Karhutla Sampai Bila ?



Oleh : Saptaningtyas

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) seolah menjadi bencana tahunan yang selalu terjadi bila musim kemarau tiba. Meski pernah mencanangkan diri sebagai wilayah zero karhutla pada tahun 2018 lalu, namun zero karhutla dan zero asap tersebut seakan hanya demi target tuan rumah Asian Games semata. Nyaris tak pernah absen, tahun ini Provinsi Sumatera Selatan kembali masuk berada dalam deretan wilayah yang mengalami kebakaran hutan dan lahan. Bahkan saat ini sudah berstatus siaga darurat bencana karhutla. Kementrian Lingkungan Hidup (KLHK) mencatat, ada enam provinsi di Indonesia saat ini yang berstatus siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Direktur Pengendalian Karhutla KLHK, Raffles B Panjaitan mengatakan, enam provinsi itu adalah Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Jambi (nasional.kompas.com, 01/08/2019).

Kepala bidang Kedaruratan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel, Ansori, Senin, mengatakan luas lahan terbakar hingga Senin (26/8) mencapai 1.822 hektar, meningkat dari sebelumnya sebanyak 1.675 hektar pada Sabtu (24/8). Wilayah yang terbakar masih didominasi lahan gambut. Berdasarkan catatan dari Lembaga Antariksa dan Penerbangan (Lapan), terpantau 1.530 titik api tersebar di 17 kabupaten/kota di Sumsel sejak awal Januari hingga Agustus 2019 (antaranews.com,26/08/2019). Ongkos mahal tentu saja harus ditanggung negara dan warga akibat karhutla ini. Tak hanya besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk upaya pemadaman, karhutla juga dapat berdampak rusaknya infrastruktur, hilangnya aset pertanian, perkebunan dan kehutanan. Bahkan tak jarang menelan korban jiwa baik dari regu pemadam maupun penduduk yang terdampak, baik dampak langsung kebakaran maupun tidak langsung karena menurunnya kesehatan akibat bencana asap yang ditimbulkan karena karhutla. Terlebih lagi bila yang terbakar adalah lahan gambut, maka dampak kabut asap dapat lebih besar terjadi. Akibatnya akan berpengaruh pada jarak pandang yang tentu saja dapat membahayakan lalu lintas, juga dapat mengganggu kesehatan.  Saat ini penduduk yang terganggu karena menderita infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA  di Sumatera Selatan mencapai 274.502 orang selama periode Januari-Juni 2019 karena dipicu kebakaran hutan dan lahan (republika.co.id, 13/08/2019).

Apa Penyebabnya ?
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen Doni Monardo menegaskan, terjadinya karhtla itu 99 % akibat ulah manusia (mediaindonesia.com,05/08/2019).  Senada dengan itu, Kapolri Jendral Tito Karnavian juga mengatakan penyebab karhutla 90 persen karena faktor manusia.  Adapun Guberbur Sumsel Herman Deru menduga terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah akibat ulah mafia tanah. Artinya benarlah bahwa, bencana karhutla  disebabkan ulah tangan-tangan manusia, baik oleh individu maupun korporasi. Salah satunya untuk kegiatan pembukaan lahan atau land clearing. Membuka lahan dengan metode membakar memang cara yang paling banyak dilakukan karena dinilai paling efektif dan ekonomis. Tentu saja cara ini akan mengakibatkan bencana apabila dilakukan oleh individu maupun perusahaan yang memiliki lahan cukup luas.

Terkait hal ini, pemerintah berupaya mengambil tindakan yang tegas. Presiden Jokowi meminta aparat TNI dan Polri untuk mencopot jabatan jajarannya yang tidak bisa mengatasi karhutla. Karena menurutnya karhutla adalah kejahatan yang luar biasa yang seharusnya diseriusi (news.detik.com,07/08/2019). Dan untuk wilayah Sumsel sendiri telah ditandatangani maklumat bersama antara gubernur, kapolda, dan pangdam II Sriwijaya tentang karhutla yang nantinya akan mengenakan sanksi pidana 15 tahun penjara bagi siapa saja baik pribadi maupun badan usaha yang terbukti melanggar. Bahkan sebagai upaya menunjukkan keseriusannya konon Satuan Tugas Penanggulangan Lahan (Satgas Karhutla) Sumsel mengeluarkan ancaman tembak di tempat kepada pelaku pembakaran. Tujuannya memberikan efek jera.

Namun demikian, ketegasan yang disampaikan Jokowi tersebut dinilai banyak pihak sebatas omdo (omong doang).  Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Riau, Riko Kurniawan, misalnya, menyebut bahwa ancaman itu sebatas pepesan kosong belaka (viva.co.id,07/08/2019). Sebab ancaman yang persis sama pernah diucapkan di tahun sebelumnya namun pada faktanya tidak mampu menyelesaikan persoalan dan karhutla pun terus saja terjadi berulang.

