Oleh : Noor Sri Melani, S.Pd
Menteri Koordiantor Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyatakan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) hanya bisa diatasi lewat hujan. Dia menyampaikan pemerintah berusaha menciptakan hujan buatan. (cnnindonesia.com)
Kalimat beliau seolah-olah menyatakan bahwa semua masalah kalhutra akan selesai bila hujan datang. Tapi tidakkah kita menelisik apa yang menjadi penyebab kejadian yang sama terus berulang?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyegel 52 area konsesi perusahaan yang diduga menyebabkan Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla). Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengungkapkan dari angka itu sebanyak 14 perusahaan diketahui kepemilikan asing. (cnnindonesia.com)
Ya, lagi-lagi korporasi berada dibalik kasus kebakaran lahan dan hutan, untuk apa?
Kalhutra sudah menjadi momok yang tidak hanya merugikan masyarakat namun makhluk hidup lainnya serta lingkungan. Seperti ditemukannya hewan-hewan yang terjebak dalam kebakaran hutan dan lahan, dimana itu merupakan habitat asli mereka.
Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan ada 919.516 orang yang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pelaksana tugas Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo mengatakan jumlah itu tersebar di enam provinsi, yaitu Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan. Dengan total 900 ribu pebderita ISPA dari catatan kementerian kesehatan.
Kita mengetahui bahwa kejadian kalhutra terus berulang sepanjang tahun. Dan ini menjadi fenomena yang bisa dibilang seperti musiman saat musim kemarau menyapa negeri.
Namun tidakkah kita meliat fenomena ini bukanlah fenomena biasa, kesalahan saja kalau berulang pasti ada yang salah bukan dg pelakunya apalagi ketika kejaian yang meruginakan manusia? Ada apa?
Dalam sebuah media diberitakan bahwa sebagian lahan yang terbakar adalah milik perusahaan, bahkan di sumatera selatan lahan yang terbakar mencapai 2.859,022 hektare per Rabu (11/9).
Dalam sistem kapitalis neoliberalis yang secara sadar dianut oleh pemerintah, hutan dan lahan dipandang milik negara, sehingga mereka berwennag menyererahkan kepemilikannya kepda pihak swasta atau korporasi degan pemberian hak guna atau yang kita kenal konsesi. Dan penerima konsensi diberi kewenangan utnuk mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan sesuai asas kapitalisme, meraih untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya.
Akhirnya pilihan paling mudah dalam hal pembukaan hutan dan lahan adalah dengan dibakar. Mungkin cukup dengan membayar penduduk lokal dengan upah minimum sebagai eksekutor. Masalah dampak tidak terlalu diperhatikan, bahkan selama ini aturan hukum tidak ada yang benar-benar berlaku untuk mereka.
Salah satu media mengungkapkan dimana pihaknya mendata 698.674 hektare gambut yang seharusnya dilindungi namun sebaliknya dibebani izin kepada korporasi. Kasus korporasi yang terbakar dan yang masuk ranah hukum banyak yang dihentikan..
Kabut asap yang setiap tahun melanda negeri ini membuktikn lemahnya pemerintah dalam menangani kasus yang berkaitan dengan konsensi. Bahkan lemahnya pengawasan terhdap upaya restorasi ekosistem gambut, khususnya pada kawasan konsensi mengakibatkan penangannan kalhutra tidak mengalami kemajuan. Jadi bisa dibayangkan bahaya kalhutra khususnya dilahan gambut pada musim kemarau yang panjang ini.
Kita tahu bahwa hutan gambut tropis Indonesia terluas di dunia memiliki fungsi ekologis dan hidrologis termasuk sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan oelh makhluk hidup khususnya dinegeri ini.
Padahal hutan dan lahan gambut seperti hutan pada umumnya sebagai harta milik umum. Dituturkan lisan mulia Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang artinya, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air, dan api.” (HR. Abu Dawud).
Disinilah negara pihak paling bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan dan lahan gambut. Rasulullah (saw.) menegaskan, artinya, “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim).
Artinya, apapun alasannya, negara haram sebagai regulator bagi kepentingan korporasi. Sebaliknya, negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan dan dan lahan gambut. Termasuk pemulihan fungsi gambut yang sudah rusak serta antisipasi pemadaman bila terbakar.
Apalagi hak konsesi tidak dikenal dalam Islam karena pemanfaatan secara istimewa (himmah) hanyalah pada negara, dengan tujuan untuk kemashlahatan Islam dan kaum muslimin. Rasulullah saw bersabda yang artinya, “Tidak ada himmah (hak pemanfaatan khusus) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud).
Karena itu higemoni kekuasaan oleh korporasi harus segera diakhiri, karena islam jelas mengharamkan penjajahan apapun bentuknya. Allah swt berfirman dalam QS. An-Nisa (4): 141, artinya, “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin”.
Selebihnya restorasi lahan dalam rangka pengembalian fungsi ekologi gambut yang terbakar wajib dilakukan oleh negara dengan anggaran yang bersifat mutlak dari kas negara. Seperti itulah islam mengatur pelaksanaan fungsi negara sebagai pelayan bagi ummat, melindungi hak-hak ummat dan tidak tunduk kepda kepentingan-kepentingan yang justru mengabaikan hak ummat. Karena itu keadilan dalam islam adalah dengan menghukumi segala sesuatu berdsarkan alqur’an dan as sunnah. Hadist dari abu hurairah yang disepakati oleh al Bukhari dan Muslim, dari Nabi saw bersabda : “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (hari kiamat); (yaitu) Pemimpin yang adil…”
Rasulullah juga bersabda, “Masing-masing kamu adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang amir yang memimpin masyarakat adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban kepemimpinannya atas mereka. (HR. Bukhari)