Oleh : Airnasari, S.Pd
Pendidik & Pemerhati Generasi
Sungguh ironis, Presiden Joko Widodo terus didesak untuk menolak revisi undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai akan melemahkan KPK.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti mengatakan, Jokowi harus menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi sebagaimana yang ia citrakan selama lima tahun terakhir.
"Pak Jokowi perlu kita ingatkan bahwa beliau lima tahun kemarin mencitrakan dirinya sebagai antikorupsi, antimafia, jangan sampai lima tahun ke depan justru ia dikenang sebagai orang yang pro terhadap korupsi," kata Ray dalam diskusi di kawasan Pejaten, Jumat (kompas.com 6/9/2019).
Hukuman bagi koruptor yang diatur dalam sejumlah pasal pada Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai langkah ini akan membuat korupsi di Indonesia bisa semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang.
"Dari sisi ancaman pidana turun, menjadi berkurang ancamannya," katanya kepada wartawan Muhamamd Irham untuk BBC News Indonesia, Rabu (04/09).
Seolah-olah koruptor sekarang sedang di atas angin. Fakta yang lain juga menyebutkan bahwa tiga kali DPR mengajukan revisi UU KPK, Jokowi tak pernah nyatakan menolak.
Janji Jokowi untuk memberantas korupsi saat pemilihan presiden tinggal janji karena korupsi tidak pernah berhenti. Bahkan banyak pejabat tinggi yang mendukung penguasa terjerat oleh OTT KPK. Yang mencengangkan hampir seluruh anggota DPRD kota Malang terpapar kasus korupsi.
Apalagi setelah polemik revisi UU KPK, kepercayaan masyarakat atas ide pemberantasan korupsi menurun. Transparency International Indonesia (TII) menyesalkan sikap Jokowi yang menyepakati pembahasan revisi UU KPK. TII menilai langkah Jokowi ini mencederai kepercayaan publik dan mengkhianati janji politiknya sendiri.
“Bagi kami ini betul-betul mencederai kepercayaan publik, bahkan mengkhianati janji politiknya Jokowi sendiri,” kata peneliti TII, Alvin, kepada wartawan, Sabtu (14/9/2019).
Tidak hanya janji pemberantasan korupsi, janji yang lainpun sering tidak ditepati. Apa yang dijanjikan seolah hanya sebagai pencitraan untuk menarik simpati rakyat.
Tidak tanggung-tanggung, kasus korupsi ini melibatkan pendukung kekuasaan dan juga DPR, yang darinya undang-undang dihasilkan.
Banyaknya kasus korupsi yang menjerat anggota legislatif dan orang-orang di pusaran kekuasaan. Kemudian untuk apa revisi UU KPK dilakukan, apakah untuk penegakan hukum dan pemberantasan korupsi atau untuk membuat celah hukum agar bisa menyelamatkan mereka yang terjerat kasus korupsi?
Revisi UU KPK terkesan terburu-buru, bahkan tidak melibatkan KPK yang masih aktif. Ada apa dibalik semua itu? Banyak spekulasi muncul menanggapi fenomena ini termasuk dari KPK sendiri sehingga ini mendorong Situmorang sebagai wakil ketua KPK mengundurkan diri dari KPK yang diikuti dengan jajaran pimpinan KPK yang lain. Kemudian menyerahkan mandat urusan KPK kepada Presiden.
Akhir-akhir ini banyak kasus besar yang tertangkap tangan oleh KPK. Banyak diantara mereka yang menjadi anggota legislatif sekaligus pendukung setia penguasa.
Penanganan korupsi di Indonesia kian hari menunjukkan arah perubahan. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus korupsi yang berhasil diungkap oleh lembaga antirasuah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak didirikan pada 2002.
Pemberantasan korupsi sungguh ide utopis. UU dibuat oleh manusia. Dan sering juga pembuat undang-undanglah yang menjadi pelaku korupsi. Jadi tidak bisa dipungkiri pembuat UU akan membuat perangkat hukum yang membuat dia aman dan punya celah untuk melarikan diri dari jeratan hukum.
Belum lagi penguasa juga bisa melakukan revisi UU KPK dengan mudahnya. Untuk kepentingan siapa revisi ini dilakukan? Kita tahu bahwa banyak pejabat di lingkaran kekuasaan yang terpapar korupsi.
Selama kedaulatan di tangan penguasa dengan mengatasnamakan rakyat, pemberantasan korupsi hanyalah ide utopis, janji politik yang tidak akan mungkin terwujud dalam sistem demokrasi. Koruptor tidak mungkin rakyat biasa yang tidak memiliki jabatan publik dan kesempatan untuk melakukan korupsi. Mereka yang memiliki jabatan dan dalam lingkaran kekuasaan yang mungkin melakukan korupsi.
Selama aturan perundang-undangan dibuat oleh manusia dengan mengedepankan akal yang terbatas dan nafsunya, pemberantasan korupsi sampai tuntas adalah mustahil. Koruptor aman untuk menjarah uang rakyat karena mereka diberikan celah untuk bisa terbebas dari jeratan hukum. Karena Undang-undang yang dibuat penguasa saat ini cenderung bersifat elastis.
Bagaimana bisa UU pemberantasan korupsi bisa tegas dan mampu menjerat dan menghukum koruptor dengan hukuman berat yang membuat jera jika yang membuat UU terpapar korupsi.
Dan para penguasa akan menyelamatkan diri dan kroni-kroninya agar lepas dari jeratan hukum dengan hukuman yang lunak dan nyaman jika mereka tertangkap tangan melakukan korupsi. Dan apakah dengan revisi UU KPK, ada jaminan korupsi bisa dihentikan dan uang rakyat tidak dihamburkan sia-sia oleh mereka yang rakus dan ingin terus berkuasa untuk menindas rakyat kecil?
Tentu jawabannya tidak. Meskipun revisi UU dilakukan seribu kali, selama yang membuat UU tersebut adalah manusia yang tidak bersih dari korupsi, pemberantasan korupsi adalah ide utopis yang tidak mungkin terjadi. Apalagi sistem yang dianut oleh bangsa saat ini adalah sistem Kapitalis-Sekularis. Sejatinya, sistem inilah yang melanggengkan dan memasifkan terjadinya korupsi. Hanya dalam sistem ini, orang-orang bisa dan berkesampatan untuk melakukan korupsi.
Berbeda halnya dengan sistem Islam, ia tidak hanya mampu menindak kasus korupsi, melainkan mampu mencegah terjadinya korupsi itu sendiri. Paling tidak ada tujuh langkah untuk mencegah korupsi menurut Islam, yaitu: Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib memenuhi kriteria kifayah (kapabilitas) dan berkepribadian Islam.
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya.
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya.
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara.
Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara.
Keenam, adanya teladan dari pimpinan.
Maka Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Ketujuh, pengawasan penuh oleh negara dan masyarakat.
Hanya Islam solusi fundamental yang akan mampu memberantas korupsi karena hukuman dalam Islam tegas dan berat bagi pelaku korupsi sehingga mereka akan jera dan tidak berani melakukannya.
Islam juga akan terus menanamkan keimanan yang kuat pada masyarakat terutama pada para pejabat sehingga mereka lebih amanah dalam menjalankan tugasnya.
Dengan adanya penerapan dari aturan ini, maka kasus korupsi dan kasus-kasus lainnya yang menerpa negeri ini akan dapat teratasi dengan tuntas. Akan tetapi, aturan Islam tidak mampu diterapkan parsial atau sebagian-sebagian melainkan secara menyeluruh agar Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud di negeri ini.
Wallahua'lam.
Tags
Opini