Pemimpin Amanah Tak Perlu Bantuan Buzzer




Oleh: Endang S. 
(Penulis adalah Pemerhati Generasi)

Baru-baru ini dihebohkan dengan pemberitaan bahwa
Pemerintah dan partai-partai politik Indonesia mengerahkan serta membiayai pasukan siber alias buzzer di media sosial untuk memanipulasi opini publik. Demikian hasil penelitian para ilmuwan dari Universitas Oxford, Inggris baru-baru ini.

Pengerahan buzzer oleh pemerintah Indonesia itu diulas dua ilmuwan Oxford, Samantha Bradshaw dan Philip N Howard dalam laporan bertajuk The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation.

Dalam laporan itu dibeberkan bahwa pemerintah dan partai-partai politik di Indonesia menggunakan buzzer untuk menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik, dan menyebarkan informasi untuk memecah-belah publik.

Selain itu ditemukan juga bahwa di Indonesia, pemerintah dan partai-partai politik memanfaatkan pihak swasta atau kontraktor serta politikus untuk menyebarkan propaganda serta pesan-pesannya di media sosial.

Sementara alat yang digunakan adalah akun-akun palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot.

Berdasarkan isinya konten-konten yang disebarkan oleh pemerintah dan partai politik di Indonesia terdiri dari dua jenis: informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar.

Para buzzer di Indonesia, menurut penelitian itu, dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Mereka lazimnya dibayar di kisaran harga Rp 1 juta sampai Rp 50 juta.

Di Indonesia para buzzer ini bergerak di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp. Para buzzer belum banyak bergerak di Youtube.

Para peneliti dalam laporan ini secara umum menemukan bahwa manipulasi opini publik memanfaatkan media sosial dilakukan oleh 70 negara di seluruh dunia pada 2019, naik dari hanya 48 negara pada 2018 dan 28 negara pada 2017.

“Penggunaan propaganda komputasional untuk membentuk perilaku publik via media sosial sudah menjadi umum, sudah bukan lagi aksi dari segelintir aktor jahat,” tulis para peneliti dalam laporan itu. (Zonasatunews, 4/10/2019).

Ketika pemerintah dengan sengaja membayar tim buzzer hanya demi ambisi kekuasaan, bahkan sanggup menciptakan kebohongan di tengah publik memanipulasi, menciptakan kebinggungan lantas penguasa seperti inikah yang kita inginkan?

Malah justru para politisi dan media dipandangnya sebagai peluang yang dimanfaatkan untuk mempengaruhi pandangan hingga pilihan politik mereka. Hal ini wajar, sebab kekuasaa demokrasi ini bertumpu pada suara rakyat.

Jadi tidak wajar ketika para politisi menggunakan cara yang tidak pantas dengan memanipulasi informasi/membuat berita hoax. Sebenarnya Media sosial juga mempunyai kelemahan, yakni tidak memberi ruang untuk mengecek kebenaran informasi.

Oleh karena itu sangat mudah pembiaran informasi yang akan  mengakibatkan kekacauan pemikiran di tengah masyarakat. Sehingga kebenaran dianggap salah, kesalahan di anggap benar. 

Yang mengakibatkan kekeliruan dalam masyarakat dalam bertindak. Ketika pemimpin yang lahir dari kebohongan lazimnya akan melahirkan generasi kebohongan pula.

Standar ganda pemerintah sangat terlihat dari perbedaan sikap hukum terhadap pelaku hoax pro penguasa, dengan pelaku hoax yang berseberangan dengan penguasa.

Di dalam pandangan Islam hoax adalah haram, apalagi memuat kepentingan. Sehingga sudah seharusnya melakukan tabayyun untuk menangkalnya.
Allah SWT berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu." (TQS. Al-Hujurat 49: 6).

Tabayyun memang tidak mudah dalam era ini, karena tidak semua masyarakat mempunyai daya kritis serta memiliki akses untuk melakukan tabayyun.
Jika masih binggung dengan berita yang kiranya hoax, janganlah masyarakat ikut-ikut latah untuk menyebarkan berita tersebut.

Maka sudah saatnya kita kembali kepada aturan illahi yang mana pemimpin Islam dipilih karena memenuhi syarat in'iqod dan bukan karena iklan atau buzzer. Dan yang akan menerapkan hukum Islam di bumi ini. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak