Oleh : Wulan Amalia Putri, SST (Staf Dinas Sosial Kab.Kolaka)
Hingar bingar kondisi perpolitikan Indonesia bagai rangkaian episode drama. Sejumlah genre film ditayangkan secara langsung baik melalui media Online ataupun cetak. Film Drama, Komedi hingga sekuel Komik Jepang “Naruto” yang umumnya akrab bagi remaja tanggung, kini menjadi konsumsi publik, bahkan menjadi bahan analisis politik.
Pada periode September- Oktober, sejumlah kejadian membuka kanal-kanal pemikiran yang selama ini tertutup. Jalan damai yang selama ini selalu ditempuh seperti mendadak untuk dan membutuhkan dobrakan kuat untuk menghentakkan dan membuka pintu komunikasi. Elemen masyarakat yang selama ini tunduk mulai menanduk bahkan merangsek dan memanggil kekuatan baru untuk ikut andil.
Begitulah kiranya kita menilai pemandangan Heroik bergabungnya siswa Sekolah Teknik Menengah (STM) dalam sejarah aksi mahasiswa sepanjang bergulirnya reformasi.
Sejumlah kalangan sudah memprediksi bahwa Pasca pemilu 2019, Indonesia akan bergejolak. Namun tak seorang pun menginginkan gejolak seperti di Wamena. Demikian pula, tak seorang pun menghendaki derita anak-anak karena Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) karena Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang diklaim sudah dipadamkan oleh elit pemerintah.
Memang, konstelasi politik Indonesia sedang mengharu biru hendak menghitam. Sampai kemudian berubah warna-warni kelucuan karena munculnya kisah Naruto dalam tragedi Penusukan Menkopolhukkam, Wiranto, yang sungguh disayangkan.
Tak dipungkiri, panasnya konstelasi politik Indonesia telah dimulai bahkan sebelum Pilpres 2019. Pertarungan politik 2019 merupakan remah dari pertarungan politik 2014 dengan pemain yang sama, yakni Jokowi dan Prabowo. Akhirnya, asing-masing pihak maju dengan mengerahkan kekuatan yang besar. Baik dari segi opini ataupun narasi yang dijajakan kepada masyarakat. Meski kemudian akhirnya, pertarungan tersebut kembali dimenangkan oleh Jokowi, terlepas dari banyaknya spekulasi yang beredar mengenai intrik politik di balik kemenangan tersebut.
Macam-macam strategi politik yang disusun untuk memenangkan pemilu dari kedua kubu. Strategi Populisme, politik identitas dan sektarianisme oleh para elite partai politik dilakukan demi mencapai kemenangan.
Sayangnya, strategi tadi disalurkan lewat media massa dan media sosial, baik dalam bentuk berita Valid maupun Hoaks dan provokasi, membuat nilai-nilai kemanusiaan di tengah masyarakat menjadi luntur. Sebab semua informasi memuat narasi yang memecah belah yang membawa pada konflik dan perpecahan.
Kemudian, suhu politik sempat turun ketika pada 13 Juli 2019, Presiden Jokowi bertemu dengan Capres Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta. Mereka kompak memakai baju putih.
Kedatangan keduanya disambut riuh terkam warga. Saling sapa, salam bahkan berpelukan menjadi pemandangan yang disaksikan khalayak. Ada yang sumringah lega, namun sejumlah pihak juga kecewa. Padahal, dalam Kapitalisme Demokrasi, “tidak ada lawan yang abadi’. Politik kepentingan memungkinkan segalanya terjadi. Terjadinya rekonsiliasi atau polarisasi menjadi pertanyaan politik yang kemudian terjawab pada masa-masa seusai pemilu. Hampir dipastikan, inilah titik paling nadir bangsa ini dalam ber-demokrasi.
30 September 2019 rupanya menjadi momen yang membangunkan mahasiswa dan pelajar dari tidur lelapnya. Secara beruntun mahasiswa yang juga secara heroik dibantu oleh Siswa STM turun ke jalan, menghambur ke Istana Presiden dan Gedung DPR. Demonstrasi dilaksanakan secara beruntun bahkan mungkin serentak di berbagai daerah.
