lemah. Mudah diintervensi bahkan direvisi bila tak sesuai dengan kepentingan dan nafsu manusia. Alhasil, hukum manusia tak memiliki standar baku yang jelas dan tetap. Berbeda dengan Islam, hukumnya bersumber dari Alquran dan Sunah. Manusia hanya menjalankan apa yang termaktub dalam kitabullah dan sunah Rasulullah saw. Standar perbuatan harus sesuai dengan pandangan Islam, bukan akal manusia.
Sistem demokrasi telah meniscayakan manusia berhak membuat aturan. Sejauh negeri ini menerapkan sistem demokrasi-kapitalis, tak ada indikasi kebaikan yang diraih. Yang terjadi justru berbagai macam kerusakan, baik spiritual maupun moral. Bukankah kini saatnya kita melakukan evaluasi total?
Ada yang salah di negeri ini. Salah penerapan sistem dan aturan. Saatnya sistem itu diganti dengan sistem yang memberi jaminan penghidupan dan kesejahteraan. Sistem Islam yang diterapkan oleh negara yang dicontohkan Rasulullah saw dan para Khalifah setelahnya. Yakni sistem Khilafah Islamiyah, bukan demokrasi ala Amerika ataupun komunisme ala Cina.
Wallahu a’lam bish showab