Oleh: Mila Haniif
(Aktifis Dakwah Lit-Taghyir)
Gelombang protes mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil di berbagai daerah tampak mengendur jelang pelantikan presiden dan waprse. Tindakan represif aparat hingga ancaman sanksi dari pihak kampus dinilai meredam gerakan. Sejak dimulai pada 23 September lalu hingga aksi massa berikutnya, jumlah massanya menurun. Sekalipun desakan mereka tak berubah: tujuh tuntutan salah satunya yang kencang adalah menggugat sejumlah legislasi bermasalah termasuk revisi Undang-Undang KPK.
"Ini menjadi serangan psikologis dan jadi ketakutan sehingga meredam gerakan mahasiswa," kata salah satu mahasiswa Universitas Esa Unggul. “Pada 24 September kami mendapatkan represifitas yang luar biasa, sehingga ketika tanggal 30 [September] kami mau turun bersama masyarakat sipil dan buruh, mahasiswa jadi takut," ujar salah satu mahasiswa UI. (cnnindonesia.com)
Padahal mahasiswa menilai turun ke jalan adalah cara paling efektif untuk mendesak Presiden agar menerbitkan Peraturan Pengganti UU (Perppu) KPK, juga meninjau ulang RKUHP dan RUU yang lain. Dan akhirnya dalam akun instagram, BEM SI mengunggah foto ajakan aksi. Dengan #tuntaskanreformasi demo akan dilaksanakan 17 Oktober. Mereka sangat kecewa atas aspirasi yang tak didengar.
Sebagaimana diketahui pada RUU KPK, ada beberapa poin yang ditolak oleh banyak elemen, di antaranya soal izin penyadapan dan adanya dewan pengawas. Muncul tuduhan pemerintah dan DPR bersepakat “membunuh” KPK dengan memutilasi banyak kewenangannya. Tuduhan yang sulit dibantah. Apalagi jika melihat maraknya kasus OTT yang menangkap basah perilaku korup dari para ekssekutif dan legislator aktif.
Sedang terkait RKUHP, sedikitnya ada 14 pasal yang perlu ditinjau ulang pemerintah. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan bakal banyak orang masuk penjara. Penyebabnya adalah sejumlah pasal dalam revisi KUHP cukup bermasalah dan kontroversial. Misalnya, menurut Ketua YLBHI Asfinawati, pasal tentang penghinaan terhadap presiden dan pemerintah serta makar. Pasal-pasal dalam isu ini dinilai cukup karet serta mengancam kebebasan sipil untuk berpendapat dan bersuara.
"Kalau ini diberlakukan akan banyak yang orang masuk penjara, harapan lapas tidak penuh tak akan terjadi," kata Asfinawati dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya bertema "Mengapa RKUHP ditunda?" di Jakarta, Sabtu (21/9). Padahal fakta di lapang, pengelola lapas selama ini berteriak bahwa kapasitas penjara sudah kelebihan muatan. Tapi dengan mengesahkan revisi KUHP, lapas justru akan semakin over kapasitas. Di sisi lain, Asfinawati menilai itu adalah tindakan menindas. "Menindas kebebasan berpendapat seperti yang lain-lain," tukasnya.
Yang juga disorot para aktifis perempuan, adalah soal ancaman pidana pada pelaku aborsi (pasal 251, 415, 469 dan 470). Karena berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. Walaupun pemerintah berusaha meyakinkan bahwa sansi ini tidak akan berlaku bagi perempuan yang menggugurkan kandungan akibat tindakan pemerkosaan dan alasan medis. (tagar.id)
Kurleb juga RUU yang lain, dianggap bermasalah oleh beberapa pihak. Namun sungguh berat hidup di negri +62, ketika sebagian besar publik tidak nyaman dengan produk legislasi ternyata tak mudah salurkan aspirasi. Para pembesar istana dan “anjing penjaganya” tak rela diberi kritik dan masukan. Yang ada semua elemen disuruh diam, nikmati saja semua ketak-enakan. Telan semua rasa pahit, “demi kedamaian dan nama baik bangsa” katanya.
