Karut-Marut Transportasi di Tangan Korporatokrasi


Oleh: Nisa Agustina

Ibu Rumah Tangga, Muslimah Pegiat Dakwah




Transportasi merupakan bidang kegiatan yang sangat penting untuk memperlancar roda pembangunan dan perekonomian. Dalam beberapa tahun terakhir, permasalahan transportasi di negeri ini semakin semrawut seperti kenaikan tarif tol, mahalnya tiket pesawat, jatuhnya pesawat Lion Air yang menewaskan 188 penumpang, kecelakaan pada angkutan darat, dan juga tenggelamya beberapa kapal yang tidak sedikit menelan korban jiwa.

Baru-baru ini juga, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan pihaknya telah mengeluarkan perintah untuk maskapai Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air agar melakukan pengecekan secara keseluruhan terhadap pesawat Boeing 737NG yang mengalami keretakan. Saat ini maskapai yang mengoperasikan pesawat B737NG adalah Garuda Indonesia sebanyak 73 pesawat, Lion Air sebanyak 102 pesawat, Batik Air sebanyak 14 pesawat, dan Sriwijaya Air sebanyak 24 pesawat (detik.com, 17/10/19). Pengecekan ini sagat diperlukan untuk menghindari kecelakan pesawat seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

Selain di udara, insiden transportasi juga terjadi di laut. Sebuah kapal tugboat yang berisi 2 awak tenggelam saat bersandar di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Polisi menyebut 1 awak kapal menjadi korban meninggal dunia atas insiden itu (detik.com, 16/10/19).

Tentunya, kesemrawutan urusan rakyat ini tak bisa disepelekan dengan anggapan bahwa nanti sistem transportasi akan membaik bila pihak swasta yang mengelola bidang ini bekerja lebih profesional. Perlu perubahan mendasar dalam paradigma mengurus masyarakat. Umar bin Khattab ra pernah berkata, "Seandainya ada kambing yang terperosok lubang di Hadramaut, maka aku yang bertanggung jawab terhadapnya." Begitu besar tanggung jawab pemerintah dalam hal ini karena akan berdampak pada pertanggungjawaban terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala di hari akhir kelak.

Karut-marut transportasi umum di Indonesia dimulai dari kesalahan paradigma mendasar sekaligus perangkat aturan yang muncul dari paradigma dasar tersebut. Permasalahan dalam masalah transportasi bukanlah sekedar masalah tehnik namun kesalahan sistemik. Paradigma salah tersebut bersumber dari faham sekulerisme yang mengesampingkan aturan agama. Sekulerisme yang melahirkan sistem kehidupan kapitalisme telah memandang dunia transportasi sebagai sebuah industri.

Cara pandang ini mengakibatkan kepemilikan fasilitas umum transportasi dikuasai oleh perusahaan atau swasta yang secara otomatis mempunyai fungsi bisnis, bukan fungsi pelayanan. Menurut pandangan kapitalis, dalam pelaksanaan pelayanan publik negara hanya berfungsi sebagai legislator, sedangkan yang bertindak sebagai operator diserahkan kepada mekanisme pasar. Layanan transportasi dikelola swasta atau pemerintah dalam kaca mata komersil, akibatnya harga tiket transportasi publik mahal namun tidak disertai layanan yang memadai.

Demi mengejar untung, tidak jarang angkutan umum yang sudah tidak layak jalan tetap beroperasi. Efek penerapan sistem kapitalis, negara dibikin bangkrut oleh penguasa neolib karena semua sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan pengelolaannya kepada para kapitalis pemilik modal. Negara hanya mendapatkan sekedar bagi hasil atau pajak/royalti dari pengelolaan tersebut. Karena keterbatasan dana, penyediaan infrastruktur kurang terurus. Sungguh ironis, rakyat yang seharusnya mendapatkan pelayanan malah dibebani dengan pajak.

Kunci kenyamanan transportasi sebetulnya adalah pada fokus pemerintah sebagai pihak yang diberikan amanah untuk mengurus layanan angkutan umum rakyatnya. Pembangunan sarana dan prasarana serta pemeliharaan mutlak harus didukung oleh pemerintah termasuk pendanaan yang memadai. Hanya saja, saat ini sulit untuk mengharapkan peran tuntas pemerintah. Buktinya, pemerintah sedang gencar mengundang asing dan aseng atas nama investasi untuk menyelesaikan problem transportasi di negeri ini.

Padahal, bila pemerintah menjadikan Islam sebagai landasan untuk mengurus urusan rakyatnya, salah satunya untuk masalah transportasi, maka akan ada beberapa perbaikan yang bisa diwujudkan. Pertama, negara akan menjalankan sabda Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap (urusan) rakyatnya” (HR Al- Bukhari). Negara berfungsi sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya menjamin akses setiap individu publik terhadap transportasi publik yang aman, nyaman (manusiawi), serta murah/gratis.

Kedua, transportasi dalam pandangan Islam adalah hajat hidup orang banyak yang termasuk kebutuhan dasar bagi keberlangsungan aktivitas kehidupan manusia. Untuk itu, negara tidak akan berlepas diri dari urusan transportasi seperti menyerahkannya ke pihak lain untuk kemudian dikomersilkan. Ketiadaan peran penuh negara akan berakibat dharar/penderitaan yang diharamkan Islam. “Tidak boleh membahayakan dan tidak boleh dibahayakan” (Terjemahan HR Ibnu Majah dan Ahmad). Maka dalam negara Islam, keberadaan pesawat rusak yang tidak layak terbang atau kapal laut yang tidak memenuhi standar keamanan termasuk jalan tol yang berbayar, maupun kondisi angkutan umum lain yang tidak layak jalan, itu tidak akan ditemui.

Ketiga, untuk dapat menyediakan layanan transportasi yang nyaman dibutuhkan anggaran yang banyak. Bagi negara-negara yang tidak memiliki paradigma Islam maka pendanaan ini akan diserahkan ke pihak lain karena negara kesulitan dalam anggaran. Sementara dalam Islam, pengadaan anggaran untuk pembiayaan transportasi adalah wajib menggunakan anggaran mutlak. Artinya, ada atau tidak ada kekayaan negara yang diperuntukkan untuk pembiayaan transportasi publik yang ketiadaannya berdampak dharar bagi masyarakat maka wajib diadakan negara.

Bila dalam negara sekuler penghasilan utama negara adalah dari pajak yang memeras rakyat, maka dalam Islam, salah satu sumber kekayaan negara yang jumlahnya berlimpah di suatu negeri adalah barang tambang (Zalum, Abdul Qadiim. Al Amwaal Fii Daulatil Khilafah. Darul Ummah. Beirut Libanon. 2004. Hal 104-106). Dari sumber inilah, diambil anggaran untuk pengadaan moda transportasi darat, laut, dan udara yang memadai secara kualitas dan kuantitas, mulai dari infrastruktur seperti jalan umum, rel, halte, pelabuhan, terminal, stasiun, dan lain-lain sarana dan prasarana transportasi.

Untuk itu, bila dikembalikan pada pertanyaan awal, kapankah permasalahan transportasi ini bisa diselesaikan? Maka sjawabannya adalah saat negara mau menjadikan Islam sebagai satu-satunya acuan dalam membuat berbagai kebijakan untuk mengatasi semua persoalan kehidupan termasuk persoalan transportasi yang sekarang masih menjadi pe-er panjang bangsa ini. Wallahu 'alam bi ash shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak