Ummu Zhafran
(Pegiat Opini dan Member Akademi Menulis Kreatif)
Saat Kekasihmu adalah kakakmu sendiri_ trailer film SIN
Astaghfirullah. Membaca kutipan trailer di atas, sontak terlintas istighfar dalam hati. Maklum, SIN mulai rilis hari ini. Kisah hubungan antar kakak beradik yang suci sayangnya ternoda di film ini. Inses (hubungan cinta sedarah) yang notabene perkara tabu dan haram atas nama cinta malah diumbar tanpa permisi.
Berdalih cinta itu buta, namun tetap saja sinema besutan sutradara Herwin Novianto layak diklaim sebagai propaganda gaya hidup bebas. Menyasar remaja yang masih bau kencur lagi miskin dosa.
Sila simak kutipan sinopsisnya berikut:
Metta (Mawar Eva De Jongh) dan Raga (Bryan Domani) seharusnya tidak jatuh cinta. Raga benci cewek banyak drama seperti Metta. Metta pun hanya ingin membuktikan bahwa Raga tidak ada bagusnya. Tetapi, mereka tetap jatuh cinta. Kehidupan mereka pun menjadi kusut. Keluarga Raga menentang hubungan mereka, dan Metta mulai menjadi target musuh Raga. Tanpa alasan, Raga memutuskan hubungan dan menghilang. Saat Metta mengetahui alasan dibalik putusnya hubungan ini, Metta harus memilih antara menyerah pada takdir atau bahagia berdosa. (wikipedia)
Metta dan Raga, merekalah tokoh fiktif kakak beradik yang terlibat hubungan terlarang. Mengenaskan, dua kata terakhir di sinopsis tersebut seakan menari-nari di atas bangunan fondasi iman, adakah dosa yang mendatangkan bahagia?
Gaya Hidup Bebas Bikin Gaul Jadi Bablas
Fenomena pergaulan bebas memang mengular di kalangan remaja. Bahkan tak sedikit pemudi yang rela menyerahkan mahkota kesuciannya demi yang disebut cinta. Bagaimana dengan pemuda? Sami mawon. Meski tak semua namun banyak yang terjebak perbuatan tebar pesona hingga berani memetik madu cinta terlarang nan buta.
Pasca heboh The Santri berganti dengan SIN. Tak pelak, hadirnya film SIN hanya menambah panjang deretan sinema sejenis. Mengusung genre remaja yang notabene pelajar sekolah menengah tapi yang dipertontonkan justru saru alias pinus. Berhamburan adegan dewasa yang sukses bikin miris. Karakter Metta dalam SIN contohnya. Diadaptasi dari novel bertajuk sama, ia dikisahkan sebagai gadis nakal yang suka gonta-ganti pacar, senang dengan dunia malam, dugem, dan mabuk minuman keras.
Parah. Artis pemeran Metta, Mawar de Jongh sendiri sampai jijik melihatnya.
"Semuanya beda sih, nggak ada kesamaan sama sekali dengan aku. Agak jijik sih, hehe bercanda. Apa ya, aku ngerasa aneh saja lihat aku seperti itu," kata Mawar usai gala premiere film SIN di Epicentrum, Jakarta Selatan. (kapanlagi.com, 6/10/2019).
Sampai di sini harus dipahami budaya bebas bin hedonis tak datang begitu saja. Sejak lama pemahaman ala Barat telah dicekokkan dalam benak para remaja. Lewat 3F, Fun, Film, dan Fashion, Barat dengan liberalismenya merambah pemikiran dan perasaan para ababil (abege labil).
Berikutnya tentu berimbas pada perilaku permisif serba boleh dan menolak aturan. Tak jarang rela melakukan segala cara agar memperoleh kepuasan. Meski taruhannya masa depan.
Menilik akar masalah, tak lain sekularisme yang sejak lama nyata mencengkeram pertiwi. Ibu kandung dari liberalisme dan hedonisme ini memang mengurung agama jauh di atas awan. Dengan kata lain agama dipisahkan dari kehidupan. Pahala dan dosa dipandang bak dongeng nina bobo sebelum beranjak ke peraduan. Halal haram jadi nomor ke sekian.
Padahal agama memberikan dasar kehidupan. Mendorong seorang untuk taat karena imannya bukan malah maksiat. Apalagi menjalin inses dengan saudara kandung maupun kerabat.
Dosa Mengundang Bencana
Menyikapi sekularisme maka jelas solusinya dengan mengembalikan peran agama pada tempatnya. Sebagai tuntunan meniti hidup dalam naungan berkah dan keridhoan Maha Pencipta. Hanya saja, alih-alih membina remaja dengan agama yang dikampanyekan malah diradikalisasi agama. Khilafah yang merupakan sistem pemerintahan warisan Nabi bahkan disulap bagai monster, ditatap penuh curiga.
Padahal penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser selaku produsen kontrasepsi Durex terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia jelas menemukan, 33 persen remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi. Dari hasil tersebut, 58 persennya melakukan penetrasi di usia 18 sampai 20 tahun. Selain itu, para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah. (liputan6.com, 19/7/2019).
Mengerikan. Gaul bebas tentu tak boleh dianggap biasa. Karena bisa mengundang bencana. Tak hanya pada pelakunya saja yang bisa terjangkit penyakit menular seksual atau wabah hiv/aids. Tapi juga seluruh masyarakat akan terkena akibatnya jika mendiamkan.
Imam Ibnul Qayyim tak luput mengingatkan,
“Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bergaul bebas dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan ini termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai malapetaka yang merata. Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan dalam semua perkara yang umum maupun khusus. Pergaulan bebas merupakan sebab berkembang pesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini termasuk sebab kebinasaan massal (umat manusia) dan wabah penyakit-penyakit menular yang berkepanjangan.”
Walhasil mencegah selamanya lebih baik dari mengobati. Semua pihak butuh bahu membahu mengambil peran menghadirkan solusi. Mulai dari individu dengan mempertebal iman dan takwa sebagai benteng diri. Masyarakat pun idealnya tak segan mengontrol dan mengawasi. Tak perlu kawatir dinilai ikut campur urusan pribadi. Terakhir, negara wajib berdiri sebagai perisai. Melindungi segenap rakyat dari sarana-sarana yang bisa merusak diri. Pornografi dan porno aksi dalam segala bentuk media harus dicegah sebelum menginfeksi. Syaratnya satu, kembali menjadikan syariah Allah tegak kaffah di muka bumi.
Kiranya cukup kalam Allah swt. sebagai pengingat bagi negeri,
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."(TQS. Ar Ruum: 30). Wallaahu a’lam.