Bagi yang mau berpikir jernih, memperjuangkan aspirasi itu penting. Tapi tidakkah kita belajar dari banyak fakta yang panjang dalam sejarah bangsa ini. Bagaimana demo, aksi massa, atau apalah namanya, jika tak bisa sesuai dengan kehendak para kapitalis -Sang pemilik modal- bisa berujung fatal. Kalau pun berjuang di parlemen, kita pun menyaksikan suara pro rakyat tak selalu mulus, apalagi jika bukan mayoritas. Lalu harus bagaimana?
Demokrasi-Sekuler, Biang Masalah
Kita harus menyadari, bukan sekedar produk hukum yang bermasalah. Tapi ada biang masalah besar yang luput dari perhatian publik, yaitu sistem demokrasi-sekuler. Sedikitnya ada 2 faktor yang menyebabkan demokrasi-sekuler sebagai biang kisruh. Pertama, asas dan mekanisme sistem demokrasi. Kedua, aktor politik yang terlibat dalam sistem tersebut.
Pertama, asas dan mekanisme sistem demokrasi. Sebagaimana sudah dipahami, sistem demokrasi adalah sistem lawas Yunani yang dipungut kembali oleh sistem kapitalis dalam kehidupan berpolitik kekinian. Demokrasi yang berasas sekularisme -memisahkan agama dalam mengatur kehidupan dunia- menjadikan UU yang digunakan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara lahir dari olah pikir para manusia. Karena walaupun banyak varian dari penerapan demokrasi di berbagai negara di dunia, ada dua prinsip mendasar yang menjadi benang merah dari berbagai perbedaan tersebut, yaitu kedaulatan di tangan rakyat; dan rakyat adalah sumber kekuasaan.
Apalagi di sistem ini menjamin kebebasan dalam kehidupan, antara lain kebebasan berpendapat dan berperilaku (liberalisme). Maka agar kebebasan ini tak mengganggu kebebasan orang lain, perlu ada aturan atau UU yang membatasinya. Seluruh ketetapan UU/hukum -katanya- dihasilkan melalui pengambilan pendapat mayoritas. Di negari +62, produk legislasi dibuat di parlemen (kadang bersama pemerintah) atas nama rakyat. Ini makna kedaulatan rakyat.
Dari situ muncul faktor yang kedua, yaitu aktor politik yang duduk di kursi legislator sebagai pembuat kebijakan dan perundang-undangan. Nah, apakah produk dari legislatif akan prorakyat dan minimal tidak menimbulkan resistensi di publik? Nyatanya tidak. Apa yang tampak beberapa minggu ini menyiratkan betapa aspirasi rakyat tidak direken.
Padahal dalam sistem demokrasi, jargonnya “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”, tapi nyatanya cuma mitos. Rakyat yang didengungkan tak lain hanyalah segilintir orang saja, Siapa mereka? Dialah sang pemilik modal. Karena sudah rahasia umum, sistem demokrasi memang mahal, meniscayakan mereka -para pemilik modal- yang bisa duduk di kursi-kursi dewan. Dengan modal dan kekuasaan di tangan, mereka bisa sesuka hati membuat peraturan dan UU untuk memuluskan bisnis dan urusan mereka. Inilah yang disebut “demokrasi oligarki”
Oligarki sendiri (dari Bahasa Yunani: Ὀλιγαρχία, Oligarkhía) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk "sedikit" (ὀλίγον óligon) dan "memerintah" (ἄρχω arkho). (wikipedia.org). Dalam kasus ini, jenis oligarki yang menjangkiti demokrasi adalah oligarki politik dan ekonomi yang termanifestasi dalam partai politik (parpol) dan kaum yang mendanai political costs figur yang mencalonkan diri di bursa pemilu.
Sebuah tulisan dari Yukaristia (pinterpolitik.com/2019) mengatakan bentuk utama dari oligarki politik di parpol adalah hadirnya “orang-orang kuat sebagai penentu keputusan (strong decision maker)” direpresentasikan oleh orang-orang yang punya modal kapital dan sosial amat besar. Mereka punya jaringan bisnis yang luas, kolega bisnis yang banyak, dan memegang peranan penting sebagai pengendali (pemilik) media massa tertentu. Akhirnya, parpol tidak lagi menjadi representasi ideologis yang menjadi wadah bagi rakyat untuk unjuk aspirasi guna berjuang mendatangkan keadilan sosial dan kesejahteraan.
