Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis
Kementrian perindustrian (Kemenperin), memiliki program untuk mencetak entrepreneur muda sebanyak 20.000 orang per tahun. Hal ini dilakukan untuk mendukung program pemerintah Indonesia maju dalam jajaran 10 besar negara maju di dunia tahun 2030. Menurut Direktorat Jendral Industri Kecil Menengah, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Gatih Wibawaningsih, pihaknya terus mendorong lahirnya anak-anak muda yang mau terjun menjadi entrepreneur. Salah satunya dengan melibatkan kalangan santri dari pondok pesantren.
Selama ini, langkah yang sydah diambil adalah dengan program pelatihan kewirausahaan yang melibatkan lulusan SMU dan mahasiswa serta para santri. Khusus untuk santri, pihaknya menggelar program Santripreneur sejak tahun 2013.
Adapun untuk Jawa Timur, beberapa pondok pesantren yang dibantu dalam rangka mengembangkan kewirausahaan tersebar di beberapa kota, seperti Lamongan, Kediri, Mojokerto, Jember, Probolinggo dan kota-kota lainnya. Jatim memiliki potensi yang besar untuk melahirkan jumlah wirausahawan dari kalangan santri. Karena jumlah pondok pesantren di Jatim cukup banyak yakni sekitar 6.000 pondok pesantren. (https://radarsurabaya.jawapos.com, 24/09/2019)
Sekilas, program ini adalah program yang bagus. Karena ada upaya pemerintah untuk membekali masyarakat, khususnya para pemudanya untuk mampu bersaing dalam mencari pekerjaan. Namun, ada hal yang telah dilupakan, yakni proses pembentukan generasi berkualitas, berkepribadian islam dan menguasai sains-teknologi. Tidak hanya belajar teknis, tapi belajar tentang menjadi negara besar, sebagai bentuk penghambaan kepada Allah sang pencipta. Menjadi kholifah yang menjaga alam beserta isinya, sesuai dengan kehendak sang pencipta.
Maka, ketika program pencetakan entrepreneur muda ini tidak dilengkapi dengan hal – hal di atas, maka ini hakekatnya bukan menciptakan entrepreneur, tetapi tenaga teknis semata. Akibatnya, terbentuklah orang-orang yang berfikir dangkal yang berpikir kebermanfaatan materiil semata (hingga timbul individualisme, dan ketidakpedulian akan masalah masyarakat yang multi dimensi). Sehingga ini tidak lain hanya sebagai upaya memuluskan agenda barat untuk menghidupkan Sustainable Development, yang memakmurkan hegemoni (produk) mereka.
Sehingga, seharusnya pemerintah itu berfikir dan melangkahnya itu utuh. Negara harus mencetak Khoiru Ummah/Umat terbaik. Negara harusnya mencetak tidak hanya seorang entrepreneur, tetapi mencetak sosok-sosok pendakwah, pembela rakyat hingga pembebas negeri-negeri terjajah karena sistem buatan manusia ini, tanpa tendensi materiil. Karena tujuan hidup mereka hanya keridhaan Allah bukan mencari manfaat kenikmatan duniawi.
Maka kita mengenal pemuda – pemuda hasil didikan sebuah negara yang menjadikan islam landasan hidupnya. Sebut saja Usamah bin Zaid, Rabi' bin Amir, Muhammad Al-Fatih, Thariq bin Ziyaad, Teuku Umar, Wali Songo, mereka sosok produk Khilafah Islamiyyah. Mereka adalah sosok yang menjadi pilar kekuatan ekonomi bangsa, namun mereka tetap peka dengan seluruh masalah bangsanya. Karena negara, menyelesaikan masalah ekonominya dengan menerapkan seluruh sistem ekonomi islam, tidak hanya dengan mencetak seorang entrepreneur, apalagi sebatas tenaga teknis. Dengan demikian problem ekonomi dan ketahanan ekonomi akan selesai. Sementara para pemuda peduli masyarakat akan terbentuk hingga islam menaungi dunia dari barat hingga timur dengan kerahmatannya.
Wallahu a’lam bi ash showab