Oleh: Yusriani Rini Lapeo, S.Pd
(Pemerhati Sosial/Komunitas WCWH,Asal Konawe, Sulawesi Tenggara)
Dewasa ini, maraknya kasus kriminalisasi terhadap para tokoh Agama di Indonesia semakin meningkat. Tidak berhenti disitu, khilafah dan jihad pun turut di monsterisasi bahkan mulai dihilangkan. Seperti disekolah dan dalam dunia kampus misalnya, tidak menjamin entah sekolah itu berbasis islam, maupun sekolah umum lainnya yang sama sekali tidak mengenal kata khilafah dan jihad, semua disamaratakan demi menghilangkan ajaran islam yang agung.
Penyusupan Ide Sekuler
Kepanikan orang-orang liberal mendorong hawa nafsu mereka untuk melakukan apa saja, walaupun tindakan mereka bertentangan dengan UU, bahkan sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mulia. Bukan tanpa alasan, bagaimanapun mereka tidak ingin islam kembali tegak.
Oleh karena itu, salah satu alat yang mereka gunakan adalah penyesatan pemikiran yang dituangkan kedalam aturan dan perundang-undangan yang kufur. Sasaran mereka adalah Islam dan orang-orang yang menyuarakan kebenaran. Sebab, jika Islam tegak dimuka bumi, maka eksistensi mereka pasti sirna, tidak ada lagi penjarahan kekayaan alam dalam suatu negeri, bahkan menjamin masyarakatnya dalam tiga hal. Pendidikan, kesehatan, keamanan, semua telah diatur dalam islam semata-mata untuk kemaslahatan umat, baik kafir maupun umat Islam itu sendiri.
Dengan memisahkan Islam dari kehidupan, maka mereka akan lebih mudah menjajah SDA (sumber daya alam) dan SDM (sumber daya manusia) negeri-negeri muslim. Inilah kedangkalan berfikir orang-orang liberal, yang saat ini sedang mendominasi akal sehat penguasa.
Sistem kapitalis yang membuat fobia terhadap Islam kian membabi buta. Sekularisme yang tertancap pada jiwa kaum sekuler itu sendiri, bahkan akhirat hanya menjadi informasi yang iseng dari yang maha esa. Yusuf Al-Qaradhawi menyatakan dalam pandangannya,
“Sekularisme tidak pernah bisa diterima secara umum dalam sebuah masyarakat Islam. Islam adalah sebuah sistem ibadah komprehensif dan legislasi (syariah). Menerima sekularisme berarti meninggalkan syariah. Ini berarti menampik aturan Ilahi dan penolakan terhadap perintah-perintah Allah. Sekularisme hanya cocok dengan konsep Tuhan ala Barat yang berpendapat bahwa Tuhan menciptakan dunia dan membiarkan manusia mengaturnya sendiri” (REPUBLIKA.CO.ID, 5/1/2018).
Paham pemisahan agama dengan sistem kehidupan ini, secara signifikan menyebar melalui pengajaran-pengajaran diberbagai lembaga pendidikan dari semua tingkatan. Cara ini dilakukan dengan menyelipkan pikiran sekuler, dalam mata pelajaran yang diberikan kepada anak-anak didik dalam berbagai tingkatanya.
Usaha penyusupan ini, alih- alih-alih dengan keras menjadikan pelajaran agama hanya mendapat jatah waktu singkat, dan ditempatkan pada bagian akhir waktu di saat para siswa sudah letih jasmani dan rohaninya serta sudah diliputi perasaan ingin cepat pulang. Belum lagi makna jihad telah diplintirkan pada makna yang salah. Dan akhirnya, minat belajar siswa terhadap pelajaran agama Islam semakin berkurang.
Jihad Menurut Perspektif Islam
Kalimat tauhid yang mulia bukan saja hanya memiliki makna dan arti. Namun seyogyanya, kalimat ini bisa kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari, dalam da'wah kita dituntut untuk selalu menyampaikan kebenaran dan ingkar kepada kemungkaran. Bentuk cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah mematuhi semua perintahnya serta menjauhi larangann-Nya.
Pun jihad dan khilafah, merupakan ajaran agama Islam yang tidak bisa dipisahkan dalam jiwa kaum muslimin. Problematika kehidupan umat dapat diselesaikan dengan tegaknya syariat Islam dimuka bumi, tanpa adanya intervensi asing yang haus akan kekuasaan dan dibutakan oleh materi.
Jihad dalam Islam ada hukum dan aturannya. Di antara aturan tersebut adalah: Pertama, Tidak boleh membunuh perempuan, orang tua, dan anak-anak. Diriwayatkan dari Buraidah radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah SAW mewasiatkan kepada panglima perang atau pasukan, yang pertama agar ia dan pasukannya bertakwa kepada Allah. Di antara yang beliau katakan adalah “…jangan kalian membunuh anak-anak…” (HR. Muslim, 1731). Dalam riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian membunuh orang tua yang sudah sepuh, anak-anak, dan wanita…” (HR. Abu Dawud 2614, Ibnu Abi Syaibah 6/438, dan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra 17932).
