Oleh: Amalidatul Ilmi, S.Pd. (Freelance Writer)
Seantero jagat maya hingga saat ini masih hangat memperbincangkan kasus penusukan Pak Wiranto yang terjadi beberapa waktu lalu.
Penusukan yang terjadi di Alun-alun Menes, Desa Purwaraja, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang, Banten, Kamis (10/10) berhasil menjadi viral.
Begitu banyak kita baca tulisan dan menyaksikan video yang diberitakan. Simpang siur berita antara satu sama lain akhirnya juga menimbulkan kebingungan publik.
Bagaimana tidak. Kejadian yang menjadi viral tersebut mempunyai alur kronologi yang tak logis namun dramatis.
Seperti berita yang dilansir oleh (pojoksatu.id11/10). Artis senior Marissa Haque mengeluarkan pernyataan yang cukup mengejutkan terkait insiden penusukan yang dialami Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Wiranto.
Dia mengunggah beberapa judul berita terkait peristiwa yang terjadi. Diantaranya, soal kondisi Wiranto yang tidak begitu parah dan yang terluka adalah Kapolsek Menes Kompol Daryanto yang melindungi Wiranto.
“Lho betul dong dugaanku. Wong kemarin di TV saya ndak melihat ada darah di tubuh Pak W. Dan semua berita datang dari satu sumber video-HP dengan posisi adegan tertutup pintu mobil satu dengan kaca terbuka lalu pintu satunya dengan kaca tertutup ber-riben gelap,” tulisnya, Jumat (11/10/2019).
“Kami orang-orang pekerja film cukuplah meresponnya dengan tersenyum semanis madu, hehehe… Love you all! Kecup jauh deh, muah… muah… muah… muah!,” ungkapnya.
Wiranto sendiri dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat/ RSPAD Gatot Subroto dan berada di di ICU dan kondisinya membaik.
Seperti diketahui, penusukan ini dilakukan oleh seorang pria Syahril Alamsyah alias Abu Rara, warga Medan, yang kejadian bersama istrinya Fitria di lokasi dekat mobil Wiranto.
Keduanya saat ini ditahan dan disebut-sebut sebagai bagian dari Jamaah Ansharul Daulah (JAD) Bekasi.
Selain itu kejadian penusukan tersebut juga santer dikait-kaitkan dengan radikalisme dan terorisme. Hal ini juga mendapat sindiran dari Hanum Rais yang akhirnya ia juga dipolisikan akibat cuitan di akun twitternya.
Ia menyatakan, hanya ingin menyampaikan kondisi masyarakat saat ini di mana masyarakat sudah memahami mana yang harus dipercayai.
Berikut klarifikasi Hanum sebagaimann dikutip dari akun twitternya:
"Kehapus. Saya hanya menyampaikan betapa masy. skrg susah memahami mana yang harus dipercayai. Dan itu sangat mengkhawatirkan
Mlihat komen online, Anda bisa mengecek juga,sy justru mengungkapkan keprihatinan mendalam karna masy. seapatis itu dan setidakpeduli itu. Ditambah dgn media yg trs memberi info salah/gegabah. Jelas kita menyesalkan yg tjd. And we’re in the same boat: fighting against violence!
Thread sy ttg keprihatinan sy memang sy mulai dgn tweet tsb. Baru saya mau lanjutkan, tp terdel. Preseden hukum dan penegakannya yang timpang, contoh berita ambulans dll, hoax dan segala gejalanya membuat keruh cara berpikir netizen lewat komen2ny. Dan itu sangat disesalkan"
Hanum dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Relawan Jam'iyyah Jokowi-Maruf Amin pada Jumat (9/11/10/2019).
Dikutip dari Kompas.com, Hanum Rais dilaporkan karena dianggap telah menyebarkan berita bohong terkait peristiwa penusukan Wiranto pada Kamis (10/10/2019) melalui akun Twitter (tribunnews.com).
Dari kejadian tersebut kita dapat melihat bersama secara kasat mata. Atas Ketidakmampuan penguasa dalam menjalankan peri’ayahan (kepengurusan yang layak) pada rakyat. Akhirnya membuat penguasa mempermalukan dirinya. Sosok rezim ibarat jaring/rumah laba-laba. Terlihat bagus dari luar tapi hakikatnya rapuh/lemah, sampai harus melakukan kebohongan dihadapan publik (read:masyarakat).
Merindukan Kepemimpinan Syar'i
Berkaca dari kejadian tersebut. Umat saat ini sebenarnya amat merindukan kepemimpinan yang syar’i. Sebabnya, kesadaran keislaman mereka makin meningkat. Umat sudah banyak yang mau tertipu narasi penguasa akan radikalisme terorisme dan sejenisnya.
