Oleh: Aisyah
Beberapa hari lalu, media dihebohkan dengan kejadian penusukan Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang. Berbagai perspektif muncul kepermukaan terkait pelaku penusukan Wiranto. Perspektif tersebut sekaligus framing terhadap latar belakang terjadinya penusukan. Salah satunya yaitu isu radikalisme.
Narasi ini pernah terjadi di tahun 1955 - 1960 yang berujung pada pembubaran Masyumi dan teror bagi mereka yang mendukung perjuangan Islam di masanya. Dan saat ini, narasi radikalisme ini kembali digiatkan, kemana narasi ini ditujukan, semua sudah paham.
Radikalisme merupakan bagian dari virus mematikan pergerakan ummat islam. Yang menyerang bagian lini agama. Rencana ini sengaja diisukan terhadap kelompok khusus (Islam) sebagai rongrongan pembenturan islamis dan nasionalis. Disini bisa dikatakan sebagai alat menghentikan suatu pergerakan islam. Memblokade dari segi pakaian, pemikiran serta kebiasaan. Sungguh miris, jika isu radikal ini dikhususkan kepada kaum islam. Tak berlaku bagi kaum liberalis komunis, dan semacam pemikiran lainnya. Ini fakta adanya isu radikalis diberlakukan dikampus, kepemerintahan dan masyarakat. Jika isu radikalis ini berhasil meronrong berbagai lini, maka berhasillah mereka menghancurlan islam.
Tidak mengherankan bahwa media – media anti Islam sekali lagi menyerang nilai-nilai Islam, dalam upaya yang jelas untuk menarik hati para pemirsa untuk semakin condong kepada agenda Islamophobia. Hal ini terlihat jelas dari pemberitaan disetiap media yang mengaitkan penusukan Wiranto dengan isu radikalisme dan terorisme.
Akibat kejadian penusukan Wiranto, Jokowi menggajak masyarakat, seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama memerangi radikalisme, memerangi terorisme yang ada di tanah air. “Kepada seluruh masyarakat, kami mengajak bersama-sama untuk memerangi radikalisme, memerangi terorisme yang ada di Tanah Air kita, hanya dengan upaya kita bersama-sama terorisme dan radikalisme akan bisa kita selesaikan dan kita berantas dari negara yang kita cintai. Pernyataan ini dikutip dari Monitor.co.id
Dipemberitaan lain pelaku diduga masih satu jaringan dengan tersangka terorisme yang berinisial NAS di Tambun, Bekasi. Rumah NAS yang digeledah itu terletak di Karang Satria, Tambun Utara, Bekasi. Densus 88 menemukan buku panduan jihad, Dabiq buku ISIS, buku al-Khilafah, hingga buku 'Tiada Khilafah Tanpa Tauhid dan Jihad'. Polisi menyebut NAS adalah bagian dari Khilafatul Muslimin. Detik.news
Kita tahu propaganda perang melawan radikalisme selama ini menyasar Islam dan umat Islam, apalagi menyandingkan radikalisme dan terorisme.
Perang pemikiran antar saudara islam adalah bentuk dari rongrongan kaum kuffar dan kaum munafik. Mereka kembali eksis bertopeng membela negara namun dari sisi agama mereka lupa. Sungguh miris, jangan pernah menyerah untuk melawan serta membantah argumentasi dungu dari kaum liberalis dan sekuleris. Mereka takut jika ummat islam bersatu, namun mereka senang jika ummat islam berantakan.
Padahal, selama puluhan tahun tak ada persoalan dengan agama di negeri ini, khususnya Islam sebagai agama dengan pemeluk mayoritas. Baru beberapa tahun belakangan saja dimunculkan isu seolah-olah agama (Islam) atau seruan dan kajian keislaman menjadi pemicu radikalisme, perpecahan, dsb.
Padahal radikalisme bukanlah persoalan inheren dalam Islam. Isu atau tuduhan radikalisme lebih merupakan framing dari pihak luar untuk menyudutkan Islam atau menghalangi geliat umat Islam dan kebangkitan mereka. Bisa diduga, tujuan akhir dari isu radikalisme itu adalah untuk makin menjauhkan Islam dari kehidupan. Dengan itu Islam dan umat Islam tidak menghalangi-halangi agenda liberalisme dan penjajahan Barat. Itu persis seperti dulu penjajah Belanda menggunakan tema radikalisme untuk menyudutkan siapa saja, kebanyakan dari kalangan umat Islam yang menentang penjajahan Belanda.
Artinya, berbagai kerusakan yang terjadi itu bukan karena Islam, tetapi justru karena penerapan sistem selain Islam, dengan meninggalkan Islam dan syariahnya. Fakta-fakta jelas menunjukkan yang demikian. Allah SWT pun sudah memperingatkan kita dalam firman-Nya:
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta… (TQS Thaha [20]: 124).
Oleh karena itu, umat islam harus bangkit dan bersatu untuk melawan stigmatisasi negatif terhadap istilah radikalisme. Teruslah berjuang hingga Allah memenangkan agama ini, atau mati dalam perjuangan untuk kemenangan agama ini dengan kembali tegaknya kehidupan islam secara kaffah.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab.