Oleh : Rosmiati
Pengesahan Undang-Undang (UU) baru atas lembaga yang berdiri pasca lahirnya Reformasi ini (baca : Komisi Pemberantasan Korupsi) dianggap oleh publik dan sejumlah pengamat juga peneliti sebagai bentuk upaya pelemahan terhadap kinerja KPK dalam menumpas korupsi di negeri ini. Hal dikarenakan, sejumlah pasal yang dahulunya menjadi senjata ampuh dari lembaga ini, telah diubah. Misalnya, KPK tidak dapat lagi melakukan penyadapan sebagaimana dahulu. Juga dengan melakukan pencegahan tersangkah koruptor ke luar negeri, pemblokiran rekening bank yang diduga hasil dari korupsi dan lain-lain (Tribunnews.com, 21/09/2019).
Maka tidak sedikit netizen berkomentar bahwa KPK dikebiri dengan UU baru ini. Jika mengutip kalimat dari mantan penasehat KPK Abdullah H, di forum ILC pada 1 Oktober lalu mengatakan bahwa KPK disakratulmautkan.
Benarkah Korupsi Kian Menggurita di Negeri ini?
Kekhawatiran yang diungkapkan oleh sejumlah elit bahwa, anggota DPR bisa-bisa habis bila KPK gencar melakukan OTT, juga akan berkurangnya minat investor untuk berinvestasi, menunjukan bahwa aktivitas korup memang telah ramai di negeri ini. Hanya saja belum semua terungkap. Dari aktivitas penyidikan KPK misalnya di sana cukup memberikan fakta bahwa, betapa korupsi menjadi aktivitas yang amat digemari oleh para wakil rakyat serta pemangku pemerintahan baik pusat maupun daerah. Kita tentu menyaksikan bagaimana Bupati, Wali Kota, Gubernur, anggota parlemen bahkan sampai sekelas Menteri terlibat dalam aktivitas raswah ini. Baru-baru ini misalnya, lagi-lagi seorang Menteri berhasil diungkap.
Maka wajar bila ada sejumlah pihak yang mengkhawatirkan. Bisa habis wakil rakyat kita, iya bisa habis, jika melakukan kecurangan. Namun bila memerintah dengan jujur, mengapa harus takut? Bukankah kekhawatiran itu sebuah pertanda bahwa korupsi sudah mengakar dan mendarah daging di tubuh para elit kita? Jangan sampai aktivitas tercela ini, ketika jauh dari pencegahan dan penindakan tegas, dilumrahkan berlaku, bahkan dianggap sebagai jalan lain dalam mencari rezeki. Naudzubillah
Paham Kapitalistik Menjadi Pemicu
Dalam sistem demokrasi rakyat tidak sepenuhnya menjalankan pemerintahan. Suara mereka diwakilkan oleh sejumlah elit yang telah dipilihnya melalu pemilu. Namun tidak bisa dipungkiri, bahwa proses pengawasan kebijakan dan tindak tanduk para wakil tersebut tidak banyak diketahui oleh rakyat. Utamanya dalam hal kejujuran dalam mengelolah uang rakyat ataupun uang negara. Andai tidak ada Komisi Pemberantasan Korupsi maka rakyat tidak akan tahu menahu akan perkara yang tidak senonoh ini.
Komisi pembarantasan Korupsi yang lahir pada 2002, merupakan lembaga yang hadir mengobati keresahan masyarakat, mengungkap bagaimana kondisi para wakil rakyat itu sebenarnya. Dalam perjalananya, KPK memang cukup melakukan gebrakan-gebrakan hebat, kendatipun sempat tersendak-sendak. Dan di bulan September ini KPK benar-benar dibuat tidak seberdaya dulu lagi.
Semua ini merupakan buah dari penerapan sistem kapitalistik serta demokrasi yang hari ini terterapkan, dimana semuanya bermuara pada asas sekularisme. Dalam sistem kapital, orang akan dididik untuk hidup bermewah-mewahan serta berlebihan. Hilangkan suasana ruh atau hubungan hamba dengan pencipta membuatnya berani untuk menghalalkan segalah macam cara demi memuaskan hasratnya. Maka tidak mengherankan jika sampai tega, memakan uang negara dimana itu adalah haknya rakyat. Bahkan ia sadar, itu terlarang serta merugikan bangsa dan negara.
Mesrahnya penguasa dan pengusaha juga elit lainnya dalam sistem ini, membuat mereka saling menjaga dan melindungi, maka tidak heran juga bila korupsi kerap melibatkan orang-orang penting bukan rakyat biasa, semua mereka punya pengaruh dalam hal apapun itu, sehingga korupsi berani dilakukan.
Disamping itu, biaya politik dalam sistem ini juga sungguh sangatlah mahal. Para elit pun berpikir laksana pedagang yang kerap mengejar pengembalian modal yang telah dikucurkan ketika kampanye. Maka wajar bila salah satu pendiri demokrasi pernah berkata bahwa demokrasi kelak akan berubah menjadi tirani bagi rakyatnya sendiri.
Ya, ucapan itu terjadi di hari ini. Dimana sistem pemerintahan yang dari, oleh dan untuk rakyat itu, ternyata dalam pengambilan keputusan rakyat tidak dilibatkan. Lihatlah bagaimana derasnya gelombang masa yang memprotes berbagai Rancangan Undang-Undang baru-baru ini. Itu adalah bukti bahwa bukan demikian inginnya rakyat.
Islam Menumpas Tuntas Korupsi
Dalam perspektif Islam, koruptor tentu akan diberi ganjaran hukuman yang seberat-beratnya. Mengingat perbuatan itu merupakan penyelewengan dari amanah yang telah diberikan. Bahkan dengan sebuah sumpah di atas kitab suci. Dalam sebuah hadis Rasul Saw bersabda, “Laknat Allah terhadap penyuap dan pemberi suap” (HR Abu Dawud). Juga tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasulullah Saw bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur” (HR Imam Ahmad).
Berdasarkan hadis di atas maka jelas, Islam mengharamkan aktivitas raswah ini. Maka yang melakukannya, akan berdosa dan pasti akan dihisab kelak oleh Allah Swt. Untuk itu, Islam akan menjaga kekuasaan itu dengan sebaik-baiknya. Islam tentu akan melakukan pembinaan terhadap setiap umatnya, juga para petinggi negaranya, melalui penerapan Islam Kaffah.
Di sektor lain, biaya kehidupan semisal biaya kesehatan, pendidikan, pangan, transportasi dan lain-lain akan dimurahkan, bahkan digratiskan demi menghindarkan umatnya terjerumus pada hal-hal yang diharamkan dalam memenuhi hajat hidupnya. Mengingat posisi pemimpin dalam Islam adalah sebagai perisai atau pelindung atas rakyatnya.
Disamping itu pula, para pengurus urusan umat mereka akan dipenuhi kebutuhan hidupnya, sebagaimana yang tertuang dalam sebuah hadis Rasulullah Saw, “ Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah, jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan, jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barangsiapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin) (HR Abu Dawud)
Terakhir Islam akan membina para penguasanya dengan iman dan takwa. Memimpin urusan umat adalah ibadah. Kepemimpinan dalam Islam kelak akan dimintai pertanggungjawaban baik di dunia maupun di akhirat. Maka bila kau lalai dan berlaku curang pada rakyatmu, jelas kelak kau akan menemui balasannya. Namun bila kau amanah maka niscaya kekuasaan itu akan menjadi jalan tol menuju SyurgaNya. Maka jadilah sosok-sosok pelayan rakyat yang takut pada Allah Swt. Wallahu’alam