Oleh : Rita Yusnita
(Komunitas Pena Islam)
Peristiwa penusukan Menkopolhukam, Wiranto (10/10) di Pandeglang, Banten menjadi viral dan mendapat berbagai reaksi dari warganet. Ada yang prihatin, tapi ada juga yang merasa acuh tak acuh bahkan sangsi. Salah satunya tanggapan datang dari aktris cantik, Marissa Haqque diantaranya tentang kondisi Wiranto yang tidak begitu parah dan yang terluka adalah Kapolsek Menes Kompol Daryanto yang melindungi Wiranto. “Lho betul dong dugaanku, wong kemarin di TV saya ndak melihat ada darah ditubuh pak W. Dan semua berita datang dari satu sumber video-hp dengan posisi adegan tertutup pintu mobil satu dengan kaca terbuka lalu pintu satunya dengan dengan kaca tertutup ber-riben gelap,” tulisnya, ( POJOKSATU.com, Jumat 11/10/2019 ).
Seperti diketahui Wiranto sendiri dirawat di Rumah sakit pusat angkatan darat / RSPAD Gatot Subroto diruang ICU dan kondisinya membaik. Seperti diketahui, penusukan ini dilakukan oleh seorang pria, Syahril Alamsyah alias Abu Rara warga Medan yang pada saat kejadian sedang bersama istrinya, Fitria. Keduanya ditahan dan disebut sebagai bagian dari Jamaah Ansharul Daulah (JAD) Bekasi.
Layaknya setiap peristiwa menyedihkan pasti akan menuai simpati. Tapi, kenyataannya justeru sebagian besar masyarakat malah antipati. Jangan heran, itu semua bukan kebetulan. Ini hasil dari penilaian masyarakat selama ini terhadap para wakil pemerintah. Bagaimana selama ini mereka menjalankan roda pemerintahan yang selalu jauh dari ekspektasi rakyat. Hampir setiap waktu kebijakan-kebijakan yang dijalankan memberatkan dan merugikan rakyat.
Pemimpin seharusnya menempatkan diri sebagai ri’ayatusy syu’unin naas, yakni sebagai penanggungjawab dan penjamin keamanan, kenyamanan dan juga martabat umat. Namun, dalam faktanya pemerintah lalai untuk urusan ini. Maka, tidak salah kalau rakyat yang berpikiran cerdas menganggap kerja mereka hanya sebagai pencitraan saja karena terbukti bahwa selama ini keadaan umat tak beranjak menjadi sejahtera. Inilah politik praktis dalam sistem demokrasi. Yang ada bukanlah pengurusan, tapi pencitraan.
Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual juga masalah moralitas (akhlak) ataupun persoalan-persoalan individual. Tapi juga, mengatur muamalah seperti ekonomi, sosial-budaya, pendidikan termasuk juga di dalamnya ada politik. Politik Islam merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing pada kebaikan. Dengan politik juga umat melakukan pengoreksian kepada pemerintah seperti aksi damai dan melakukan amar makruf nahi munkar kepada siapa saja yang melakukan maksiat dan melanggar hukum Allah (dakwah).
Politik Islam mampu menempatkan kemuliaan islam, umat islam dan hukum Allah. Sayang dalam sistem sekarang ini yang mana paham sekulerisme telah mengubah wajah politik menjadi penuh kedustaan, penipuan, penyesatan bahkan pembodohan baik oleh penguasa maupun politisinya. Seakan-akan politik itu adalah jalan untuk meraih kekuasaan hingga tak segan untuk saling serang dengan saudaranya sendiri.
Saatnya sistem kapitalisme-sekuler dicampakkan karena terbukti menjadi pangkal kerusakan dan kehancuran negara. Sebagai gantinya negara menerapkan Islam secara menyeluruh sebagai sistem kehidupan. Bukan hanya segi politiknya tetapi semua aspek kehidupannya sehingga akan terlahir para pemimpin yang amanah yang mampu melindungi dan menjaga umatnya hingga kejayaan Islam bukan sebatas mimpi belaka. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu . Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.”( QS. An-Nisa ayat 5).
Wallahualam bishowab.
*sumber gambar : google