Memang faktanya, parpol di Indonesia sudah tidak lagi dibentuk oleh elemen masyarakat, seperti serikat pekerja atau komunitas sosial yang mewakili kelas tertentu. Parpol di Indonesia lebih banyak didominasi secara personal oleh strong decision maker (pengambil keputusan) tadi. Mereka terkesan mempersonalisasi parpol (personalized political parties) bagi kepentingan pribadi dan golongan (kolega oligarki politik dan ekonomi), bukan kepentingan kolektif seluruh masyarakat. Fakta ini nampak di banyak parpol, baik itu diakui atau tidak.
Apalagi ketika kita bicara negara berkembang, seperti Indonesia. Selain faktor oligarki lokal maka pengaruh luar (negara adidaya, perjanjian internasional dsb) juga cukup besar. Ujungnya, rakyat bukan lagi lagi pemilik kedaulatan dan kekuasaan. Rakyat cuma dimanfaatkan di setiap ajang pemilu. Bahkan mereka pun kadang tak mengenal siapa yang mereka pilih. Tapi rakyat akan merasakan dampaknya setelah yang terpilih menjabat. Melalui berbagai kebijakan dan produk hukum yang akan dihasilkan. Kalau sudah begini rakyat bisa apa? Demo lagi atau bagaimana?
Adakah Sistem Alternatif?
Berharap terjadi perubahan dan muncul produk hukum yang pro rakyat adalah utopis di sistem demokrasi. Apalagi berharap semua kepentingan akan terakomodir oleh produk legislasi dari segelintir manusia yang mewakili rakyat, jelas lebih tak mungkin. Memang, dimana saja lumrah jika orang yang diberi kewenangan akan membuat aturan yang menguntungkan pihaknya. Minimal tidak mengganggu kepentingan mereka. Membuat aturan yang merugikan diri sendiri tentu dungu namanya, kalau meminjam istilah Rocky Gerung.
Lihat bagaimana rakyat sebagian tak setuju dengan isi beberapa RUU, karena ada kepentingan mereka yang tak terakomodir, atau khawatir rezim menjadikan UU sebagai alat kriminalisasi orang-orang yang berseberangan dengannya. Atau berbagai alasan lain. Tapi intinya, sulit mencapai kata sepakat dalam demokrasi, karena benar dan salah begitu nisbi. Relatif sekali, tergantung perspektif siapa.
Sungguh inilah kesalahan utama demokrasi, yakni menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Padahal dia -sebagai makhluk yang terbatas- tak pernah tahu kebenaran hakiki. Kebenaran dalam pandangan manusia adalah relatif, tergantung sudut pandang dan kepentingan. Akibatnya, setiap aturan yang dihasilkan demokrasi tak pernah mampu menjadi solusi sahih atas problem manusia.
Maka lebih jauh lagi, berharap keadilan dan kesejahteraan hidup dalam sistem demokrasi adalah kesia-siaan. Lalu harus bagaimana? Masih ada sistem alternatif, yaitu Islam dan sosialis-komunis. Tapi saya yakin Indonesia sudah paham betapa nistanya ideologi dan sistem komunis, lalu mengapa tak sudi dengan sistem Islam? Padahal umat Islam adalah mayoritas. Islam berasal dari Yang Maha Mengetahui, Allah SWT.
Sistem Islam yakni khilafah mendasarkan dirinya pada tauhid, yakni keimanan pada Allah Swt. Syariat Islam menjadi pilar-pilarnya. Dalam sistem ini, hanya khalifah saja yang dipilih langsung oleh rakyat atau melalui Majelis Umat (pejabat di bawahnya diangkat oleh Khalifah, tentu dengan syarat-syarat yang ketat). Jelas ini adalah sistem yang sangat efektif dan efisien, dengan biaya yang relatif tidak besar. Apalagi kerasnya larangan suap (money politics), maka khalifah tak butuh pencitraan dari para buzzer dan media yang bisa dibayar. Mereka yang dicalonkan tentu sudah memenuhi syarat-syarat mendasar pemimpin yang wajib secara syar’i. Siapa pun yang terpilih, mereka adalah terbaik di antara tokoh paling baik di tengah umat. Dengan mekanisme begini sistem Islam mencegah munculnya aktor politik dan penguasa boneka, yang bisa dipengaruhi oligarki.
