Oleh : Ummu Hanik
Terjadinya kebakaran hutan yang melanda provinsi Riau sejak 1 Januari 2019 sampai pada 22 Februari 2019, telah menyebabkan sebanyak 858 hektare hutan ludes dilahap oleh api. Gubernur Riau Wan Thamrin Hasyim (2018-2019) menetapkan status siaga darurat dalam tempo 8 bulan sampai 31 Oktober 2019.
Meski Walhi Riau menyebut bahwa titik api mulai berkurang, namun di Kabupaten Kepulauan Meranti masih ditemukan titik-titik api. Di Pulau Rupat, bagian dari Riau yang dilanda kebakaran hutan ini, mengalami kabut asap nan tebal dan telah mengganggu kesehatan masyarakat.
Dalam jumpa pers di kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Jakarta, Jumat (30/8), Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan bencana (BNPB) Agus Wibowo menjelaskan luas hutan dan lahan terbakar terbanyak setelah Nusa Tenggara Timur adalah Riau (30.065 hektar) dan Kepulauan Riau (4.079 hektar).
Koordinator Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Riau Dr Suwondo MS memperkirakan Riau mengalami kerugian materiil sebesar Rp 50 triliun lebih, akibat kabut asap karhutla melanda daerah itu sejak beberapa bulan terakhir.
"Kerugian sebesar Rp 50 triliun itu berasal dari terganggunya aktivitas perdagangan, jasa, kuliner, perkebunan, dan kerugian waktu delay dari aktivitas penerbangan," kata Suwondo di Pekanbaru, Kamis (19/9).
Suwondo mengatakan dampak asap karhutla tersebut telah memicu kerugian ganda, untuk semua sektor kehidupan, ekonomi, sosial, ekologi, pertanian dan perkebunan, jasa, dan lainnya . Ia meragukan apakah kasus yang sama pada tahun sebelumnya mesti terulang lagi, sebab fakta saat ini mengindikasikan untuk Riau bakal mengalami kerugian yang sama saat bencana asap tahun 2015.
"Kalau bencana asap tahun 2019 lebih lama terjadi, atau sama kondisi asap tahun 2015, maka akan lebih berbahaya lagi dan fatalnya Riau mengalami kerugian ekonomi bisa mencapai Rp 120 triliun lebih, sama kerugian yang dialami pada bencana asap tahun 2015," katanya.
Ia menekankan bahwa bencana asap terjadi tahun 2015 dengan komparasi luasan hutan dan lahan yang terbakar mencapai 500.000 hektare. Sedangkan bencana asap tahun 2019 dengan hutan dan lahan terbakar sudah mencapai 300.000 hektare.
Kebakaran Hutan dan Lahan Akibat Ulah Manusia
Sebagian musibah yang ditimpakan oleh Allah SWT terhadap manusia adalah akibat perbuatan manusia sendiri, termasuk bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau. Adanya musibah, seharusnya menyadarkan manusia akan kesalahan mereka, sehingga segera sadar dan kembali ke jalan yang benar. Allah Swt telah berfirman :
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Para peneliti di berbagai belahan dunia telah mengkaji penyebab kebakaran yang terjadi di Indonesia. Semua berkesimpulan, bahwa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.
Pengelolaan lahan yang masih menjadikan api sebagai alat yang murah, mudah dan cepat menjadi inti dari penyebab kebakaran. Banyaknya pelaku yang ditindak kali ini adalah bukti. Satgas kebakaran hutan dan lahan Provinsi Riau menangkap 3 tersangka pembakar hutan. Penangkapan itu dilakukan pada Senin, 16 September 2019 pukul 14.00 WIB.
"Satgas Karhutla Provinsi Riau menangkap 3 orang tersangka pembukaan lahan di Desa Bukit Kesuma km 81, masuk dalam kawasan Taman Nasional Tesso Nilo," ujar Plt Kapusdatinmas BNPB, Agus Wibowo dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/9/2019).
Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menyampaikan, pihaknya telah menetapkan 218 pelaku kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sebagai tersangka. Jumlah tersebut merupakan total dari keseluruhan upaya penegakan hukum yang dilakukan di enam wilayah Polda. "Total 228 tersangka perorangan dengan tersangka korporasi bertambah menjadi lima," tutur Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (17/9/2019). Dedi merinci, untuk Polda Riau ada 47 tersangka perorangan dengan 1 tersangka korporasi.
Presiden Joko Widodo menyebut kebakaran hutan dan lahan ( karhutla) yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan sebagai kelalaian. Diberitakan Kompas.com (16/9/2019), Jokowi mengaku bahwa pemerintah daerah dan pemerintah pusat lalai dalam menangani karhutla hingga mengakibatkan kabut asap.
"Setiap tahun sebetulnya sudah tidak perlu lagi rapat seperti ini, otomatis menjelang musim kemarau itu semunya harus sudah siap. Sebetulnya itu saja, tetapi ini kita lalai lagi sehingga asapnya jadi membesar," kata Jokowi saat memimpin rapat di Pekanbaru, Riau, Senin (16/9/2019).
"Pencegahan dalam penanganan dalam karhutla adalah mutlak dilakukan, karena kalau yang terjadi sudah kejadian kebakaran apalagi di lahan gambut, pengalaman bertahun-tahun kita sudah mengalaminya, sangat sulit menyelesaikan," ucap Jokowi.
