Oleh: Tri S, S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Salah satu dampak buruk dari konsep khilafah yang tidak disadari oleh berbagai kalangan adalah hilangnya sebagian hak demokrasi sebagai warga negara, sebagaimana yang terjadi saat ini. Pada akhirnya sistem khilafah hanya akan menyebabkan kemunduran bagi sebuah bangsa. (NU Online, 20 September 2019).
“Kalau ideologi khilafah itu dibiarkan berkembang, partisipasi masyarakat dalam politik akan sangat dibatasi. Karena sejarah khilafah yang baik, hanya pada masa Abu bakar, Umar, dan separuh pemerintahan Ustman bin Affan. Selebihnya sudah dimiliki dinasti atau kerajaan, kekuasaan ada pada khalifah, dan rakyat tidak memiliki peran. Ini (Khilafah) jelas kemunduran dalam kehidupan bernegara di zaman moden ini,” ujar Guru Besar Fakultas Ilmu Tabiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Prof Dede Rosyada, Kamis (19/9).
Pada tahap selanjutnya, kata Dede, jika ideologi tersebut dibiarkan tumbuh dan berkembang akan mengakibatkan apatisme di kalangan masyarakat. Karena semua hal akan diatur oleh negara yang memiliki ideologi khilafah. Dalam keadaan demikian ‘kaku’ masyarakatnya juga akan memiliki keterbatasan untuk melahirkan karya.
Oleh karenanya, dalam rangka mengantisipasi hal tersebut, ia mengimbau pemerintah untuk mengambil langkah tegas terhadap gerakan yang bermuara pada pendirian negara khilafah.
“Pemerintah harus lebih tegas memantau pergerakan-pergerakan yang terindikasi mengusung ideologi khilafah itu, baik yang dilakukan pada kajian-kajian maupun gerakan-gerakan masif lainnya yang akan dapat mengganggu stabilitas negara ini. Tidak boleh dibiarkan. Sudah tepat itu organisasi yang menanunginya telah dibubarkan,” tuturnya.
Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah juga perlu melibatkan unsur masyarakat dalam kapasitas tertentu. “Dan tentunya juga harus dibantu peran serta dari unsur masyarakat juga untuk memantau lingkungan sekitarnya. Jngan dibiarkan atau diam saja jika mengetahui ada upaya-upaya penyebaran ideologi tersebut. Karena kalau diberi ruang, tentunya akan menganggu terhadap stabilitas bansga dan negara kita ini,” katanya.
Selain itu, ia juga meminta lembaga pendidikan untuk harus turut serta membendung tumbuhnya penyebaran ideologi khilafah ini dengan cara mengeksplorasi keilmuan Islam dengan sikap kritis.
“Memang, sejarah kebudayaan Islam pasti akan memasuki tema-tema kemajuan ekonomi, politik, pertahanan dan keamanan dan bahkan kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Akan tetapi, silabus harus diarahkan agar para siswa dan mahasiswa mengkritisi relevansi sistem tersebut dalam sistem kenegaraan Indonesia di zaman modern ini,” pungkasnya.
Saat ini kemaksiatan begitu mudah ditemukan, mulai dari kasus LGBT, pemerkosaan, pergaulan bebas, hingga narkoba. Hal ini tentu membuat orang tua was-was ketika melepas putra putri mereka untuk bersosialisasi dengan lingkungan luar.
Belum lagi persoalan negeri ini yang semakin carut marut seperti kasus korupsi, penjajahan asing hingga ketidakadilan terhadap beberapa kelompok umat Islam menambah peliknya kondisi bangsa ini. Jika kita cermati sesungguhnya segala kemaksiatan ini terjadi karena penerapan sistem sekuler kapitalis yang menjauhkan syariah Islam dari sistem kehidupan.
Hanya saja saat ini Ormas yang menyeru penerapan syariah Islam dan tegaknya khilafah pun diburu, para ulama yang vocal menyuarakan Syariah dan khilafah juga dipersekusi karena dianggap merusak tatanan NKRI. Bicara tentang khilafah tentu harus dikembalikan lagi kepada khazanah keilmuwan dalam Islam, sehingga disini umat Islam bijak dalam memahami apa itu khilafah.
Menurut Wahbah az-Zuhaili, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imarah al-Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Menurut Dr. Mahmud al-Khalidi (1983), “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).
Imam Ahmad bin Hanbal dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Hamashi, menyatakan, “Fitnah akan muncul jika tidak ada imam (khalifah) yang mengatur urusan manusia.” (Abu Ya’la al-Farra’i, Al-Ahkâm as-Sulthâniyah, hlm.19).
Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir surah al-Baqarah ayat 30 : "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah…",
Imam al qurtubi menyatakan bahwa ayat diatas merupakan dalil paling asas mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati yaitu untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum berkaitan khalifah.
Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban berdasarkan pada Ijma’ Sahabat. (Imam al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Imam ‘Alauddin al-Kasani, ulama besar dari mazhab Hanafi pun menyatakan, “Sesungguhnya mengangkat imam (khalifah) adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul haq mengenai masalah ini.
Manakala penafian berhubung kewajiban ini oleh sebahagian kelompok Qadariah tidak membawa apa-apa, karena kewajiban ini adalah didasarkan kepada dalil yang lebih kuat, yaitu Ijma’ Sahabat dan untuk membolehkan perlaksanaan hukum Islam. Yaitu ketaatan umat Islam kepada pemimpin lalu menghapuskan kezaliman serta membuang perselisihan yang menjadi sumber kerusakan akibat tiadanya seorang imam.(Imam al-Kassani, Badâ’i ash-Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâi’, XIV/406).
Imam Umar bin Ali bin Adil al-Hanbali, ulama mazhab Hanbali, juga menyatakan, “Ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 30) adalah dalil atas kewajiban mengangkat imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati untuk menyatukan pendapat serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah.
Tidak ada perbedaan tentang kewajiban tersebut di kalangan para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-A’sham dan orang yang mengikutinya.” (Imam Umar bin Ali bin Adil, Tafsîr al-Lubâb fî ‘Ulûm al-Kitâb, 1/204).
Jika ditelaah kembali sesungguhnya tidak ada perbedaan diantara imam madzhab dan para ulama terdahulu mengenai wajibnya khilafah. Di kalangan para shahabat juga tidak ada perselisihan mengenai hal tersebut.
Sebagai contoh setelah wafat Rasulullah SAW, maka para sahabat lebih mendahulukan untuk segera mencari pemimpin bagi kaum muslimin dari pada memakamkan jenazah Rasulullah SAW. Dan akhirnya yang terpilih adalah Abu Bakar sebagai kholifah bagi kaum muslimin.
Hal ini dikarenakan wajibnya menegakkan khilafah adalah sama sepeeti kewajiban shalat, zakat, puasa dan haji. Dari sini kita dapat memahami sesungguhnya khilafah adalah bagian dari Islam yang tidak terpisah dari kaum muslimin. Sejarah mencatat selama 1300 tahun kaum muslimin dipimpin seorang kholifah dalam bingkai khilafah maka kesejahteraan di rasakan oleh seluruh rakyat.
Sebagai contoh, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khaththab, selama 10 tahun kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka (An Nabhani, 2004).
Sejarah juga mencatat bahwa ketika khilafah diterapkan maka aspek pendidikan sangat diperhatikan, setiap warga negara mendapatkan hak untuk memperoleh pendidikan sehingga mampu mencetak ilmuwan-ilmuwan besar pada masanya.
seperti Ibnu sina (Avicenna) yang mendapat gelar father of docter yang merupakan bapak kedokteran, Ibnu Rusyd (Averoes) yang merupakan ahli astronomi, Al-Khawarizmi yang diijuluki bapak matematika.
Ibnu hayyan yang mendapat gelar the father of modern chemistry atau lebih dikenal dengan istilah bapak kimia, Ibnu haytam yang terkenal dengan gelar bapak ilmu optik, dan masih banyak yang lainnya.
Dalam bidang kesehatan pun sistem khilafah juga memberikan pelayanan yang berkualitas seperti pada masa Khilafah Abbasiyah, banyak rumah sakit dibangun di Baghdad, Kairo, dan Damaskus. Pada masa itu pula, untuk pertama kalinya, ada rumah sakit berjalan (semacam ambulans).
Penerapan Sistem khilafah telah terbukti membawa berkah dan rahmat bagi alam. Sistem khilafah adalah sistem yang berasal dari Allah Swt yang menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan seperti masalah ibadah, makanan, pakaian, ekonomi, pergaulan, pendidikan, hukum. hingga pemerintahan sehingga jelas membawa kebaikan kepada manusia. Islam tidak bisa diterapkan secara sempurna tanpa khilafah sehingga penerapan Islam dan khilafah saling berhubungan.
Dari paparan diatas tentu kita dapat memahami dengan bijak bahwa khilafah merupakan bagian dari ajaran Islam, sehingga tidak perlu ditakuti atau justru dibenci. Barangsiapa membenci khilafah berarti telah mencederai ajaran Islam. Mari kita berfikir cerdas sehingga kita tidak salah dalam memahami khilafah dan tentunya sebagai seorang muslim yang taat kita akan memperjuangkan tegaknya khilafah.