Oleh: Sri Yana
Sebagai pemenang pemilu (pemilihan umum) partai PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) dipilihlah Puan Maharani, sebagai ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) periode 2019-2024. Yang sebelumnya Puan Maharani menjabat sebagai Menko PMK RI (Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Hal tersebut membuat dunia perpolitikan ramai dengan pecah telor perempuan pertama yang menjabat menjadi ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Dengan begitu, mungkinkah jika perempuan yang menjabat akan membawa perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik?
Siapa pun yang menjabat, baik itu perempuan maupun laki-laki. Jika masih menerapkan sistem kapitalisme demokrasi, tidak akan membawa perubahan. Karena faktanya, demokrasi hanya jadi pemuas ambisi para penguasa kekuasaan. Yang katanya dari rakyat, untuk rakyat, tapi kenyataannya kekuasaan hanyalah pemilik penguasa yang memiliki modal.
Dengan pelantikan ketua DPR yang baru, di tengah posisi ketua PDIP sebagai pemegang kekuasaan dan Presiden sebagai petugas partai, menyiratkan bahwa teori trias politika dalam sistem demokrasi bohong adanya.
Dalam menerapkan pembagian kekuasaan sesuai teori trias politika yang dianut oleh Montesquieu dimana adanya pembagian kekuasaan berdasarkan fungsi negara baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif ke dalam lembaga-lembaga negara. Di Indonesia, selain dari tiga fungsi Negara itu, Indonesia membagi kekuasaan lagi, yaitu kekuasaan eksaminatif atau pemeriksaan keuangan negara.
Kekuasaan Negara dituangkan dalam tingkatan perundang-undangan. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi menempati peraturan tertinggi, Undang-Undang (UU) tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Lembaga tinggi negara, seperti, Presiden, DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK) diberikan kekuasaannya oleh UUD 1945, akan tetapi fungsi dan tugas lembaga negaranya diatur lebih lanjut oleh UU yang sah.
Kewenangan DPR dalam melakukan amandemen UU diambil alih oleh MK, yang dapat membatalkan pasal UU yang bertentangan dengan UUD 1945. Dalam putusan hakim MK, pasal UU tersebut mengalami mati suri sebelum DPR mengamandemennya. Adanya ketidak sesuaian antara kebijakan pemerintah yang berdasarkan UU yang sah, akan tetapi UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945, maka UU tersebut akan menghambat gerak pemerintah.
Selain itu, sudah tak sesuai dengan teori trias politika demokrasi yang sebenarnya, memang Islam pun tidak membolehkan seorang wanita menduduki kepemimpinan umum, seperti khalifah, kementrian, kehakiman, dan semacamnya.
Sebagaimana firman Allah SWT:
"Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya."(TQS. An Nisa':34)
Dan ada juga dari Abu Bakrah ra dia berkata, ketika Rasulullah Saw mendengar bahwa penduduk Persia mengangkat Putri Kisra sebagai rajanya, beliau bersabda:
"Tidak akan beruntung kaum yang perkaranya dipimpin oleh seorang wanita."(HR. Bukhari)
Oleh karena itu, sudah saatnya bangsa ini mencampakkan sistem demokrasi dan menerapkan sistem Islam yang dicontohkan Rasulullah Saw, yaitu khilafah ala minhajin nubuwwah yang membawa perubahan ke arah yang lebih baik dan penuh berkah.
Wa'allahu a'lam bish shawab