Kedua, Tidak boleh membunuh para Rahib. Apabila Rasulullah SAW hendak memberangkatkan pasukan, beliau berpesan kepada mereka, “Janganlah kalian membunuh pemilik bihara (rahib).” Beliau juga berwasiat kepada pasukan yang hendak diberangkatkan menuju Mu’tah, “Berangkatlah berperang di jalan Allah dengan menyebut nama Allah. Bunuhlah orang-orang kafir. Perangilah mereka. Janganlah kamu berbuat curang dan jangan melanggar perjanjian, dan jangan pula kalian memutilasi mayat.” (HR. Muslim, no. 1731).
Ketiga, larangan lari dari medan perang. Rasulullah SAW juga memberikan wasiat yang berkenaan dengan diri pasukan sendiri. Beliau bersabda, “…jangan kalian lari dari medan perang…” (HR. Muslim 1731, Abu Dawud 2613, at-Tirmidzi 1408, dan Ibnu Majah 2857).
Didikan Rasulullah SAW ini sangat berpengaruh di hati para sahabatnya. Pada masa Kekhalifahan Umar bin al-Khattab, ada seorang mujahid yang berkata kepada pasukan Persia “Jangan takut”, kemudian ia membunuhnya. Umar pun menulis surat kepada pimpinan pasukan, “Telah sampai kabar kepadaku bahwa salah seorang dari kalian mengincar seorang non muslim. Pada saat non muslim tersebut terdesak di atas gunung, lalu berusaha membela diri, si muslim berkata, “Jangan takut”. Namun kemudian ia membunuhnya. Demi Allah, janganlah sampai kepadaku kabar demikian kecuali aku penggal lehernya.” (al-Muwatha, Riwayat Yahya al-Laitsi 967 dan al-Baihaqi 5652).
Keempat, tidak membuat kerusakan di bumi. Sepanjang sejarah Islam, tidak akan kita dapati bahwa peperangan umat Islam bukanlah perang yang merusak seperti peperangan modern sekarang. Hal ini berdasarkan kisah Abu Bakar ash-Shiddiq. Sangat jelas kepada pasukan yang ia berangkatkan menuju Syam, ia berkata, “Jangan membuat kerusakan di muka bumi…”.
Wasiatnya yang lain kepada pasukannya: “Jangan sekali-kali menebang pohon kurma, jangan pula membakarnya, jangan membunuh hewan-hewan ternak, jangan tebang pohon yang berbuah, janganlah kalian merobohkan bangunan,…” (Riwayat al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra 17904, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 2/75, dan ath-Thahawi dalam Syarah Musykilul Atsar 3/144).
Adakah pimpinan perang yang memerintahkan pasukannya berbuat demikian? Adakah agama yang mengajarkan kasih sayang sampai-sampai dalam peperangan seperti yang diajarkan Islam? Tentu tidak ada. Seandainya para orientalis jujur dalam menuliskan sejarah dan sikap umat Islam dalam peperangan, niscaya orang-orang akan malu menuduh agama Islam agama bar-bar.Inilah bimbingan Islam. Walaupun dalam peperangan, Islam melarang melakukan pengrusakan. Islam mengajarkan demikian, agar para panglima perang tidak berpikiran bahwa peperangan membolehkan pengerusakan.
Kelima, berinfak kepada tawanan. Berinfak atau memberi tawanan sesuatu yang tidak membuat mereka begitu menderita dianjurkan dalam Islam. Mereka dalam keadaan lemah dan terpisah dari keluarga, tentu memberi makanan, minuman, dan hal-hal yang layak didapatkan manusia dapat meringankan beban mereka. Allah SWT berfirman, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS:Al-Insaan | Ayat: 8).
Keenam, tidak boleh memutilasi mayat. Rasulullah SAW melarang memutilasi mayat walaupun musuh dalam peperangan. Diriwayatkan dari Abdullah bin Zaid, ia berkata, “Nabi melarang perampasan dan memutilasi (musuh).” (HR. al-Bukhari 2342, ath-Thayalisi dalam Musnad-nya 1070, dan al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra 14452).
Meskipun orang-orang musyrik memutilasi paman beliau, Hamzah, di Perang Uhud, namun beliau tidak mau membalas perlakuan tersebut di peperangan selanjutnya. Bahkan beliau mengancam keras umat Islam yang melakukan mutilasi. Nabi bersabda,
“Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah seseorang yang dibunuh oleh seorang nabi, orang yang membunuh seorang nabi, pemimpin kesesatan, dan orang yang memutilasi.” (HR. Ahmad 3868, lafadznya sihasankan oleh Syu’aib al-Arnauth, ath-Thabrani dalam al-Kabir 10497, al-Bazar 1728).
Islam adalah janji Allah, dan ganjaran jihad adalah syurga tanpa mengubah makna jihad yang sesungguhnya. Mereka boleh saja menghapus makna khilafah dan jihad disetiap madrasah manapun, namun satu hal yang yang harus mereka ketahui bahwa, Islam pasti tegak tanpa menunggu persetujuan dari pihak siapapun. Dan sesungguhnya menentang salah satu syariat Islam, maka sama saja mereka sedang berdiri melawan qadarullah. Wallahu'alam