Seolah jengah dengan keputusan-keputusan yang akan pemerintah tetapkan melalui RUU KUHP ataupun mengenai KPK. Di Jogja, Tagar#GejayanMemanggil, di Surabaya menggunakan agar #Surabayamemanggil, di Kendari agar #Anoamemanggil menjadi pembakar semangat untuk menjalankan aksi. Setidaknya terdapat 7 tuntutan mahasiswa kepada DPR dan pemerintah, yakni:
1. RKUHP (mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang. Sebab, pasal-pasal dalam RKUP dinilai masih bermasalah), 2. Revisi UU KPK (Pemerintah juga didesak membatalkan revisi UU KPK yang baru saja disahkan. Revisi UU KPK dinilai membuat lembaga anti korupsi tersebut lemah dalam memberantas aksi para koruptor), 3. Isu Lingkungan (Mahasiswa menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di wilayah Indonesia). 4. RUU Ketenagakerjaan (Mahasiswa menilai aturan tersebut tidak berpihak kepada para pekerja), 5. RUU Pertanahan (mahasiswa menilai aturan tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria), 6. RUU PKS (Mahasiswa meminta agar pemerintah dan DPR menunda pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), 7. Kriminalisasi Aktivis (Mahasiswa mendorong proses demokrasi di Indonesia. Selama ini, negara dianggap melakukan kriminalisasi terhadap aktivis).
Namun sangat disayangkan, aktivitas pergerakan ini disambut santai oleh para elite. Bahkan pergerakan ini dikatakan ditunggangi oleh isu politik tertentu dan bertujuan untuk mengganggu proses pelantikan presiden. Mahasiswa dan pelajar menjadi korban, sebab konon katanya beberapa mahasiswa diculik saat aksi dan dianiaya. Ilham Akbar yang dijuluki pejuang reformasi meregang nyawa, diduga kuat karena dianiaya. Sementara itu, jumlah korban luka karena berseteru dengan aparat, juga cukup banyak.
Mosi tidak percaya kepada DPR sempat diutarakan oleh Ketua BEM ITB yakni Germanik Bahkan Manik menyanggah bahwa aksi yang mereka lakukan ditunggangi pihak tertentu. Namun sama saja, aksi ini berlangsung panas namun tak juga membawa perubahan. Justru pelantikan Adang pengisian kursi jabatan strategis terus dilakukan, dengan dilantiknya Puan Maharani sebagai Ketua DPR dan La Nyalla sebagai Ketua DPD. Kini semakin sulit bagi rakyat untuk mengadukan nasibnya.
Pandangan Islam Terhadap Perpolitikan Indonesia
Berbicara mengenai konstelasi politik tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai Ideologi. Terjadinya sejumlah peristiwa yang diuraikan di atas, ataupun yang mungkin luput dari uraian adalah bentuk hasil penerapan Ideologi kapitalis sekuler dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Tentu akan sangat berbeda dengan pandangan Ideologi Islam.
Dalam pandangan Islam, Hutan adalah milik umum (milkiyah ammah) yang tidak boleh seenaknya dibakar atau dimiliki dan dikelola oleh sembarang orang. Sebagaimana dalam hadis Riwayat Ahmad dikatakan bahwa “Kaum Muslim berserikat dalam 3 hal yakni, Air, Padang dan Api”. Hutan sendiri adalah bagian dari Padang dalam hadis tersebut dan pengelolaannya berada di tangan negara.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bangsa ini terancam konflik dan disintegrasi dalam segala lini. Masyarakat dan pemerintah tidak lagi saling menjaga dan melindungi. Konsep Nations-state telah meracuni bangsa. Jika disandarkan pada Islam, umat seharusnya tidak mengadopsi konsep tersebut. Allah SWT berfirman“Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara (QS. La-Hujurat:49). Ayat di atas menunjukkan bahwa umat Islam bersaudara.
Umat islam yang terpelihara dan terjaga tidak terlepas dari kemuliaan Syariah Islam. Menurut ajaran Islam, di antara dosa besar dan sanksi berat yang ditimpakan atas pelaku kejahatan adalah dalam kasus pembunuhan.
