Oleh : Fety Andriani
(muslimah peduli generasi bima)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini digunakan oleh Indonesia adalah warisan pemerintahan Belanda. Menurut guru besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Mardjono Reksodiputro, KUHP yang sekarang berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) adalah buatan pemerintah kolonial Hindia Belanda. WvS diresmikan pada tahun 1915, namun baru diundangkan tiga tahun setelahnya lewat Staatsblad (Lembaran Negara). Pasca kemerdekaan indonesia WvS digunakan oleh pemerintah sebagai KUHP. Lalu pada jaman orde baru berkuasa, upaya untuk merevisi KUHP mulai muncul. Tirto.id
Keinginan untuk merevisi KUHP karena menyadari bahwasanya sudah saatnya Indonesia memiliki KUHP sendiri. Dan terlepas dari bayang-bayang kolonialisme yang termanifestasikan di dalam KUHP warisan Belanda. Setelah melewati proses panjang dan berliku, negara kini kembali dihebohkan dengan RKUHP yang disepakati oleh Panitia Kerja (Panja) dan pemerintah di rezim Jokowi. Rencananya RKUHP akan disahkan dalam rapat paripurna DPR pada selasa, 24 september 2019. Namun banyaknya penolakan dari publik membuat presiden Jokowi meminta agar pengesahannya ditunda hingga DPR RI periode 2019-2024. Tirto.id
Rencana revisi KUHP oleh pemerintah menuai polemik. Beberapa pasal kontroversial sukses mengundang protes berkepanjangan dari berbagai kalangan masyarakat. Sejumlah besar mahasiswa dan pelajar STM dari berbagai daerah pun melakukan aksi demonstrasi menolak RUU KUHP. Aksi yang dimulai dari pertengahan September lalu tersebut belum menampakan tanda-tanda akan berakhir. Nampaknya pihak massa aksi dengan pemerintah belum juga sampai pada satu titik temu.
Berikut beberapa pasal yang dianggap kontroversi dalam RUU KUHP tersebut:
Pasal 218-220 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
Pasal 218 mengatakan setiap orang yang dianggap menyerang kehormatan presiden dan wakil presiden bisa dipidana maksimal 3,5 tahun penjara atau denda Rp. 150 juta.
Pasal 219 menyebut setiap orang yang menyiarkan dan menyebarluaskan penghinaan terhadap presiden dan wakilnya dipidana empat hingga enam tahun penjara atau denda maksimal Rp. 150 juta.
Pasal 220 memastikan aturan ini merupakan delik aduan.
Kata “dianggap” dalam pasal tersebut tidak jelas, dianggap oleh siapa dan landasannya apa. Persepsi tiap kepala kadang tidaklah sama. Sehingga ini dinilai sebagai pasal karet. Tak bisa menutup mata dari fakta penerapan hukum yang masih tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Masih segar dalam ingatan bagaimana RJ, remaja 16 tahun dalam video berdurasi singkat yang viral di media sosial, menghina dan mengancam membunuh presiden Jokowi. Kemudian beredar pula video permohonan maaf dari orang tua RJ. Alhasil RJ tidak dinyatakan sebagai tersangka. Pada kasus lain, MFB remaja 18 tahun menjadi terdakwa penghina presiden divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp. 10 juta. Jika ditelisik RJ dan MFB, keduanya berbeda status sosialnya. Pasal tentang penghinaan presiden dan wakil presiden ini dikhawatirkan semakin menampakan kejomplangan hukum. Pasal-pasal ini pula berpotesi mensakralkan penguasa, cenderung antikritik dan menjadi simbol rezim represif.