Model kepemimpinan liberal saat ini memiliki ciri khas membenarkan kebohongan melalui pencitraan, kemudian berbiaya mahal serta melelahkan. Dengan itu oula jika rakyat semakin cerdas maka penguasa tersebut semakin tidak disukai rakyat.
Umat sesungguhnya juga telah muak dengan sistem sekular-kapitalis-liberal yang terbukti gagal. Sistem ini hanya memproduksi banyak persoalan seperti: kemiskinan, pengangguran, utang luar negeri, dll. Juga memprosuksi banyak pemimpin yang tak becus dalam kepemimpinannya serta dzolim terhadap rakyatnya.
Namun demikian, berbicara tentang kepemimpinan syar’i sesungguhnya berbicara tentang dua hal: pertama tentang sosok pemimpin kedua tentang sistem kepemimpinan. Dua-duanya harus sesuai dengan aturan syariah.
1. Pemimpin Syar’i
Saat membincangkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah), Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizham al-Hukm fiî al-Islam menyebutkan syarat-syarat syar’i yang wajib ada pada seorang pemimpin (Imam/Khalifah) yaitu: (1) Muslim; (2) laki-laki; (3) dewasa (balig); (4) berakal; (5) adil (tidak fasik); (6) merdeka; (7) mampu melaksanakan amanah Kekhilafahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
Syaikh an-Nabhani juga menyebutkan syarat tambahan sebagai afdholiyah, bukan sebuah keharusan bagi seorang pemimpin di antaranya: (1) mujtahid; (2) pemberani; (3) politikus ulung.
Kemudian Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Afkar as-Siyasiyyah juga menyebutkan beberapa karakter seorang pemimpin yaitu:
Pertama, berkepribadian kuat. Orang lemah tidak pantas menjadi pemimpin. Abu Dzar ra. pernah memohon kepada Rasululah saw., untuk menjadi pejabat, namun beliau bersabda:
يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنَّكَ ضَعِيفٌ، وَإِنَّهَا أَمَانَةُ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيهَا
“Abu Dzar, kamu ini lemah, sementara jabatan ini adalah amanah. Pada Hari Pembalasan amanah itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil amanah tersebut sesuai dengan haknya dan menunaikan kewajiban dalam kepemimpinannya.” (HR Muslim).
Kedua, bertakwa. Sulaiman bin Buraidah, dari bapaknya, menuturkan, “Rasulullah saw., jika mengangkat seorang pemimpin pasukan atau suatu ekspedisi pasukan khusus, senantiasa mewasiatkan takwa kepada dirinya.” (HR Muslim).
Seorang pemimpin yang bertakwa akan selalu menyadari bahwa Allah SWT senantiasa memonitor dirinya dan dia akan selalu takut kepada-Nya. Dengan demikian dia akan menjauhkan diri dari sikap semena-mena (zalim) kepada rakyat maupun abai terhadap urusan mereka.
Khalifah Umar ra. adalah kepala negara Khilafah yang luas wilayahnya meliputi Jazirah Arab, Persia, Irak, Syam (meliputi Syria, Yordania, Libanon, Israel, dan Palestina), serta Mesir. Beliau pernah berkata, “Andaikan ada seekor hewan di Irak terperosok di jalan, aku takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku mengapa tidak mempersiapkan jalan tersebut (menjadi rata dan bagus).”(Zallum, idem).
Ketiga, memiliki sifat welas kasih. Ini diwujudkan secara konkret dengan sikap lembut dan bijak yang tidak menyulitkan rakyatnya. Terkait ini Rasulullah saw. pernah berdoa:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
“Ya Allah, siapa saja yang diberi tanggung jawab memimpin urusan umatku dan menimbulkan kesulitan bagi mereka, maka persulitlah dia. Siapa saja yang memerintah umatku dengan sikap lembut (bersahabat) kepada mereka, maka lembutlah kepada dia.” (HR Muslim).
Abu Musa al-Asyari r.a., saat diutus menjadi wali/gubernur di Yaman, menyatakan bahwa Rasulullah saw. pun pernah bersabda:
بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا
“Gembirakanlah (rakyat) dan jangan engkau hardik. Permudahlah (urusan) mereka dan jangan engkau persulit.” (HR al-Bukhari).
Keempat, penuh perhatian kepada rakyatnya. Maqil bin Yasar menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang memimpin pemerintahan kaum Muslim, lalu dia tidak serius mengurus mereka, dan tidak memberikan nasihat yang tulus kepada mereka, maka dia tidak akan mencium harumnya aroma surga.” (HR Muslim).
