Oleh: Pahriati, S.Si (Guru di Tabalong)
Akhir-akhir ini, sejumlah aksi besar merebak di Indonesia. Bermula dari aksi mahasiswa, diikuti anak sekolah. Tuntutan mereka beragam. Dari tuntutan pembatalan revisi UU KPK, keseriusan penanganan karhutla, juga penolakan terhadap beberapa RUU yang dianggap bermasalah.
Tak lama setelah itu, terjadi pula aksi besar gabungan dari beberapa ormas Islam yang digelar di Monas. Semula namanya adalah Parade Tauhid Indonesia, namun kemudian diganti menjadi Aksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI. Mereka menuntut pemerintah agar segera bertindak menangani karhutla, kerusuhan di Wamena, tolak kebangkitan PKI, dan beberapa hal lain.
Ketua panitianya menegaskan bahwa umat Islam ingin ikut serta dalam arus perubahan. (CNN Indonesia, 27/09/2019)
Maraknya aksi tersebut menunjukkan bahwa masyarakat sudah merasakan buruknya sistem yang ada saat ini. Ya, siapapun yang berpikir jernih pasti sepakat jika dikatakan Indonesia sedang bermasalah. Dari masalah ekonomi dan politik, kehidupan sosial, permasalahan hukum, dsb.
Kita semua tentu berharap negeri ini bisa keluar dari kungkungan masalah. Terjadi sebuah perubahan yang membawa kebaikan. Namun sayang, nampaknya masih banyak yang kebingungan ke arah mana perubahan yang dituju, dan bagaimana mewujudkannya.
Padahal, dalam upaya melakukan perubahan, setidaknya ada tiga komponen yang harus dipahami. Pertama, kondisi seperti apa yang mau diubah. Kedua, seperti apa arah perubahan yang ingin dituju. Dan ketiga, bagaimana jalan yang ditempuh guna mewujudkan perubahan itu. Jika salah memahami ketiganya, maka sangat mungkin arah perubahan akan mengalami penyimpangan, atau menemui kegagalan.
Berkaca pada peristiwa reformasi tahun 1998, tuntutan masyarakat yang diinisiasi oleh mahasiswa memang mampu meruntuhkan kekuasaan yang dianggap diktator. Akan tetapi setelah dua dasawarsa berlalu, pemimpin pun berulang kali berganti, namun Indonesia masih tetap bermasalah. Bahkan kian hari kian terpuruk.
Memang selepas reformasi kran kebebasan terbuka lebar. Namun hal itu justru membawa Indonesia kepada masalah yang tiada habisnya. Cengkraman kapitalisme global menyeret Indonesia pada masalah ekonomi berkepanjangan. SDA dikuasai asing, sedang rakyatnya hanya bisa menikmati sejumput bagian di dalamnya. Indonesia juga terjerat utang luar negeri dengan jumlah fantastis.
Demokrasi telah melahirkan pejabat korup dan perundang-undangan yang bermasalah. Sarat kepentingan pihak tertentu. Liberalisme telah menghancurkan tatanan keluarga dan merusak generasi. Dan masih banyak persoalan lain yang tak berkesudahan.
Seharusnya dari sini kita belajar, bahwa permasalahan yang terjadi bukan hanya terkait siapa pemimpinnya, tapi juga terkait sistem aturan yang digunakannya. Jadi pergantian orang saja belumlah cukup. Kita juga perlu melakukan perubahan terkait sistem kehidupan yang bermasalah.
Yang kita perlukan saat ini bukan sekadar reformasi. Kita butuh revolusi. Namun perlu diperhatikan bahwa revolusi tidak selalu identik dengan perubahan yang berdarah-darah.
Menurut KBBI, revolusi memiliki tiga makna: perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata); perubahan yang cukup mendasar dalam suatu bidang; atau peredaran bumi dan planet-planet lain dalam mengelilingi matahari.
Revolusi yang kita inginkan di sini adalah perubahan mendasar di seluruh aspek kehidupan. Mengapa demikian? Karena masalah yang terjadi sekarang adalah masalah sistemik. Maka penyelesaiannya pun harus sistemik pula.
Kapitalisme telah nyata membawa masalah, baik Indonesia maupun dunia. Komunisme juga telah jelas mengalami kegagalan. Maka satu-satunya harapan kita adalah dengan menerapkan aturan Islam.
Islam bukan hanya agama doktrin yang sekadar mengatur akidah dan ibadah. Islam memiliki seperangkat aturan guna mengatur seluruh aspek kehidupan. Dari urusan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Aturan tersebut datang dari Allah Sang Pencipta, Zat Yang Maha Sempurna.
Menilik sejarah, ketika Daulah (negara) Islam tegak, hukum Islam bisa diterapkan secara sempurna. Saat itu terlahirlah peradaban yang agung. Rakyat hidup sejahtera. Kebutuhan pokok individual (sandang, pangan, papan) dan kolektif (pendidikan, kesehatan, keamanan) bisa terjamin. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Pemeluk agama yang berbeda-beda bisa hidup berdampingan dengan aman dan damai.
Namun ketika Daulah Islam telah diruntuhkan, peradaban mulia tersebut ikut lenyap. Dunia diliputi kegelapan. Masalah demi masalah terus berdatangan, sebagaimana yang saat ini kita rasakan.
Untuk mengembalikan semua itu, kita harus mencontoh pada jalan perjuangan Rasulullah Saw. Beliau mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat yang beradab. Mengantarkan Islam sebagai pusat peradaban dunia.
Rasulullah Saw. memulai perjuangannya dengan mengajak masyarakat untuk meninggalkan gaya hidup jahiliyah, mentauhidkan Allah, dan memberi gambaran bagaimana aturan Islam dalam kehidupan. Beliau membina para shahabat sehingga menjadi sosok yang berkarakter. Menyeru para tokoh dan pemuka suku untuk menerima Islam.
Perlahan tapi pasti dakwah itu bisa diterima. Dan pada puncaknya adalah terjadinya Baiat Aqabah kedua. Masyarakat Madinah (dulu bernama Yastrib) mengakui Rasulullah Saw. sebagai utusan Allah dan mengangkat beliau sebagai pemimpin mereka. Dan inilah titik awal terbentuknya Daulah Islam.
Sejak saat itu Rasulullah Saw. mulai menjalankan hukum Islam secara keseluruhan. Terbentuklah tatanan masyarakat yang mulia. Kebiasaan mabuk, judi, membunuh dan kelakuan jahiliyah lainnya akhirnya ditinggalkan. Mereka yang semula suka berperang, bisa hidup damai berdampingan.
Lantas setelah Rasulullah Saw. wafat, kepemimpinan beliau digantikan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, dilanjutkan oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan banyak Khalifah setelahnya. Islam semakin tersebar luas dan menjadi mercusuar dunia.
Demikianlah gambaran perubahan yang hakiki. Tak hanya terjadi pergantian pemimpin. Tapi juga perubahan tatanan kehidupan secara menyeluruh. Jalan inilah yang harus kita tempuh. Dakwah melalui pemikiran tanpa kekerasan. Menyadarkan masyarakat dan para tokoh umat agar kembali kepada Islam secara sempurna dengan menegakkan Khilafah.
Kelak, saat kesadaran itu telah terbentuk, maka dengan sendirinya mereka akan melakukan perubahan. Meninggalkan sistem kapitalisme yang rusak. Menggantikannya dengan sistem Islam yang akan membawa rahmat untuk seluruh alam. []