Dan jika ditelisik lebih jauh, berulangnya permasalahan karhutla ini menunjukkan betapa rusaknya sistem yang diterapkan di negeri ini. Sistem yang ada tidak mampu mengatasi masalah karhutla meski sederet peraturan mengenai sanksi telah dimiliki. Dan telah lumrah diketahui khalayak bahwa penerapan hukum yang berlaku seringkali tajam pada individu rakyat jelata namun tumpul terhadap para konglomerat bermodal tebal. Dalam laporan investigasi terbaru, Jumat (30/8/2019), di Jakarta, Eyes on the Forest (EoF) mengungkapkan pemantauannya pada periode Juli-Desember 2018 atas restorasi gambut yang dijalankan PT Sumatera Riang Lestari (SRL di blok Rupat dan Kubu), PT Satria Perkasa Agung (grup APRIL), PT Sakato Pratama Makmur  (SPM distrik Humus dan Hampar), PT Bukit Batu Hutani Alam (BBHA Grup APP Sinar Mas), dan PT Rimba Rokan Perkasa (izin dicabut pemerintah dan pernah berafiliasi dengan APP Sinar Mas). Catatan mereka, SRL blok Rupat, SPM, dan BBHA pernah menjadi tersangka kasus kebakaran hutan dan lahan yang disidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2013 dan 2014. Pada tahun ini ataupun tahun sebelumnya, sejumlah konsesi ini juga kembali mengalami kebakaran (bebas. kompas. id, 31/08/2019).

Adapun korporasi swasta tersebut terus melakukan pembakaran lahan karena ia memiliki hak untuk mengelola hutan dan lahan. Peraturan perundangan di negri ini telah memberikan izin kepada pihak swasta untuk mengelola hutan dan lahan baik hutan tanaman industri maupun lahan untuk perkebunan. Di sinilah pokok permasalahan yang sebenarnya. Dalam sistem sekuler kapitalis sekuler memang demikian. Peraturan yang dibuat tidak dibuat bersandar pada dimensi wahyu sebab agama dipisahkan dalam pengaturan kehidupan. Hasilnya peraturan lebih berdasar pada dimensi nafsu tak mempertimbangkan dampak buruk bagi masyarakat dan generasi selanjutnya melainkan berpihak pada pemilik modal. Wajar bila dari tahun ke tahun karhutla terus saja terjadi seolah tak ada solusi.

Lantas Bagaimana Solusinya?

Telah nyata sebelumnya bahwa bencana karhutla di Sumsel maupun di wilayah lain di negeri ini adalah akibat ulah tangan manusia. Manusia bermodal besar baik individu maupun badan usaha yang menjadi penyebab karhutla tidak akan membuka lahan dengan cara tersebut seandainya tidak ada perundangan yang memberikan hak kekuasaan bagi mereka untuk mengelola hutan dan lahan yang semestinya menjadi hak semua warga negara dan negaralah satu-satunya yang berhak mengelola sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Hal ini tidak akan terwujud selama negara masih menganut sistem kapitalis. Sebab dalam sistem kapitalis-sekuler-demokrasi penguasa sejatinya adalah pemilik modal (pengusaha), sementara suara rakyat hanyalah pemanis saja.

Berbeda halnya dengan sistem yang bersandar pada dimensi wahyu (Islam). Tak seperti sekuler yang memisahkan aturan Sang Pencipta dengan negara, dalam Islam setiap perbuatan harus terikat pada aturan Sang Pencipta, termasuk dalam pengelolaan SDA oleh negara. Dalam sistem Islam hutan dan lahan termasuk dalam kepemilikan umum yang haram dimiliki oleh swasta, individu maupun badan usaha. Karena ia milik umum maka mewajibkan pengelolaan sepenuhnya oleh negara dan digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran semua warga negara. Hal ini didasarkan pada hadits:  "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad)".

Dengan demikian jelaslah bahwa karhutla yang terjadi di Sumsel ataupun wilayah lain negeri ini adalah fasad, kerusakan akibat ulah tangan manusia dan ia merupakan sebuah kejahatan yang harus dihentikan. Namun ia bukanlah bencana yang tidak bisa dicegah dan dihentikan. Oleh karena penyebabnya adalah sistemik maka solusinya juga harus sistemik, mencabut permasalahan hingga ke akarnya.

Alhasil yang mesti dilakukan adalah melakukan edukasi pada masyarakat dengan pendekatan dimensi wahyu, bahwa membuka lahan dengan cara dibakar adalah fasad yang harus dihindari karena Sang Pencipta melarang melakukan kerusakan. Dan edukasi saja tidak cukup, negara harus berinovasi menemukan cara yang baik dalam pertanian dan perkebunan tanpa pembakaran sehingga dapat memberikan kemudahan bagi rakyat dalam memajukan pertanian dan perkebunan mereka. Selanjutnya tidak memberikan pengelolaan hutan dan lahan pada korporasi swasta dengan meniadakan peraturan yang memberikan penguasaan lahan dan hutan atas mereka. Dan semua itu hanya dapat terwujud bila keseluruhan aspek pengaturan negara ini bersandar pada landasan yang satu yang bersumber dari Sang Pencipta.
Wallahu a'lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak