Pemimpin Hasil Buzzer Politik



Oleh: Chezo

 (Aktivis BMI Community Cirebon) 


Belakangan ini istilah buzzer kian ramai diperbincangkan di media sosial. Dalam pengertiannya, buzzer bisa diartikan sebagai pendengung yang tampil secara terang-terangan maupun bersembunyi di balik topeng untuk mempengaruhi pandangan publik akan suatu hal melalui media sosial. Awalnya, buzzer digunakan sebagai suatu strategi marketing digital penjualan produk. Namun, belakangan teknik ini digunakan pula untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitas tokoh atau partai politik tertentu.


Dalam sebuah penelitian garapan Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard berjudul 'The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation' yang diterbitkan oleh Universitas Oxford disebutkan bahwa Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan pasukan siber alias buzzer untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019 dengan bayaran 1-50 juta rupiah. (m.cnnindonesia.com) 


Di tengah ramainya perdebatan di media sosial soal kebijakan pemerintah dan langkah parlemen, muncul pula isu soal buzzer Istana untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitas penguasa saat ini yang kemudian dibantah oleh Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan. 


"Secara administrasi kami tidak membuat itu (buzzer), mereka berkembang masing-masing. Namun demikian yang perlu kita pahami bersama, bahwa bernegara perlu suasana yang nyamanlah,” ucap Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (4/10). (www.jawapos.com)


Sebagai seorang muslim,  maka sudah selayaknya kita mengarahkan pandangan kita pada solusi Islam. Selain sebagai sebuah agama,  Islam pun sebagai sebuah ideologi dimana didalamnya terdapat seperangkat aturan yang sempurna. Masalah memilih pemimpin pun sesungguhnya Islam memiliki solusinya. Hal ini dikarenakan pemimpin dalam Islam memiliki posisi yang sangat penting dimana ia akan mengurusi urusan ummat dengan berlandaskan pada hukum syara' sebagai bentuk ketundukan pada Sang Pencipta. Sebagaimana yang tertuang dalam hadist:


وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ إِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ


“Tidak diperkenankan bagi tiga orang yang berada di padang luas melainkan mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.” (HR. Ahmad)


Imam Abu Hamid al-Ghazali, dalam kitab beliau yang membahas akidah, yaitu al-Iqtishad fi al-I’tiqad pun mengatakan:


» أن نظام الدين لا يحصل إلا بنظام الدنيا«


“Bahwa sistem/aturan agama tidak akan dapat dicapai (dengan sempurna) tanpa sistem/aturan dunia (institusi pemerintahan/negara)”


Perkataan beliau di atas menggambarkan perlunya menerapkan aturan-aturan Islam dalam wadah institusi negara. Lebih lanjut beliau juga menyampaikan:


» الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع «


“Agama laksana pondasi dan kekuasaan (negara) laksana penjaga, setiap yang tidak berpondasi akan runtuh, dan setiap yang tidak berpenjaga akan hilang” (al-Ghazali, al-Iqtishad fil-I’tiqad, Juz 1: 75).


Maka, umat tentunya harus memilih orang yang memenuhi persyaratan sesuai dengan kaidah syara karena mereka paham perkara memilih pemimpin bukan sekadar menulis nama/mencoblos gambar. Tapi pemimpin adalah orang yang diamanahi mengurus keperluan umat. Sehingga umat seharusnya mempercayakannya pada orang yang tepat bukan sekedar memilih berdasarkan pencitraan dari buzzer.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak