Oleh : Susi Ummu Zhafira
Ibu rumah tangga, Generasi peduli negeri
Lonceng kematian demokrasi kiranya akan segera berbunyi. Bagaimana tidak, jika salah satu pilarnya mencoba diruntuhkan oleh tangan-tangan para pengembannya sendiri. Kebebasan berpendapat hari ini seolah-olah menjadi barang mahal. Apalagi ketika pendapat itu berseberangan dengan kepentingan penguasa.
Sebelumnya kita telah dipertontonkan oleh kesewenang-wenangan tangan penguasa untuk membungkam suara rakyat, melalui diterapkannya UU ITE yang disebut sebagian kalangan sebagai pasal karet. Karena memang sejak awal Undang-undang nomor 11 tahun 2008 dinilai memiliki multitafsir. Berpotensi disalahgunakan untuk mengancam kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat.
Telah banyak yang menjadi korban dari keberadaan UU ITE tersebut. Sebut saja Buni Yani atas kasus penyebaran video pidato Basuki Tjahaja Purnama (BTP) saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI pada 2016 lalu. Perbuatan Buni Yani dinilai memenuhi unsur Pasal 32 Ayat 1 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE. Kemudian ada Muhammad Arsyad, seorang aktivis antikorupsi ini dijerat atas tulisannya di Blackberry Messanger (BBM) pada 2013 lalu. Begitu juga Ahmad Dhani yang terjerat atas twitnya pada 2017 yang dinilai menyebarkan kebencian dan permusuhan. Dan dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
Masih banyak lagi kasus-kasus serupa yang kemudian dinilai masyarakat luas merupakan upaya-upaya pemerintah untuk melakukan pembungkaman terhadap jeritan rakyat. Sebab UU ITE ini kebanyakan menyasar kepada pihak-pihak yang kontra terhadap kebijakan rezim. Disisi lain, kasus-kasus serupa yang dilakukan oleh pendukung rezim, sama sekali tidak tersentuh dengan UU yang telah diterapkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini. Kasus Victor Laiscodat dan Deni Siregar misalnya. Meski sudah dilaporkan beberapa pihak, tetap saja mereka terbebas dari jeratan hukum dengan berbagai alasan.
Kekerasan yang dilakukan aparat terhadap para mahasiswa peserta demonstrasi beberapa waktu lalu, menjadi bukti nyata selanjutnya atas upaya pembungkaman suara perubahan yang dilakukan penguasa. Kebiadaban aparat dalam memperlakukan para demonstran akhirnya menelan banyak korban jiwa dan luka-luka. Ada Bagus Putra Mahendra (15), Maulana Suryadi (23) Akbar Alamsyah (19) Randy (22), dan Yusuf Kardawi (19) tercatat menjadi korban jiwa hingga saat ini. Tak terhitung lagi banyaknya korban luka yang berjatuhan dari pihak mahasiswa dan anak-anak SMK.
Suhu kepanikan rezim semakin meningkat. Upaya pembungkaman suara perubahan terus saja dilakukan. Terakhir, Menristekdikti M Nasir dikabarkan akan memberikan sanksi terhadap rektor yang menggerakkan mahasiswa untuk demo. Nasir menyatakan, pihaknya siap memberikan sanksi keras. Dari memberikan peringatan, SP1, SP2, bahkan sanksi hukum siap menjerat para rektor yang mengizinkan mahasiswanya untuk melakukan aksi unjuk rasa yang dinilai dapat menyebabkan kerugian negara. (m.detik.com/26 September 2019)
Upaya ini kemudian menuai kritik dari Direktur Eksekutif TIDI (Indonesian Democracy Initiative), Arya Sandhiyudha dalam keterangan tertulis, Jumat (27/9/2019) lalu. Menurut Arya, pemerintahan di sebuah negara demokrasi tidak layak mengeluarkan pernyataan seperti itu. Sebab ditilik dari sejarah, kampus adalah laboratorium gerakan moral dan intelektual. Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa beberapa waktu lalu itu, justru dinilai menjadi bukti kepada dunia internasional civil society bahwa kita masih aktif dan punya ruang berekspresi. Skala demo itu harusnya kita anggap sebagai bentuk ekspresi semangat anti korupsi dari generasi muda. Sebab mereka merupakan aset masa depan Indonesia. (m.detik.com/28 September 2019)
Gelombang pergerakan mahasiswa di tengah karut marut persoalan yang menggurita, menjadi sebuah penghilang dahaga masyarakat terhadap pihak-pihak yang peduli akan nasib bangsa. Sikap kritis para mahasiswa senantiasa dinanti untuk memperjuangkan perubahan ini, haruslah mendapatkan apresiasi. Bukan malah dipersekusi. Mendapatkan tuduhan adanya pihak-pihak yang menunggangi.
Mahasiswa sudah selayaknya memahami posisinya sebagai ujung tombak peradaban. Mereka harus senantiasa istiqomah dalam memotori arah perubahan. Sebagai generasi muda yang dimiliki umat Islam, mereka memiliki tanggungjawab untuk melakukan pergerakan yang dilandasi dengan dasar ideologi yang sahih. Menjadikan aktivitas amar makruf nahi mungkar sebagai poros kehidupan hanya karena dorongan akidah yang digenggam. Terdepan dalam dakwah, teguh menyampaikan kebenaran Islam dan lantang menyuarakan kebenaran di hadapan kezaliman.
Jika kebaikan dan keselamatan ingin meliputi bumi pertiwi, maka sudah semestinya penguasa bermuhasabah diri. Berhenti melakukan pembungkaman suara perubahan dengan berbagai kezaliman! Segera membuka telinga lebar-lebar. Dengarkan setiap aspirasi demi mendapatkan solusi dari berbagai persoalan yang membelit negeri ini tiada henti.
Namun, ketika rezim tetap bebal dan berkeras hati, tak peduli jeritan rakyat yang kian sekarat. Apalagi ketika tangan-tangan kekuasaan itu terus berusaha membekap erat suara yang senantiasa menyeru kepada perubahan, maka tunggulah kehancuran bangunan demokrasi. Rakyat akan semakin muak. Hingga akhirnya, tak tersisa lagi kepercayaan kepada sistem besutan akal manusia yang penuh cacat cela.
Justru suara perubahan akan semakin menggema. Islam dengan seluruh perangkat aturannya yang sempurna menjadi pilihan pasti. Demokrasi pun akhirnya semakin meredup dan segera menemui ajalnya. Kebangkitan hakiki umat yang dinanti terwujud nyata. Fajar kemenangan Islam kan terpancang tinggi. Rahmat dan keberkahan segera menyelimuti bumi dengan diterapkannya aturan Sang Illahi.