Kelima, istiqamah memerintah dengan syariah. Diriwayatkan bahwa Muadz bin Jabal, saat diutus menjadi wali/gubernur Yaman, ditanya oleh Rasulullah saw., “Dengan apa engkau memutuskan perkara?” Muadz menjawab, “Dengan Kitabullah.” Rasul saw. bertanya lagi, “Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam al-Quran)?” Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasululllah.” Rasul saw. bertanya sekali lagi, “Dengan apalagi jika engkau tidak mendapatinya (di dalam al-Quran maupun as-Sunnah)?” Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad.” Kemudian Rasulullah saw. berucap, “Segala pujian milik Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah ke jalan yang disukai Allah dan Rasul-Nya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Baihaqi).
2. Sistem Kepemimpinan Syar’i.
Sistem kepemimpinan syar’i adalah sistem kepemimpinan yang dibangun oleh Rasulullah saw. Dalam shirah nabawiyyah, berdasarkan riwayat-riwayat yang terpercaya, telah disebutkan informasi akurat mengenai bentuk dan stuktur kepemimpinan yang dibangun Rasulullah saw.
Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Madinah menunjukkan bahwa beliau membangun negara, melakukan aktivitas kenegaraan serta meletakkan landasan teoretis bagi bentuk dan sistem pemerintahan yang maju. Bahkan di kemudian hari, sistem pemerintahan Islam, baik yang menyangkut aspek kelembagaan maupun hukum, banyak diadopsi dan menjadi dasar bagi sistem pemerintahan modern.
Memang pada masa Rasulullah saw. sistem dan struktur kenegaraan belum dilembagakan dalam sebuah buku khusus. Namun demikian, praktik kenegaraan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat adalah perwujudan nyata dari sistem pemerintahan Islam, yang berbeda dengan sistem pemerintahan manapun.
Pemerintahan Islam yang dibangun oleh Rasulullah saw. meliputi asas negara, struktur, perangkat, mekanisme pemerintahan, serta kelengkapan-kelengkapan administratif.
Pemerintahan Islam didasarkan pada prinsip: kedaulatan di tangan syariah dan kekuasaan di tangan rakyat.
Kedaulatan (sovereignty) adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum. Islam telah menggariskan bahwa kedaulatan tertinggi untuk membuat hukum hanya di tangan Allah SWT semata. Manusia, termasuk Khalifah, tidak memiliki kewenangan dan hak sama sekali untuk membuat hukum. Khalifah hanya berkewajiban mengadopsi hukum yang digali oleh para mujtahid dari nash syariah melalui ijtihad yang benar, untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
Adapun kekuasaan adalah kewenangan untuk mengangkat kepala negara (khalifah). Kewenangan ini ada di tangan rakyat yang disalurkan melalui sebuah mekanisme yang bernama baiat. Dalam Islam, rakyat memiliki kewenangan mengangkat salah seorang di antara mereka untuk menjadi kepala negara yang akan mengatur urusan mereka dengan syariah Islam.
Daulah Islam dipimpin oleh seorang khalifah yang bertugas untuk menerapkan dan menegakkan syariah Islam di dalam negeri serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Oleh karena itu, aturan yang diberlakukan di dalam Daulah Islam adalah aturan Islam, bukan aturan lain. Allah SWT berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan (TQS an-Nisa’ [4]: 65).
Allah SWT pun berfirman:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
Hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di tengah-tengah mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan (TQS al-Maidah [5]: 49).
Atas dasar ini, seluruh perundang-undangan di dalam sistem pemerintahan Islam, baik undang-undang dasar maupun undang-undang lain yang ada di bawahnya, wajib berupa syariah Islam yang digali dari akidah Islam, yakni bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah.
Dalam sejarah, nyata sekali bahwa Rasulullah saw. membangun Daulah Islam di Madinah al-Munawwarah berdasarkan akidah Islam dengan seluruh pilar dan strukturnya, termasuk membentuk pasukan/militer, menjalin hubungan ke dalam dan ke luar negeri, dll sesuai dengan tuntutan syariah Islam.
Dengan demikian agenda umat para intelektual dan ulamanya saat ini sejatinya adalah bagaimana mewujudkan kepemimpinan syar’i yang meliputi: sosok pemimpin syar’i dan sistem kepemimpinan syar’i.
Kita berharap, hal ini bisa menjadi kesadaran dan opini umum kaum Muslim. Dengan itu aspirasi dan kecenderungan kaum Muslim tidak hanya sekadar memilih sosok pemimpin yang berkarakter sebagaimana disebutkan syarat-syarat dan kriterianya di atas.
Lebih dari itu, mereka juga mau memperjuangkan sistem kepemimpinan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat membangun Daulah Islam di Madinah. Sistem ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin yang oleh Rasul saw. disebut sebagai Khilafah ala minhaj an-Nubuwwah. []
Wallahu'alam bishowab