Politisi Fraksi PKS, dokter Adang Sudrajat.
Hidayatullah.com– Anggota DPR RI yang juga berprofesi sebagai dokter, dr Adang Sudrajat meminta pemerintah untuk membatalkan rencana kenaikan BPJS Kesehatan.
Legislator dari Kabupaten Bandung dan Bandung Barat ini berkeyakinan, bila BPJS dinaikkan, dampak yang dirasakan masyarakat yang tergolong memiliki ekonomi lemah akan sangat terasa bebannya.
Baru-baru ini, pemerintah berencana akan menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan.
Rencana kenaikan ini dilakukan secaraserentak pada tahun 2020 pada golongan kelas I dan II. Masing-masing kelas akan naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 dan Rp 51.000 menjadi Rp110.000.
“Saya melihat, bahwa Pemerintah saat ini sedang tambal sulam kebijakan, untuk menutupi defisit BPJS, yang cenderung memberatkan.
Menaikkan Iuran BPJS Kesehatan Persoalan Serius
masyarakat yang paling terbebani oleh kenaikan BPJS adalah masyarakat yang merupakan Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU).
Mereka adalah pekerja yang melakukan kegiatan atau usaha ekonomi secara mandiri untuk memperoleh penghasilan dari kegiatan atau usahanya tersebut.
Mereka meliputi pemberi kerja, pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri, dan pekerja yang tidak termasuk pekerja di luar hubungan kerja yang bukan menerima upah, seperti tukang ojek, supir angkot, pedagang keliling, dokter, pengacara/advokat, dan artis.
“Pekerja bukan penerima upah adalah kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap perubahan iklim usaha, tapi paling berjasa dalam memacu perekonomian. Golongan ini ditenggarai yang paling banyak menunggak iuran BPJS, karena iklim usaha yang tidak kondusif.
Kebijakan meletakkan BPJS sebagai satu satunya penyelenggara JKN adalah keputusan politik yang gegabah karena selain menafikan kemampuan beberapa daerah yang memiliki keluangan finansial, juga terbukti kontra produktif terhadap desentralisasi kewenangan yang sedang dibangun.
“Pemerintah terhadap BPJS ini seperti menganugerahkan kewenangan monopoli operasional pada badan yang belum terbukti kehandalannya. Pemerintah terlalu percaya diri memberi kepercayaan yang sangat besar kepada BPJS sebagai operator JKN dari sebuah negara besar dengan penduduk yang padat, sehingga pada akhirnya realisasi di lapangan menjadi amburadul.
Pandangan MUI,BPJS yang dipermasalahkan adalah BPJS untuk dua program,
Pertama, untuk program jaminan kesehatan mandiri dari BPJS, dimana peserta membayar premi iuran dengan tiga kategori kelas.
Kedua, jaminan kesehatan Non PBI (Peserta Bantuan Iuran) yang diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI, lembaga dan perusahaan. Dimana dana BPJS sebagian ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan juga sebagiannya ditanggung peserta.
Dalam program ini, MUI menimbang adanya 3 unsur pelanggaran dalam BPJS,
Pertama, gharar (ketidak jelasan) bagi peserta dalam menerima hasil dan bagi penyelenggara dalam menerima keuntungan.
Kedua, mukhatharah (untung-untungan), yang berdampak pada unsur maisir (judi)
Ketiga, Riba fadhl (kelebihan antara yang diterima & yang dibayarkan). Termasuk denda karena keterlambatan.
Penjelasan lebih rincinya sebagai berikut,
Pertama, Peserta bayar premi bulanan, namun tidak jelas berapa jumlah yang akan diterima. Bisa lebih besar, bisa kurang. Di situlah unsur gharar (ketidak jelasan) dan untung-untungan.
Ketika gharar itu sangat kecil, mungkin tidak menjadi masalah. Karena hampir dalam setiap jual beli, ada unsur gharar, meskipun sangat kecil.
Dalam asuransi kesehatan BPJS, tingkatannya nasional. Artinya, perputaran uang di sana besar. Anda bisa bayangkan ketika sebagian besar WNI menjadi peserta BPJS, dana ini bisa mencapai angka triliyun. Jika dibandingkan untuk biaya pemeliharaan kesehatan warga, akan sangat jauh selisihnya. Artinya, unsur ghararnya sangat besar.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
Tags
Opini