Oleh : Kiki Amelia*
Setiap orang di dunia ini tentu tidak ada yang sempurna, segala aturan yang mereka buat pun tentu tidak bisa dikatakan aturan yang sempurna. Karena hal itu, pastilah setiap orang mendapatkan kritik dan atau saran dari orang lainnya yang melihat ada celah kesalahan pada diri mereka. Begitu pula aturan yang dibuat oleh manusia, seperti misalnya aturan didalam rumah, tentu aturan ini tidak akan sempurna. Semua orang di dalam rumah tersebut pastilah memiliki pendapat yang berbeda, sebab beda kepala beda pula isinya atau lebih tepatnya setiap orang mempunyai sudut pandang masing-masing.
Demikian pula pada aturan negara, dimana tidak mungkin sempurna jika yang membuat aturan tersebut adalah manusia. Sebab, kita tau bahwa manusia adalah makhluk yang lemah,terbatas dan sangat bergantung. Manusia memiliki akal, namun akal tersebut tentu tidak diciptakan untuk membuat aturan sendiri semaunya. Terlebih lagi, aturan yang mereka buat hanya aturan yang akan mengutungkan mereka saja.
Aturan yang dibuat oleh sebagian kecil manusia ini tentu memiliki banyak sekali celah kesalahan, dimana seharusnya orang lain bisa memberikan kritik ataupun saran terhadapnya. Dalam atura Demokrasi misalnya, di sini rakyat diperbolehkan untuk memberikan suara atau aspirasi yang akan ditampung oleh wakil rakyat atau pemerintah yang sedang berkuasa pada masa itu. Namun sayang, ternyata kenyataan tidak seindah bayangan, nyatanya rakyat tidak diberikan ruang untuk menyampaikan pendapatnya kepada pejabat yang berwenang.
Seperti yang baru saja terjadi dibulan ini, ada tiga anggota personel TNI yang mendapatkan sanksi hukum dan dicopot dari jabatan dikarenakan isteri mereka yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Kordinator Bidang, Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto. Bukan hanya itu, pihak TNI juga melaporkan isteri tiga anggotanya ke polisi terkait konten penusukan tersebut.
Kepala Subdinas Penerangan Umum TNI AU Kolonel (Sus) dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/10) menjelaskan bahwa dalam urusan politik, posisi prajurit TNI AU dan keluarganya (KBT/ Keluarga Besar Tentara) harus netral. “Oleh karena itu, KBT dilarang berkomentar, termasuk media sosial yang berdampak pendiskreditan pemerintah mauopun simbol-simbol negara. KBT yang kedapatan melanggar, akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku,” Ujarnya . (Kontan.co.id, 12/10/2019)
Ujaran kebencian di media sosial yang berujung kepada kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Ekektronik (ITE) justru menjadi sorotan banyak masyarakt. Bagaimana tidak, negara yang katanya memberikan kebebasan pada rakyatnya dalam memberikan pendapat dan menyampaikan aspirasi mereka ternyata malah melakukan hal sebaliknya, hal itulah yang justru membuat banyak masyarakat menjadi merasa kebebasannya dibatasi.
Hal yang tejadi sekarang justru akan semakin menunjukkan bahwa aturan sekarang tidak memberikan kebebasan berpendapat bagi setiap masyarakat. Padahal masyarakat seharusnya diberikan wadah untuk menyampaikan keresahan mereka, sebab sudah menjadi tugas negara untuk memenuhi dan melindungi setiap rakyatnya.
Berbeda halnya ketika aturan Islam yang diterapkan, aturan ini justru akan memberikan ruang kepada masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasinya. Tercatat ketika masa Khalifah Umar, beliau mendapat kritikan dari seorang wanita yang disampaikan didepan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita.
Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat wanita tersebut yang membaakan surat An-nisa ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar.
Khalifah Umar ketika ditunjuk menjabat sebagai Khalifah untuk menggantikan Abu Bakar, beliau justru menolak jabatan tersebut hingga seorang sahabat menjamin akan menjadi orang yang akan memuhasabahinya dan meluruskannya dengan pedang.
Keluhuran dan kenegarawanan laku kepemimpinan Khalifah umar inilah yang sudah tidak diteladani oleh pemimpin kita saat ini, dimana ruang kritik bagi masyarakat ditutup dengan berbagai cara. Bahkan kritik cenderung diposisikan sebagai wujud pembangkangan terhadap kekuasaan. Penguasa lebih nyaman bersahabat dengan sanjungan dan pujian meskipuna ia tau bahwa itu jauh dari nilai kemaslahatan.
Untuk itu sudah sepantasnya masyarakat mulai berkeinginan memiliki pemimpin yang sadar dan sungguh-sungguh dalam amanah, dan belajar meneladani serta memetik kebijakan dan kearifan dari para khalifah masa dulu.
Wallahu a’lam bisshowwab.
*(Mahasiswi, Member Akademi Menulis Kreatif)