Pasal 417 tentang perzinaan
Termuat dalam pasal 417 bahwasanya pelaku “kumpul kebo” dipidana penjara paling lama enam bulan atau denda maksimal Rp. 10 juta. Tujuannya untuk melindungi masyarakat, menjaga nilai agama dan moralitas serta mencegah prostitusi. Patut diapresiasi niat baik pemerintah untuk menghambat perzinaan. Namun sejauh mana aturan ini mampu melindungi masyarakat dari perzinaan? Langkah kuratif, sering kali menjadi fokus pemerintah dalam menangani suatu masalah. Padahal akan lebih mudah jika langkah preventif diupayakan lebih optimal. Prostitusi marak terjadi karena aksesnya cukup mudah. Di sejumlah kota besar banyak tempat lokalisasi yang bebas beroperasi. Sarkem di Yogyakarta, Saritem di Bandung, Limisnunggal di Bogor, Sintai di Batam dan masih banyak tempat prostitusi lainnya. PR besar bagi pemerintah untuk menutup bisnis prostitusi yang masih marak ini. Selain prostitusi, media membuka keran pornografi selebar-lebarnya. Sistem pergaulan liberal yang mengusung kebebasan yang kebablasan juga mengambil peran membuka pintu perzinaan.
Pasal 251 tentang aborsi
Dalam pasal 251 memuat aturan bagi pelaku aborsi dipidana penjara empat tahun atau denda Rp. 200 juta sedangkan bagi korban pemerkosaan diperbolehkan melakukan aborsi. Pemerintah hendak mengambil peran Tuhan dalam menentukan halal dan haram. Mereka menghalalkan membunuh. Padahal tidak ada satu agama pun menghalalkan membunuh nyawa tak berdosa. Pun dari segi moralitas itu tercela.
Pasal 604 tentang korupsi
Dalam pasal 604 disebutkan bahwa koruptor dihukum minimal penjara dua tahun dan denda minimal Rp. 10 juta. Pasal ini menuai banyak respon dari masyarakat, dan dianggap semakin meringankan para koruptor. Karena dalam pasal 2 UU Tipikor, hukuman penjara bagi koruptor adalah minimal empat tahun dan denda minimal Rp. 1 miliar. Jika demikian maka bukan tidak mungkin tindak kejahatan korupsi akan semakin meraja lela.
Pasal 432 tentang gelandangan
Pasal 432 menjelaskan bahwasanya gelandangan didenda Rp. 1 juta. Hal ini juga berseberangan dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Aturan ini justru akan menambah beban tunawisma. Untuk kebutuhan perut saja sudah sulit, apatah lagi untuk membayar denda.
KUHP adalah hukum buatan manusia yang sewaktu-waktu bisa dirubah jika sudah tidak sesuai dengan jaman atau kondisi masyarakat. Jangankan KUHP, UUD 1945 yang merupakan konstitusi negara pun sudah beberapa kali amandemen. Harapan bahwa dengan revisi KUHP dapat menghilangkan bayang-bayang penjajahan kolonial nyatanya memunculkan wajah penjajahan baru. Kebijakan yang semakin mencekik rakyat lemah dan memperkokoh benteng tikus-tikus berdasi.
Kekecewaan adalah keniscayaan tatkala bertumpu pada hukum buatan manusia. Kegagalan adalah mutlak bagi hukum yang bersumber dari zat yang terbatas. Maka seharusnya manusia bertumpu pada Zat yang Tidak Terbatas lagi Maha Kuasa. Tidak ada yang sebanding dengan-Nya. Ialah Allah yang menciptakan manusia. Allah telah memperingatkan dalam firman-Nya “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Maidah : 50).
Allah menurunkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang memuat hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya dan dengan sesamanya. Rasulullah telah mencontohkan kehidupan Islam dalam lingkup negara. Negara yang menerapkan Islam dalam seluruh sistem kehidupannya. Sistem ekonomi Islam bukan kapitalisme ribawi, sistem pergaulan Islam bukan sistem pergaulan liberal, sistem pemerintahan Islam yang mengurus urusan umat bukan sistem demokrasi yang mengurus kepentingan kaum kapitalis, sistem sanksi yang bersumber dari wahyu bukan dari akal yang terbatas. Negara tersebut adalah Khilafah Islamiyah. Negara adidaya pada masanya, yang berjaya selama 14 abad lamanya. Negara yang kegemilangannya luntur lalu runtuh oleh sebab ditinggalkannya Islam. Maka untuk kembali mengulang kejayaan itu, haruslah ada kesadaran dalam diri kaum muslimin untuk mengambil Islam sebagai jalan hidupnya dan berupaya mengembalikan institusi penerap syari’at yakni khilafah.
Wallahu a’lam bishshawab