Oleh : Khalida Abdul Rahman
Dunia pendidikan menjadi tombak tumbuhnya pemahaman di setiap orang. Pendidikan tak hanya dapat diartikan dalam lingkungan formal, ketika kita melihat bagaimana setiap orang duduk secara sistematis, dalam lingkungan akedemika. Namun, pendidikan pun bisa diartikan dalam lingkungan non formal, dimana prosesnya terjadi tanpa sistematik oleh suatu lembaga, dan pendikan seperti ini banyak kita temukan dalam beberapa kejadian setiap waktu.
Pendidikan dalam Islam, adalah hal yang wajib diterima oleh setiap individu, apalagi yang sudah baliqh. Karena kewajiban inilah, Islam sangat meringankan proses pendidikan. Penerapan ini, bila terwujud dalam negara maka tentunnya negara Islam akan memberikan secara gratis kepada masyarakat dalam daulah Islam.
Berbeda halnya ketika darul kuffur memperlakukan masyarakatnya dalam negara, tergantung pada sistem penerapnnya, apakah kapitalisme ataukah sosialisme.
Misalnya, dalam sistem kapitalisme, pendidikannya tak boleh luput dari akidahnya yakni sekulerisme. Pemuasan intelektual menjadi daya tarik tersendiri yang diidam-idamkan, tanpa mempertimbangkan aspek prakteknya. Dimana, ilmu yang diperoleh jika tak diterapkan, bagi sistem seperti ini menjadi tak masalah. Sistem ini pun melahirkan banyak paham-paham. Tentu, begitulah sistem yang menjadikan pencetus hukumnya adalah manusia, pasti memiliki banyak perbedaan di kalangan mereka.
Paham individualisme, menghiasi sistem ini, menjadikan para pelajar atau pun mahasiswa selalu bepikir hanya tentang diri mereka sendiri. Tak peduli jika lingkungan tempatnya bermukim, betapapun kondisinya. Jika selagi mereka baik-baik saja, maka itu adalah hal terbaik yang harus mereka jaga.
Ikatan kepentingan yang mengikat kalangan masyarakat juga, menjadikan hubungan antar sesama hanya sebatas pada asas manfaat belaka. Ketika kepentingan antar mereka satu sama lain selesai, maka hubungannya tak lagi sama seperti dahulu, bahkkan mulai memudar. Ikatan kelompok ini pun akan berpisah dan mencari manfaat lain pada individu lain pula.
Tak heran, pola pendidikan kapitalisme tak mampuh membentuk generasi terbaik, bagi peradaban kelak. Kapitalisme cenderung menjadikan kepuasan intelektual menjadi hal terbaik yang akan mereka persembahkan, tanpa melihat bagaimana aplikasi daya intelektual tersebut.
Asasnya yang sekuler, menyebabkan cetak generasi mereka jauh dari Rabb Alam Semesta, Allah Subhanahu Wata’ala. Ketika generasi ini mendiskusikan esensitas agama, maka hasil kesimpulan gagasan ini hanya menjadi teori semata. Sebab kepuasan intelektual yang di banggakan, tak peduli seberapa kuatnya mereka menentang hukum-hukum Allah, namun jika asas logikanya tinggi, maka tentu ini adalah hal teristimewa yang menjadi potensi tersendiri, menurut kapitalisme.
Sebab keluarga terutama ibu, adalah madrasah pertama yang ditempuh oleh setiap insan, tentu ini menjadi alat corong kapitalisme guna menghambat peran keluarga untuk tercapainya asas kapitalisme, yakni sekulerisme. Akibat pengelolaan sumber daya alam yang tak mengikut aturan Rabb Semesta Alam, dimana tanah, air, dan lain sebagainya yang menjadi milik bersama yang harus dikelola oleh negara, untuk kemaslahatan bersama, diserahkan kepada swasta dan parahnya kepada asing. Sementara, untuk biaya penghidupan negara, tak tahu lagi di ambil dari arah mana, hutang yang membludak dengan ekonomi riba yang naik tiap detik, dengan perhitungan dollar, menjadi beban negara. Efeknya, negara dibangun dengan sistem perpajakan, baik pajak bangunan, rumah sakit, kendaraan, tanah, dan fasilitas lainnya seperti jalan, bandara, pelabuhan, bahkan meranjak naik, masuk pada pendidikan.
Pendidikan pun dipersulit, peran kelurga terhadap anaknya semakin membesar dan cenderung menghimpit ekonomi keluarga. Beban tanggung jawab membawa dampak bagi psikologi, ditambah didikan sekulerisme yang mendarah daging dalam diri dan lingkungan, tentu tak heran keluarga mendidik generasi mereka dengan didikan yang tak mesti dirasakan. Anak cenderung keras kepala, jauh dari Rabbnya, individualisme, memiliki egoitas yang tinggi dan banyak lagi beban-beban yang mendasari hal ini.
Sekulerisme adalah paham yang mejadikan konsepnya yaitu, pemisahan agama dari kehidupan. Mereka sepakat bahwa, ranah agama tak bisa menjadi asas pengikat masyarakat dalam lingkungan kehidupan. Agama memiliki peran tersendiri dalam aspek tertentu, misalnya dalam Masjid saja. Sementara aspek pergaulan misalnya, bahwa manusia bebas mengikuti ajaran-ajaran tersendiri.
Mereka menolak dakwah, dengan berbagai gagasan “urus saja dirimu sendiri”, bahkan klaim kebenaran sesama muslim yang seharusnya saling mengingatkan, kata mereka “seakan surga adalah milik mereka (para pendakwah)”, “seakan benar salah adalah keputusan kalian (para pendakwah) yang menentukan”. Padahal sejatinya, dakwah adalah wujud cinta, kasih dan sayang sesama umat Muslim dan umat-umat yang lainnya, sebagai hamba Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab dunia ini fana, dan tak bisa kita bandingkan dengan kehhidupan yang kekal yakni akhirat. Untuk hidup di dunia fana ini saja, butuh pengorbanan yang maksimal, dan terkadang di luar nalar, apatah lagi untuk mempersiapkan kehidupan yang kekal kedepannya, abadi, dan selama-lamanya, tentu persiapannya harus lebih baik, butuh pengorbanan apapun itu, baik soal rasa, cinta, benci, dendam, bahkan ego yang harus tunduk pada Rabb pemilik segalanya, Allah Subhanahu Wata’ala.
Kapitalisme mencetak generasi pengancur kehidupan yang fana dan kekal, maka kita butuh sebuah sistem penghidupan untuk kehidupan yang fana dan kekal ini. Dengan mewujudkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin, berhijrah dari darul kufur ke darul Islam, dengan sistem Khilafah Islamiyyah ‘Ala Minhaj Nubuwwah. Sistem yang tidak pernah mendiiskriminasi ajaran agama lain, terbukti ketika di contohkan oleh Insan terbaik, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, dilanjutkan oleh generasi terbaik didikan beliau atas rahmat Allah, yaknii para sahabat Radhiallahu ’Anhu.