Oleh: Yuni Untari
"Pemilihan umum telah memanggil kita. Seluruh rakyat menyambut gembira. Hak demokrasi Pancasila. Hikmah Indonesia merdeka. Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya. Pengemban ampera yang setia. Di bawah Undang-Undang Dasar 45. Kita menuju ke pemilihan umum"
Diatas adalah lirik mars pemilu yang dilagukan sejak tahun 1953.
Dalam mars tersebut ada harapan dengan pemilu terpilih orang-orang yang mewakili rakyat untuk membuat aturan yang dibutuhkan rakyat. Terlebih saat ini dimana kondisi rakyat yang semakin terpuruk jauh dari kesejahteraan.
Minimnya pemenuhan kebutuhan hidup rakyat. Sulitnya akses berbagai fasilitas kesehatan, pendidikan bahkan keadilan. Maka wajar jika setelah bertahan lima tahun rakyat memiliki harapan untuk lebih baik saat pemilu.
Tapi sayang, harapan tinggal harapan. Setiap selesai pesta demokrasi rakyat disuguhi makanan yang sama. Bahkan lebih parah. Kesejahteraan masih jauh dari harapan. Orang-orang yang menang dalam pemilu menunjukkan berpihak pada siapa mereka. Sebagai contoh kasus saat rakyat mengapresiasikan keinginannya menolak pengesahan UU KPK beberapa waktu lalu, alih-alih mereka disambut diajak berdialog, penguasa justru represif dalam menangani kegiatan tersebut. Bahkan dikabarkan ada korban jiwa, belum yang terluka.(liputan6.com, 11 Oktober 2019). Rakyat tidak tahu harus kemana jika ingin menyampaikan keinginannya. Para wakil rakyat terpilih terlihat hanya mengurus diri mereka, kelompok mereka dan kepentingan mereka sendiri.
Joko Widodo sebagai presiden terpilih dari partai pemenang pemilu. Puan Maharani sebagai ketua DPR karena puan merupakan wakil rakyat dari partai pemenang pemilu yang memiliki suara terbanyak, sesuai UU MPR, DPR yang terbaru. Dari sini bisa ditebak kemana arah kepentingan penguasa. Jika satu partai menguasai semua lini, yudikatif, eksekutif ditambah badan pembina sumber hukum Indonesia yaitu Megawati adalah ketua umum partai pemenang pemilu. Apa yang akan terjadi jika 3 pilar negara (Trias politika) dipegang sepenuhnya oleh satu partai? Kekuasaan tanpa batas. Dalam kondisi negara seperti ini, masihkah ada lawan yang hanya sekedar mengawasi dan mengkoreksi? Atau justru mereka akan bergabung dengan kekuasaan.
Politik demokrasi yang diemban negara ini tak banyak memberi solusi atas berbagai masalah yang ada. Bahkan masalah demi masalah datang terus dan terus tanpa penyelesaian yang pasti. Satu penguasa dengan multi kekuasaan akan sulit untuk dipatahkan. Akan banyak cara bagi penguasa untuk menjaga kekuasaannya agar tetap langgeng bahkan semakin mencengkeram. Hingga mereka, para penguasa hanya sibuk bagaimana agar mereka tetap berkuasa dan hanya sedikit memikirkan hajat rakyat. Lalu apa fungsi negara?
Negara ini mengemban sistem demokrasi kapitalisme sekulerisme. Demokrasi dengan kedaulatan ada pada wakil rakyat hanya omong kosong. Demokrasi hanya ilusi bagi rakyat. Kedaulatan ada ditangan pemilik modal bukan rakyat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan islam.
Demokrasi tak ada di dalam islam, karena kedaulatan ditangan syara' bukan ditangan manusia yang lemah dan terbatas. Sehingga UU yang dihasilkan oleh negara bukan berasal dari kepentingan penguasa dan pemikik modal tapi berasal dari Al quran dan hadist. Di dalam islam pun juga tidak ada trias politika. Semua murni dari bait rakyat.