Allah SWT berfirman:
“Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat keruskan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya (TQS. al-Maidah:32). Tidak peduli berapa banyak orang yang terlibat dalam pembunuhan tersebut, Allah SWT memberikan ancaman yang keras terhadap para pelakunya.
Nabi SAW bersabda:
“Andai penduduk langit dan bumi berkumpul membunuh seorang Muslim, sungguh Allah akan menjerumuskan mereka semuanya dengan wajah mereka tersungkur di dalam neraka (HR. ath-Thabrani).
Larangan membunuh warga tanpa alasan yang hak juga berlaku pada kalangan Non Muslim. Nabi SAW mengancam siapa saja yang menghilangkan nyawa nun muslim tanpa alasan yang hak dengan ancaman tak akan mencium wangi surga, sebagaimana dalam HR. al-Bukhari.
Dengan konsep-konsep ini, tindakan kriminal (jarimah) dalam Karhutla, kasus Wamena, pembunuhan para aktivis serta penusukan Menkopolhukkam dan sejumlah kasus lainnya tidak seharusnya terjadi. Walaupun, di sisi lain telah muncul kesadaran umum (wa’yulaam) yang mengarah pada lahirnya opini umum (ra’yulaam) mengenai tidak kredibelnya pejabat publik saat ini. Padahal posisi pejabat publik sangatlah krusial.
Dalam buku The Great Leader of Umar bin Al Khathab karya Dr. Muhammad Ash-Shalabi dijelaskan bagaimana Khalifah Umat bin Khattab mempraktekkan kaidah-kaidah dasar dalam mencari dan mengangkat pejabat yang nantinya akan membantu menjalankan roda pemerintahan.
Kaidah pertama adalah mengangkat pejabat yang mempunyai Fisik yang kuat dan amanah. Ketika Umar bin Khattab re memberhentikan Syurahbilbin Hasanah dan mengangatMu’awiyah sebagai gantinya, Umar menyebutkan bahwa beliau mencintai Syurahbil dan Mu’awiyah namun Umar mengganti Syurahbil karena menginginkan pemimpin yang lebih kuat. Demikian pula masalah ke’amanah’an, yang senantiasa dipraktekkan sendiri oleh Umar bin alKhattab.
Kaidah Kedua adalah mendahulukan orang yang berilmu dan menguasai pekerjaan. Hal ini mengikuti jejak Rasulullah SAWdala mengangkat komandan pasukan. Menurut Ath-Thabari, jika ada pasukan yang terdiri dari orang-orang yang beriman berkumpul di hadapan Umar, dia menunjuk salah seorang yang menguasai agama dan berilmu untuk menjadi komandan mereka.
Kaidah ketiga, adalah belas kasihan dan kasih sayang terhadap rakyat. Umar bin Khatthab sangat mengharapkan kepada pegawainya untuk berbelas kasih kepada rakyat. Hal ini nampak pada sikap Umar ketika menyuruh para komandan pasukan untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan Orang islam kesusahan atau menyebabkan kematian.
Umar pernah menulis surat untuk seseorang yang akan diangkat sebagai pegawainya. Setelah orang itu datang, dia masuk ke rumah Umar Al-Faruk dan mendapati putra –putra Umar sedang berada di kamar Bapak mereka. Orang itu melihat Umar sedang menciumi putra-putranya. Dia bertanya kepada Umar bin Khattab, “Apakah engkau selalu melakukan hal ini, wahai Amirul Mukminin? Demi Allah, belumpernah sekalipun saya mencium anak lelakiku.” Umar kemudian berkata, “Demi Allah, kamu adalah orang yang hatinya sangat keras. Kamu tidak pantas menjadi pegawaiku.” Umar Al-Faruq kemudian membatalkan keputusannya untuk mengangkatnya sebagai pegawai.
Demikianlah tuntunan Islam dalam perkara kepemimpinan, ilmu dan adab. Tidak heran di zaman Islam, ada pemimpin-pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya, yang senantiasa mendoakan rakyat dan didoakan oleh rakyatnya. Wallahua’lambishawwab.