(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Kursi menteri selalu menjadi perbincangan hangat pasca perang urat syaraf saat Pilpres terjadi. Baik pihak koalisi maupun oposisi, selalu memainkan maneuver – maneuver politik untuk mendapat jatah kursi. Maka akan menjadi hal wajar dalam alam kita, jika ada anggota dewan terpilih diangkat menjadi menteri, pasti posisi anggota dewan serta merta ditinggalkan. Alasan memenuhi panggilan amanah, komitmen membangun masa depan bangsa. Namun banyak pihak mensinyalir, itu hanya alasan klise saja. Yang benar adalah bahwa di kementrian, itu uangnya lebih banyak dan wewenang lebih kuat.
Maka seperti yang dilansir https://www.msn.com, pada 9/10/2019, Kabinet Kerja Jilid 2 menjadi ajang perebutan kekuasan di pemerintahan. Bukan hanya oleh partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja, melainkan juga partai oposisi.
Banyak kalangan yang menyerahkan sepenuhnya keputusan tersebut pada Presiden Joko Widodo karena penentuan posisi menteri di kabinet adalah hak khusus yang dimiliki oleh presiden. Ini seperti yang dinyatakan oleh Nasdem dan PPP sebagai bagian dari koalisi pendukung kemenangan Jokowi.
Sementara itu, dalam Kongres PDIP di Bali Agustus lalu, Ketua Umum PDIP Megawati memberikan pernyataan terbuka yang cukup gamblang mengenai kursi menteri dalam kabinet periode ke-2 Jokowi. Jokowi langsung menjawab permintaan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri mengenai jumlah menteri dari Partai Banteng yang harus terbanyak. Jokowi, yang juga kader PDIP, menjamin partainya akan mendapatkan porsi terbesar di kabinet.
Dan dalam beberapa hari terakhir perbincangan posisi menteri di cabinet, diramaikan dengan kabar dari Gerindra yang meminta jatah tiga kursi menteri di kabinet kerja jilid 2. Wakil Ketua Umum Gerindra, Arief Poyuono, menegaskan hal tersebut kepada wartawan https://www.msn.com
Kenapa posisi Menteri menjadi penting? Dalam hal struktur pemerintahan. menteri memiliki bawahan banyak, Ditjen hingga struktur kementrian yang ada di wilayah dan daerah. Kalau anggota DPR, jelas tidak memiliki ini, andaikanpun punya staf, hanya memiliki staf ahli. Belum lagi mengenai anggaran negara, jelas masuknya ke kementrian. Artinya, bagi yang tidak cukup amanah, ini adalah lahan subur. Di dalam sistem kapitalis semacam ini, siapa yang tidak tergoda dengan yang Namanya uang. Apalagi, korupsi, seakan sudah menjadi trend bagi siapapun yang dekat dengan kekuasaan.
Hal inilah yang kemudian bisa kita baca di laman – laman media, beberapa mitra koalisi Jokowi yang selama ini mendukung penuh, namun mulai diabaikan setelah putusan MK, mulai mempersiapkan diri. Semua partai mengajukan proposal, baik dengan pola menghiba memohon dengan sangat, atau yang bernada mengancam.
Karena porsi menteri terbatas, meskipun dengan menambah sejumlah nomenklatur, tetap saja akhirnya ada yang tidak kebagian jatah. Partai yang patah hati inilah, setelah gagal merapat ke Jokowi akan kembali merapat kepada rakyat dan akan melakukan serangan politik masif untuk mendeligitimasi kekuasan Jokowi.
Jadi, rakyat harus peka, cerdas dan waspada. Huru Hara politik ini belum akan berakhir, pasca pengumuman menteri akan menjadi era baru pertarungan politik bermula. Pertarungannya akan lebih hebat dari sebelumnya.
Maka, bagi rakyat Indonesia, sampai kapan kita akan menjadi senjata elit politik demi memuaskan nafsu kekuasaannya..? belum saatnyakah kita memiliki agenda sendiri untuk memperbaiki bangsa ini? Khususnya bagi kaum muslimin, sungguh islam telah menawarkan solusi. Kapankah kita akan duduk dan berdiskusi demi kebaikan negeri ini. Masihkah kita nyaman untuk selalu menjadi pihak yang dikambing hitamkan dan dikorbankan?
Wallhua a’lam bi ash showab