Menurutnya, pimpinan daerah termasuk Pangdam dan Kapolda tidak mengaktifkan jajarannya secara baik dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan. Selain gubernur, Pangdam dan Kapolda, Jokowi juga menyebut ada badan lain yang tidak mengaktifkan jajarannya secara optimal, yakni Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Bencana yang Terus Berulang
Adanya kebakaran lahan dan hutan yang cukup dahsyat, sudah terjadi setidaknya sejak 1967. Sejak itu, kebakaran lahan dan hutan terus berulang tiap tahun. Semua ini menunjukkan tiga hal.
Pertama: Penindakan terhadap para pelaku selama ini begitu lemah. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, karena adanya pembiaran dan penegakan hukum yang lemah, pelanggaran terus terjadi (Kompas.com, 14/9).
Kedua: Seolah tak pernah ada upaya Pemerintah untuk mengambil pelajaran. Padahal dengan belajar dari kasus-kasus sebelumnya, seharusnya kebakaran lahan dan hutan sudah bisa dicegah semaksimal mungkin oleh Pemerintah.
Ketiga: Kebijakan/aturan tak memadai dan tak konsisten dijalankan sehingga tak bisa mencegah dan mengakhiri kebakaran lahan dan hutan. Masih banyak celah hukum sehingga para pelaku bisa lolos dari jerat hukum.
Pemberian sanksi berupa pembekuan hingga pencabutan izin usaha yang dimiliki oleh korporasi atau perusahaan oleh pemerintah, memang sudah dilakukan. Namun menurut Walhi, sanksi administratif akan efektif jika dilakukan secara serius untuk mencegah kembali kasus pembakaran lahan dan hutan yang terus berulang (Elshinta.com, 8/9). Hal itu tak akan mengakhiri secara tuntas kasus kebakaran karena tak menyentuh akar masalahnya.
Akar Masalah
Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, Rudiansyah, mengatakan banyak perusahaan yang selalu mengulangi kesalahan, sehingga kebakaran hutan terus terulang di atas lahan konsensinya. Walhi mencatat, ada sepuluh perusahaan yang izin kelolanya harus dicabut oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Rudi mengungkapkan, masih banyak perusahaan yang terlibat dalam pembakaran lahan yang akan digunakan sebagai ladang sawit. Pada tahun 2019, setidaknya ada 38 perusahaan yang wilayah konsesinya terbakar. Disinyalir korporat tersebut tidak mematuhi Peraturan Pemerintah nomor 57 Tahun 2016.
Selain hal di atas, para ahli dan aktivis lingkungan menilai akar masalah dari kebakaran lahan adalah kerusakan ekosistem lahan gambut. Kebakaran terjadi karena alih fungsi di lahan yang sangat mudah terbakar sangat besar. Pemicu kebakaran ini adalah karena keringnya lahan gambut setelah alih fungsi lahan. Dalam proses alih fungsi, lahan gambut itu selalu disertai pengeringan lewat pembuatan kanal-kanal.
Ahli hidrologi dari Universitas Sriwijaya, Momon Sodik Imanuddin, mengatakan, akar dari kebakaran lahan gambut di Sumsel adalah adanya pengeringan berlebih dan tidak terkendali. Hal senada diungkapkan oleh peneliti gambut Universitas Riau, Haris Gunawan. Menurut dia, gambut di wilayah Sumatera dan Kalimantan kini mudah terbakar karena maraknya alih fungsi lahan. Bentang alam gambut berubah. Area gambut dengan biodiversitas beragam dan basah disulap menjadi area perkebunan dengan satu jenis tanaman dan dikanalisasi untuk mendukung budidaya. Akibatnya, gambut kering dan mudah terbakar (Kompas, 10/9).
Solusi Tuntas
Di era kapitalisme seperti ini, bencana akibat kebakaran lahan dan hutan sangat sulit atau bahkan mustahil diakhiri. Hal ini dikarenakan, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta hanya demi kepentingan ekonomi. Inilah yang menjadi salah satu akar masalahnya.
Bencana kebakaran hutan dan lahan di Indonesia khususnya, hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam. Hal ini dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis).
Secara tasyrî’i (hukum), Islam menetapkan bahwa hutan termasuk dalam kepemilikan umum (milik seluruh rakyat). Rasul saw. bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلإَِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ»
Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Sebagai milik umum, hutan haram dikonsesikan kepada swasta baik individu maupun perusahaan. Hutan hanya berhak dikelola oleh pemerintah dan diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyatnya. Dengan ketentuan ini, akar masalah kasus kebakaran hutan dan lahan bisa dihilangkan, dan dicegah sepenuhnya sejak awal.
Pengelolaan hutan secara penuh oleh negara, tentu akan mudah menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, kepentingan rakyat dan kelestarian hutan. Negara juga harus mendidik dan membangun kesadaran masyarakat untuk mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya untuk generasi demi generasi.
Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka pemerintah wajib segera menanganinya, sebagai bentuk perhatian pemerintah akan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka. Pemerintah akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di dunia maupun diakhirat.
Secara ijrâ’i (praktis), pemerintah harus melakukan langkah-langkah, manajemen dan kebijakan tertentu. Hal ini dilakukan dengan menggunakan iptek mutakhir serta memberdayakan para ahli dan masyarakat umum dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan dampak kebakaran yang terjadi.
Mengakhiri kebakaran hutan dan lahan secara tuntas dengan pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis), hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh. Penerapan syariah Islam hanya bisa terwujud dalam sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus sesegera mungkin diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim negeri ini. Dengan itu berbagai bencana akibat ulah manusia, termasuk bencana kabut asap, bisa diakhiri. Hingga akhirnya, masyarakat akan bisa merasakan hidup tenang tanpa merasa khawatir terhadap adanya bencana akibat ulah manusia.