Oleh: Mustika Lestari
(Mahasiswi UHO)
Dalam Al-Qur,an, Allah SWT berfirman: “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah SWT) bagi kaum yang berfikir,” (Q.S Al-Jatsiyah [45]: 13).
Ayat ini menjelaskan bahwa Islam mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia. Islam tidak melarang pemanfaatan alam, namun ada aturan tekniknya. Manfaatkan alam dengan cara yang baik (bijak) dan manusia bertanggungjawab dalam melindungi alam dan lingkungannya serta larangan merusaknya.
Kondisi musim kemarau yang melanda sejumlah wilayah di Sulawesi Tenggara, Khususnya Kabupaten Konawe dalam kurun waktu dua bulan terakhir turut mengundang perhatian pemerintah. Pasalnya, sejumlah hutan, lahan maupun padang savana di beberapa wilayah berpotensi terbakar.
Kepala Seksi Perlindungan Hutan UPTD KPH Unit XXII Laiwoi, Toni, S.TP merangkap sebagai pls. Kepala UPTD KPH Unit XXII Laiwoi melalui Kepala Seksi Perencanaan Pengelolaan Hutan UPTD KPH Unit XXII Laiwoi Rosmin Sakay, S.Hut. MM, menuturkan hutan di wilayah kerja UPTD KPH Unit XXII Laiwoi kini berstatus waspada kebakaran(http://sultrakini.com, 17/9/2019).
Kerusakan Alam, Salah Siapa?
Indonesia yang kaya dan subur, kini kondisinya sangat memprihatinkan. Satu per satu bencana alam terus menghujam negeri ini secara bertubu-tubi. Gempa bumi, longsor, kekeringan, kebakaran lahan menjadi rutinitas tahunan yang tidak pernah terlewati terhadap negeri tercinta ini. Setiap musim kemarau tiba, selalu muncul masalah kekeringan yang mengakibatkan krisis air bersih, kerusakan lahan pertanian hingga ancaman kebakaran lahan. Kekeringan seolah menjadi penyakit tahunan yang selalu jadi polemik.
Jumlah titik panas yang terus meningkat seiring meluasnya pengaruh musim kemarau di sejumlah wilayah Indonesia berdampak kekeringan yang berpotensi kebakaran, tidak hanya mencakup sebagian besar wilayah Jawa, Bali, tetapi juga mengancam wilayah-wilayah kecil seperti Sulawesi, tepatnya Sulawesi tenggara.
Sejak Juli hingga Agustus 2019, kebakaran hutan menghanguskan ratusan hektar lahan di wilayah Sulawesi Tenggara. Yang berhasil terpantau dan diantisipasi Tim Pemadam Kebakaran Hutan (Manggala Agni) Sulawesi Tenggara hanya mencapai 98 hektar hingga awal Agustus. Terbaru, kebakaran terjadi di wilayah Kelurahan Ngapaaha, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan, Kamis (8/8/2019). Meskipun hanya beberapa hektar, tetapi kebakaran ini merupakan rentetan dari belasan kasus lainnya yang terjadi sejak Juli. Ratusan hektar yang hilang, berada pada tiga kabupaten yang vegetasi rawan kebakaran hutan. Ketiganya adalah Konawe Selatan, Konawe dan Bombana (http://m.liputan6.com, 9/8/2019).
Lagi dan lagi, ancaman kebakaran tidak pernah usai. Kabar terbaru yang dilansir dari sultrakini.com, kondisi musim panas yang melanda sejumlah wilayah di Sulawesi Tenggara, khususnya Kabupaten Konawe dalam kurun waktu dua bulan terakhir turut mengundang perhatian pemerintah. Pasalnya, sejumlah hutan, lahan maupun padang savana di beberapa wilayah berpotensi terbakar.
Dari rentetan masalah kekeringan, kebakaran yang melanda wilayah kita saat ini, tentu hal ini bukan sekadar fenomena biasa, melainkan ada hal lain. Jika kekeringan merupakan fenomena alam, maka umumnya dipengaruhi kemarau panjang akibat perubahan iklim global sehingga curah hujan berkurang dan pada akhirnya persedian air tanah berkurang. Sub Bidang Produksi informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG meyatakan bahwa Indonesia memang memiliki musim kemarau penyebab kekeringan, tetapi tidak ada musim kemarau yang berlangsung sepanjang tahun.
Udara dan alam yang semakin rusak dan tercemar. Jika penyebab kekeringan adalah fenomena biasa, maka salah satu cara penanggulangannya adalah membentuk resapan air dengan menanam pepohonan. Seperti yang kita tahu bahwa salah satu fungsi pohon adalah menyerap air kemudian menyimpannya dalam akarnya. Air tersebutlah yang akan digunakan di kemudian hari ketika musim kemarau tiba. Sesungguhnya lahan yang hijau dapat mengatasi kekeringan. Ada hal lain yang menjadi ancaman kekeringan yaitu bencana alam akibat ulah manusia. Segala bentuk bencana yang melanda negeri ini pada dasarnya tidak luput dari perilaku manusia itu sendiri.
Allah SWT berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Q.S. Ar-Ruum: 41).
Allah SWT menyatakan bahwa penyebab utama semua kerusakan yang terjadi di muka bumi dengan berbagai bentuknya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia.