Terus, bagaimana perwakilan masyarakat? Khilafah memiliki Majelis Umat. Majelis ini merupakan majelis perwakilan rakyat atau umat. Para wakil rakyat itu dipilih langsung oleh rakyat dalam suatu wilayah (semacam sistem distrik). Mereka mewakili rakyat untuk melakukan koreksi atau muhasabah terhadap khalifah dan menyampaikan pendapat kepada khalifah. Bedanya dengan legislatif di sistem sekarang, majelis umat tidak memiliki fungsi legislasi atau hak membuat hukum. Karena sesuai dengan prinsip al-siyadah lisy syar’iy (kedaulatan di tangan syariat), maka kewenangan membuat hukum atau yang menentukan halal dan haram adalah Allah SWT, bukan rakyat atau wakil rakyat.
Syariat ditetapkan melalui ijtihad para mujtahid, bersandar kepada sumber Al Qur’an dan Al Hadits. Bila hasil ijtihad berbeda-beda, maka khalifah berhak men-tabanni atau mengadopsi salah satu hasil ijtihad yang dipandang paling kuat atau paling rajih. Hasil tabanni inilah yang kemudian dijadikan sebagai hukum negara.
Meski begitu, tidak semua hal perlu di-tabanni khalifah. Hanya hukum yang menyangkut kemashlahatan rakyat saja yang di-tabanni. Sedang masalah akidah dan masalah-masalah privat, seperti kayfiah shalat, khalifah membiarkan rakyat memilih pendapat yang dianggapnya paling benar.
Berhukum dengan syariat menjamin bisa disatukannya ‘kepentingan’ dan persfektif publik, yaitu agar Allah Swt ridho, bukan kepuasan individu semata. Rakyat pun- meski bukan muslim- akan merasakan betapa penerapan syariah jauh mengungguli produk hukum buatan manusia yang penuh keterbatasan.
Sungguh rakyat (muslim maupun non muslim) butuh sistem Islam yang tegak di atas akidah dan standar perbuatan yang dikembalikan kepada Sang Pencipta manusia dan kehidupan. Sehingga aspirasi rakyat tak kan terbentur dengan kepentingan para penguasa, tapi semua tunduk dan patuh dalam koridor Islam. Apalagi – dalam Islam- kepentingan rakyat pun wajib diurusi, karena penguasa adalah pelayan rakyat, sebagaimana sabda Rasul Saw:
“Seorang pemimpin adalah pemelihara kemaslahatan masyarakat dan dia bertanggungjawab atas mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Maka negara wajib mengatur masalah ekonomi, pertanahan, pidana dsb dengan syariah sehingga seluruh hak rakyat bisa terpenuhi. Termasuk ketika terjadi konflik antara rakyat dan penguasa, sudah tersedia Mahkamah Madzalim. Bahkan khalifah atau pejabat yang lain tak bisa mangkir. Lalu apalagi yang kita cari? Keadilan dan kesejahteraan, bahkan kemakmuran niscaya di sistem ini. Sejarah khilafah terbukti berhasil mengurusi rakyatnya hingga menjadi peradaban termaju di masanya. Hal ini diakui cendekiawan barat yakni Will Durant dalam buku Story of Civilization.
Nah, bagi para mahasiswa atau elemen masyarakat yang tetap fokus memprotes UU bermasalah, tanpa berupaya menghancurkan biang kerok persoalan. Ada baiknya berpikir ulang, dan sudi mendengarkan sindiran Allah Swt: "Dan hendaklah kamu berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayaimu atas sebagian yang Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang Allah turunkan) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka karena dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik (49) Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik dari Allah (dalam menetapkan hukum) bagi orang-orang yang yakin (50)”. (TQS Al Maidah 49-50)[]