Oleh: Chezo
(Aktivis BMI Community Cirebon)
Belum lama ini publik dikejutkan dengan beredarnya berita mengenai kelahiran anak dari Penyanyi Mark Westlife dan tunangannya, Cailean O’Neill yang telah resmi menjadi ayah. Mark, yang bernama lengkap Mark Feehily dan pasangannya itu menjalankan program surogasi alias perjanjian dengan seorang ibu yang mengandung untuk nantinya anak dibesarkan oleh orang lain. (cantik.tempo.co)
Belakangan, hubungan sesama jenis semakin marak. Kalau di Indonesia, pernikahan sesama jenis belumlah diperbolehkan karena hukum keagamaan. Maka berbeda dengan negara lainnya dimana pernikahan sesama jenis mulai jadi bahan pertimbangan karena beberapa negara di Eropa kini sudah meresmikan undang-undang tentang pernikahan sesama jenis.
Sebuah pernikahan akan menjadi semakin sempurna jika dikarunai buah hati. Walaupun banyak pasangan yang belum dikaruniai anak, setidaknya mereka adalah pasangan normal. Kondisi ini jelas berbeda apabila yang menikah adalah pasangan yang berjenis kelamin sama. Sudah kodratnya mereka tak akan pernah punya anak karena secara fisik tidak dapat membuahi dan tidak akan ada kehamilan.
Sehingga kebanyakan dari mereka pada akhirnya melakukan proses adopsi anak agar keinginan memiliki buah hati layaknya pasangan normal lain dapat terwujud. Saat ini, masalah ini dianggap sebagai masalah medis dan dapat ditangani melalui teknologi reproduksi berbantu (assisted reproduction technology), yang memberikan akses kepada donor sperma (untuk pasangan perempuan) dan ibu pengganti/sewa rahim (untuk pasangan laki-laki).
Jika kedua pasangannya adalah laki-laki, kedua pasangan ini dapat mengumpulkan spermanya dan menyewa ibu pengganti yang akan dibuahi dengan sperma mereka. Jika kedua pasangannya adalah perempuan dan salah satu pasangannya memiliki sel telur dengan kualitas tinggi, pasangan ini dapat meminta bantuan untuk membuahi sel telurnya dengan sperma dari hasil donor.
Sebagai seorang muslim, tentulah kita harus menggunakan Islam dalam menyikapi pasangan sejenis yang kian marak saat ini. Jika kita meneliti lebih lanjut, maka penyebab utama hal ini terjadi adalah budaya liberalisme yang menjamur dikalangan muda-mudi, gaya hidup bebas dan mencintai kebebasanlah awal mula problematika seks bebas dan menyimpang ini dapat terjadi karena ini adalah penyimpangan terhadap kodrat yang telah diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Karena secara fitrahnya manusia mempunyai kecenderungan menyukai lawan jenis dan bukan sesama jenis.
Inilah akibat yang terjadi, ketika sanksi hukum yang tegas tidak diberlakukan tetapi justru dibela atas dasar Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal menyukai sesama jenis ini termasuk perbuatan yang keji yang sangat dibenci oleh Allah dan itu termasuk dosa besar, karena sudah menyalahi fitrah yang diberikan oleh Allah. Sebagaimana dalam firman Allah.
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ’Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas." (QS. Al-A’raf:80-81)
Dalam Islam para pelaku penyuka sesama jenis ini diberikan hukuman mati. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
“Barang siapa mendapati orang yang melakukan perbuatan seperti yang dilakukan kaum Luth, maka bunuhlah orang yang berbuat dan pasangannya” (HR. Abu Dawud, Tirmidi, Ibnu Majah dan Ahmad; shahih)
Abdullah bin Abbas berkata,
يُنْظَرُ إِلَى أَعْلَى بِنَاءٍ فِي الْقَرْيَةِ، فَيُرْمَى اللُّوْطِيُّ مِنْهُ مُنَكِّبًا، ثُمَّ يُتَّبَعُ بِالْحِجَارَةِ
“Ia (pelaku gay) dinaikkan ke atas bangunan yang paling tinggi di satu kampung, kemudian dilemparkan darinya dengan posisi pundak di bawah, lalu dilempari dengan bebatuan.”
Sedangkan Imam Abu Hanifah rahimahullâh berpendapat,
وذهب أبو حنيفة إلى أنّ عقوبته تعزيريّة قد تصل إلى القتل أو الإحراق أو الرّمي من شاهق جبل مع التّنكيس ، لأنّ المنقول عن
الصّحابة اختلافهم في هذه العقوبة
“Hukumannya adalah ta’zir yang bisa sampai ke tingkat eksekusi, (seperti:) dibakar, atau dilemparkan dari tempat yang tinggi. Sebab para sahabat juga berbeda pendapat tentang cara menghukumnya.” (Al-Mabsuth 11/78).
Sayangnya pelaksanaan hukum ini tentu tidak bisa dilakukan oleh individu atau kelompok tertentu. Namun, harus negaralah yang berperan dalam penerapan hukum syariat Islam.