Oleh : Anis Nofitasari*
Perubahan. Sebuah kata yang memiliki banyak makna. Perubahan pada hakikatnya merupakan suatu proses alami yang terus-menerus ada di kehidupan ini. Apapun dan siapapun, tak terikat oleh ruang dan waktu. Semua orang ingin sejahtera. Perubahan akan terus menghampiri fase hidup manusia selama masih terjaga di dunia yang fana. Mengupayakannya melalui aturan yang berlaku yang didorong oleh tujuan dan motivasi hidup.
Tak ubahnya seperti pemerintahan dan negara yang diibaratkan seperti tubuh, akan terus mengalami tumbuh kembang dan senantiasa berubah, baik menuju ke arah yang lebih baik ataupun sebaliknya.
Pada penerapannya, negara terkait dengan dua belah pihak yang tak terpisahkan, yakni pemerintah dan rakyat. Pemerintah turut mempengaruhi kehidupan warga negara yang ada di dalamnya. Melalui penerapan aturan yang berlaku, rakyat yang peduli bisa menyimpulkan dan menilai, apakah negaranya mengalami tumbuh kembang yang baik atau buruk, berhasilkah meriayah rakyatnya atau tidak dan apakah perubahan yang terjadi mengantarkan pada kesejahteraan atau kemunduran.
Jika suatu negara telah mencapai taraf sejahtera dan sesuai dengan aturan yang berlaku maka rakyat haruslah mendukung segala aturan yang diterapkan oleh rezim, tentu aturan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebaliknya, apabila telah nampak di depan mata kepincangannya dalam menerapkan aturan, yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka rakyat wajib mengingatkan penguasa atau pemerintah sebagai pemimpin yang memiliki andil mengurusi jalannya pemerintahan.
Carut-marut yang terjadi di berbagai bidang menunjukkan ketidakberesan penerapan aturan di Indonesia. Mulai dari bidang ekonomi, seperti naiknya iuran BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). BPJS ini adalah layaknya pemalak. Bidang politik, seperti dugaan kecurangan tatkala dan pasca pemilu di bulan April kemarin, perebutan kursi, jabatan, dan kekuasaan di ranah perpolitikan.
Bidang sosial, seperti bertambahnya angka kriminal, bertambahnya angka kemiskinan, dan bencana kabut asap di Riau dan Palembang. Bidang pertahanan dan keamanan, seperti kerusuhan yang terjadi di Papua dan Wamena. Sekelumit permasalahan di atas haruslah segera direspon secara cepat yang disertai dengan solusi penyelesaian masalah.
Namun jauh panggang dari api, hal itu nampaknya hanya berlaku pada kajian ilmu dalam menangani problematika semata. Penguasa nampak panik, sehingga menggunakan kekuasaan untuk membungkam suara perubahan. Seperti halnya aksi rakyat yang diwakili oleh mahasiswa di seluruh penjuru negeri beberapa waktu lalu. Mereka turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya melalui demo.
Menanggapi berbagai UU buatan manusia yang sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan apalagi agama Islam. Mahasiswa adalah tonggak perubahan (agent of change) sebuah peradaban. Sehingga mahasiswa wajib menyadari posisinya sebagai motor perubahan, yang menekankan fungsi amar ma'ruf nahi mungkar. Amar ma'ruf nahi mungkar sangatlah penting dilakukan dan harus disadari bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi seorang muslim.
Allah SWT berfirman dalam Al Qur'an, yakni surat Al Asr ayat 1-3, yang artinya :
"Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasehati untuk kesabaran".
Sangat tidak pantas apabila pemerintah atau rezim melakukan upaya pembungkaman terhadap suatu problem yang terjadi, seperti halnya yang dilakukan Menristekdikti. Melalui peranannya ia melakukan upaya pembungkaman dengan menggiring dosen hanya mendiskusikan masalah secara akademis.
Seperti yang dilansir dari detiknews, Menristekdikti menuturkan, "Dosen harus mengajak dialog dengan baik. Maka kalau ada itu, rektorlah yang harus mengajak dialog untuk mengingatkan kepada para dosen, Saya sudah memerintahkan para dirjen pembelajaran untuk menyampaikan kepada seluruh rektor di PT. Jangan sampai gerakan siswa di lapangan".
Sontak, pernyataan itu langsung mendapat respon dari berbagai pihak, salah satunya Indonesian Democracy Initiative (TIDI), yang mengkritik Menristekdikti M Nasir yang akan memberikan sanksi kepada rektor yang menggerakkan mahasiswanya untuk demo. TIDI menilai bahwasanya pernyataan itu tak layak dilontarkan di negara demokrasi.
Masih dilansir dari detiknews, Direktur Eksekutif TIDI, Arya Sandhiyudha dalam keterangan tertulis, Jum'at (27/9/19), mengatakan, "Ibarat kuliah, Menristekdikti ini layak drop out. Kampus secara sejarah adalah laboratorium gerakan moral dan intelektual. Pemerintah di sebuah negara demokrasi tidak layak punya pernyataan seperti itu".
Sangat disayangkan sekali apabila solusi yang diberikan hanya sebatas solusi praktis yang tak mengakar pada permasalahan yang ada, bahkan tak langsung menjurus pada solusi yang cemerlang. Dari situlah mahasiswa sangat berperan penting sebagai agent of control. Mahasiswa harus bergerak berdasarkan landasan ideologi yang shahih dan kesadaran yang benar agar perjuangan tak hanya instan dan gaya-gayaan.
Dengan mendasarkan pada ideologi yang sahih dan kesadaran yang benar, yakni Islam, maka perjuangan pergerakan pada yang hakiki akan dapat terwujud. Islam merupakan agama rahmatan lil alamin, sehingga manusia, khususnya mahasiswa, apabila senantiasa berpedoman pada kebenaran hakiki, yaitu ideologi Islam, maka kemaslahatan akan dirasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Islam sebagai rahmat akan sangat dirasakan oleh kaum muslim bahkan kaum yang lain. Wallahu A'lam bis Showab.
* Mahasiswi IAIN Tulungagung