Kebanyakan manusia yang hidup di zaman sekarang ini, hanya menjadikan perkara-perkara lahir yang kasat mata sebagai barometer dalam menilai berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Ini merupakan efek dari dominasi hawa nafsu dan cinta dunia dalam diri mereka.
Sehingga, jika kita telaah penyebab kekeringan yang berkepanjangan adalah bukan karena fenomena alam saja namun lebih tepatnya adalah akibat dari ulah manusia yang mempunyai andil terbesar. Memang, ada yang salah dengan paradigma pembangunan. Pembangunan sekuler-kapitalistik, cenderung rakus dan merusak. Sistem yang memisahkan agama dengan kehidupan cenderung membuat manusia sekehendaknya saja membuat aturannya sendiri, tanpa memikirkan dampak buruknya dikemudian hari.
Lihat saja, banyaknya penebangan pohon secara liar akan mengakibatkan hutan gundul. Perlu diketahui, hutan yang gundul merupakan salah satu pemicu yang mengakibatkan kekeringan hebat. Selain penebangan pohon, pembukaan lahan perkebunan sawit besar-besaran dengan menggunakan metode pembakaran demi efisiensi biaya dan waktu adalah suatu hal yang merusak lingkungan dan habitat lainnya. Belum lagi pembangunan pabrik-pabrik di sejumlah daerah, sehinnga hutan tidak bisa lagi menyimpan cadangan air yang cukup, sedangkan pemerintah hanya bisa memberikan bantuan dan solusi jangka pendek. Dampaknya adalah kekeringan jangka panjang hingga merambat kepada masalah yang lebih besar yaitu kebakaran besar-besaran.
Selain itu, dominasi kuasa manusia dalam melakukan eksploitasi juga menjadi implikasi logis terjadinya kebakaran hutan dan lahan di negeri ini. Peningkatan suhu di bumi yang diakibatkan oleh perubahan iklim, disebabkan oleh alih fungsi masif kawasan hutan untuk akumulasi kapital. Sebagaimana diungkapkan oleh Bellamy Foster dalam artikel berjudul Capitalism’s Enviromental Crisis-Is Technology the Answer yang diterbitkan oleh Monthly Review pada Desember 2000. Ia menyatakan bahwa perkembangan kapitalisme, menciptakan teknologi terbaru untuk mereduksi dampak eksploitasi dari alam, dengan produk-produk yang diklaim lebih efisien.
Namun, eksploitasi tetaplah eksploitasi. Secanggih apapun alatnya, pada akhirnya tetap pada sisi menghancurkan metabolisme alam, mengakibatkan terancam punahnya peradaban yang ditandai dengan semakin banyaknya pencemaran skala luas, mulai menurunnya daya dukung lingkungan dan meningkatnya suhu di bumi. Maka, bukan suatu hal yang mustahil jika kebakaran hutan menjadi rutinitas tahunan.
Hutan harus tetap ada, karena dia berperan sebagai jantung bumi. Sebelum semuanya terlambat, para kapital serakah dan merusak yang mengorbankan hutan harus dicegah. Yang terpenting dalam jangka panjang adalah saatnya kita menentukan batasan. Pola pikir bersama harus dibangun bahwa kebakaran hutan dan lahan bukan rutinitas tahunan yang harus ditunggu.
Islam, Solusi Tepat
Kekeringan ekstrem tentu perlu solusi tepat untuk mengatasinya. Bukan solusi jangka pendek, melainkan solusi yang benar-benar solutif. Maka pilihan satu-satunya adalah kembali pada aturan Islam. Dalam Islam sudah sangat terang bahwa bumi, alam dan lingkungan diciptakan oleh Allah SWT bukan tanpa arti. Penciptaan alam, lingkungan dan bumi merupakan bukti keberadaan Allah, Tuhan Yang Maha Pencipta.
Kekeringan yang terjadi saat ini bisa saja merupakan teguran, peringatan atau bahkan adzab dari Allah SWT agar kita mengintrospeksi diri apakah kita selama ini kita melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT atau kita hanya berdiam diri terhadap perbuatan kemaksiatan yang terjadi di hadapan kita. Bencana yang datang silih berganti di negeri ini bisa jadi disebabkan karena di negeri ini telah mendustakan ayat-ayat Allah dan lebih memilih menerapkan hukum-hukum kufur kapitalis, sekuleris. Karena itu, negeri ini selalu dihadapkan dengan masalah yang tanpa ada solusinya, kalaupun ada solusi tersebut akan selalu memunculkan masalah yang baru.
Allah SWT berfirman: “Jikalau sekiranya pendududk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya,” (Q.S. Al A’raf: 96).
Oleh karena itu, jika kita ingin mengembalikan pada keberkahan yang akan dilimpahkan Allah dari langit dan bumi, maka tiada hal lain selain kembali pada syariah Allah, pemimpinnya menerapkan hukum-hukum Allah dalam naungan sebuah negara seperti yang dicontohkan Oleh Rasulullah SAW.
Penerapan syariah dalam seluruh aspek kehidupan (pembangunan berbasis aqidah) menjamin kehidupan penuh berkah. Kebaikan alam semesta akan dirasakan manusia dan makhluk hidup lainnya. Islam akan mengatur, mencegah dan mengelola hutan secara sempurna sehingga ancaman kekeringan ataupun kebakaran sangat minimalis untuk terjadi. Wallahu’alam bi shawab.