Korupsi Tak Pernah Mati dalam Demokrasi




Oleh : Siti Hajar, S.Pd.SD
(Member Akademi Menulis Kreatif Regional Bima).

Ditetapkannya Imam Nahrawi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana hibah komite olahraga nasional Indonesia (KONI) melalui kemenpora tahun anggaran 2018. Semakin menambah daftar panjang pejabat elit yang tersandung kasus korupsi dan harus merasakan pesakitan dibalik jeruji besi di negeri ini. Tidak tanggung-tanggung, Menteri yang berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini diduga kuat melakukan korupsi sebesar 26,5 milyar rupiah. Angka yang sangat fantastis untuk keadaan rakyat yang tengah sengsara menuai derita akibat kebijakan pemerintah yang tidak pro akan nasib rakyat. 

Tidak hanya Imam Nahrowi, rupanya Menteri agama Lukman Hakim Syaifuddin juga tengah gencar dibidik oleh KPK dan menurut Dewan Pembina Gerakan Rakyat Tolak Aktor Koruptor (Gertak) Frans Immanuel T Saragih, tengah mendesak KPK untuk menetapkan tersangka baru dalam dugaan kasus jual-beli jabatan dilingkup kementerian agama. Menteri agama Lukman Hakim Syaifuddin dinilai sudah sering disebut-sebut namanya dalam kasus suap jual-beli jabatan yang menyeret nama Romyharmuzi (warta.ekonomi.co.id) yang sebelumnya sudah menjadi tahanan KPK atas kasus korupsi pula.

Sebagaimana diketahui, para pejabat yang tersandung kasus korupsi tersebut merupakan pejabat elit yang bernaung pada Parpol islam dan berada dibarisan pendukung setiap kebijakan pemerintah. Mereka adalah para pejabat yang selalu menggaung-gaungkan "Saya Pancasila, NKRI Harga Mati, Katakan Tidak Pada Korupsi" dan lainnya. Namun masihkah ucapan mereka selaras dengan perbuatannya? Mereka juga adalah pejabat yang menentang perjuangan dakwah islam, anti terhadap penerapan syariat dan memfitnah para kyai, ulama, ustad dan pejuang yang mendakwah islam kaffah dengan fitnah keji, melabeli mereka cap Radikal, teroris dan anti pancasila. Namun pada kenyataannya merekalah sesungguhnya yang anti pancasila, penghianat UU dan amanah rakyat serta harus pesakitan dibalik jeruji besi. 

Sungguh ironi, jabatan yang seharusnya diemban dengan penuh amanah harus ternoda oleh keserakahan nafsu dunia. Silauan harta telah membuat mereka lupa, banyaknya kasus korupsi yang menjerat pejabat negara yang lain sebelumnya ternyata tidak membuat mereka jera dan mengambil pelajaran. Tidak heran memang dan tidak bisa dipungkiri korupsi dalam wadah demokrasi tumbuh subur bak jamur di musim hujan dan tak pernah mati. Pejabat negara terjerat korupsi terus berulang-ulang dan masif. Karena itu tidak ada jaminan bagi orang baik bahkan agamais yang berasal dari parpol islam akan selamat dari korupsi dalam sistem demokrasi. 

Sudah menjadi rahasia umum jika dunia politik dalam sistem demokrasi membutuhkan dana yang besar untuk memuluskan tujuan untuk meraih jabatan dengan melacurkan diri pada politik transaksional yakni kepada para pemilik modal kapitalis. Maka ketika jabatan sudah ditampuk maka korupsi menjadi jalan pintas untuk mengembalikan modal yang telah dikerahkan. Selain itu, gaya hidup hedonis para pejabat dan keluarganya juga memicu terjadinya praktek korupsi, ditambah keimanan dan ketakwaan individu pejabat yang sangat lemah serta penegakan hukum yang lemah, tidak tegas apalagi memberi efek jera. Hukum tebang pilih tumpul ke atas tajam ke bawah kerap mewarnai peradilan hukum di negeri ini, sehingga rasa keadilan jauh panggang dari api.

Adanya rancangan peraturan yang membolehkan terpidana korupsi menikmati kebebasan misalnya berjalan-jalan ke mall. Parahnya lagi, bagi koruptor yang melakukan korupsi dalam skala kecil bakal tidak dipidanakan. Ini berbeda dengan perlakuan penegak hukum yang menghukum rakyat kecil bila melakukan pelanggaran hukum misalnya pencurian terhadap seekor ayam karena kelaparan langsung dihukum penjara minimal 2 - 5 tahun. Masih beruntung mereka meringkuk di tahanan bertahun-tahun jika pun meninggal karena digebuk oleh banyak massa, maka sudah nasib apes mereka. Inilah bukti kegagalan sistem demokrasi dalam mengatasi persoalan hukum di negeri ini dan maha kuasanya Allah menunjukkan makarnya terhadap orang-orang yang menentang syari'at-Nya. 

Berbeda dengan sistem islam yang tegak di atas keimanan menuntut para individu, pejabat parpol dan rakyat untuk taat. Dalam islam, menjadi penguasa atau pejabat negara adalah amanah kepemimpinan yang harus mengurus kepentingan rakyat yang kemudian diakhirat kelak dimintai pertanggung jawaban atas apa yang  dia urus. Sabda Rasulullah saw : 

"Imam atau pemimpin adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus"
(HR. Bukhari & Ahmad).

Islam mengatur langkah pencegahan dengan memberikan efek jera bagi para pelaku koruptor, sebab korupsi adalah aktifitas yang diharamkan dalam islam, menipu rakyat dan aktifitas yang menyalah gunakan kekuasaan. Oleh karena itu persoalan korupsi dan persoalan umat lainnya hanya bisa diatasi dengan menerapkan syariat islam dengan sistem terbaik dalam bingkai negara yaitu Khilafah ala man hajj nubuwwah.

Wallahu 'alam bishowwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak