Jauhi Seks Bebas dan LGBT, Wujudkan Masyarakat Tanpa HIV AIDS

 
Oleh : Lina Revolt (Komunitas Emak-emak Peduli Bangsa)
HIV AIDS adalah salah satu penyakit mematikan yang belum ditemukan Obatnya hingga kini. Penyakit ini menyerang kekebalan tubuh manusia dan merusak sel darah putih atau sel limposit. Baru-baru ini Dinas Kesehatan Kota Kendari mencatat selama periode Januari-Juli 2019 terdapat 24 orang pengidap HIV/Aids Di kota Kendari, dan para penderita didominasi lelaki seks lelaki atau homo seksual.
Dari ke-24 orang pengidap HIV itu 12 orang merupakan homo seksual atau LSL, 2 orang Ibu Rumah Tangga (IRT), dan 8 orang Hetero serta 2 orang bisex. Data ini dikumpul dari dua tempat pemeriksaan HIV, yakni di RSUD Kota Kendari dan Puskesmas Lepo-Lepo, Kota Kendari, kata Kadiskes Kendari drg. Rahminingrum ( AntaraSultra, Senin 30/9/19).
Kelompok LSL merupakan komponen penyebaran virus HIV. Selain mereka ada kelompok waria dan wanita pekerja seks yang sama-sama berpotensi menularkan penyakit ini.
Seks bebas dan LGBT adalah penyebab utama penyebaran HIV Aids. Meski penyuka sesama jenis beranggapan bahwa hubungan seks sejenis Lebih aman Karena tidak hamil. Namun Perilaku menyimpang justru paling rentan terhadap HIV AIDS.
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin, dr Dewi Inong Irana dalam program diskusi ILC di studio salah satu stasiun TV, Selasa (19/12/2017) menyatakan, banyak macam Inveksi Menular Seksual (IMS) dan perilaku seksual lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) mempunyai resiko tertinggi untuk tertular IMS dan HIV/AIDS.
Solusi Menanggulangi HIV AIDS
Tak ada asap jika tak ada api. Paradigma demokrasi kapitalisme yang mengagung-agungkan kebebasan individu menjadikan penyelesaian penyebaran HIV AIDS menjadi sulit. Karena seks dalam sistem ini adalah hak individu yang harus dipenuhi. Maka tidak penting dengan siapa, selama dilakukan suka sama suka. Oleh karena itu, dalam sistem kapitalisme sekuler hari ini seks bebas bukan dianggap kejahatan.
Begitu juga dengan munculnya penyimpangan seksual LGBT menambah daftar panjang penyebaran HIV AIDS di negeri ini. Kehadiran mereka bagai fenomena gunung Es. Adanya penyimpangan seksual ini tidak hanya merusak moral bangsa. Namun juga menjadi penyebab penyebaran HIV AIDS tertinggi di dunia. Termasuk di Indonesia. Namun sayang perilaku ini bukannya dianggap kejahatan, namun malah LGBT dianggap hak asasi yang harus dihormati.
Berdasarkan paradigma diatas, maka wajar jika solusi dalam mencegah pertumbuhan HIV/AIDS masih sama yaitu dengan program ABCD, Abstinence (Tidak berhubungan seks selibat), Be Faithful (Selalu setia pada pasangan), Condom (Gunakan kondom di setiap hubungan seks berisiko), dan Drugs (Jauhi narkoba). Program tersebut ternyata tidak menuntaskan masalah HIV/AIDS malahan membuat masalah baru. Karena pencegahannya tidak mengakar pada masalah dasarnya.
Pemerintah lebih cenderung tambal sulam dalam menanganinya seperti pembagian kondom ke tempat-tempat lokalisasi dengan alasan supaya aman dalam berhubungan seks berisiko (zinah), seharusnya tempat tersebut ditutup karena dari sanalah penyebaran HIV/AIDS meningkat.
Olivia Carina,SE sebagai pemerhati pemuda dan komunitas Hijrah mengatakan Penanganan penyakit HIV-AIDS pada saat ini masih belum tepat, karena pelaku HIV-AIDS itu dipandang sebagai korban, dari sini masyarakat digiring untuk memaklumi pelaku atau biasa disebut ODHA, sehingga mereka dilindungi. Padahal penggiringan opini itu bermaksud agar masyarakat memaklumi perilaku seks bebas. Seharusnya mereka (odha) adalah pelaku seks bebas yang harus diberikan sanksi dan dijerat hukum ( kompasiana, 27/11/18).
Seharusnya, jika pemerintah benar-benar serius, maka harus dicabut akarnya masalahnya yaitu mencegah perilaku seks bebas, baik dengan lawan jenis maupun sejenis. Pelakunya harusnya dedikasi dan diberi sanksi sehingga terjagalah kelestarian manusia. Namun, untuk mewujudkan itu dibutuhkan berjalannya fungsi 3 pilar penjaga masyarakat.
Pertama Pilar individu, setiap individu harus dikuatkan kadar keimanannya sehingga memiliki kontrol diri dalam menjauhi segala bentuk kemaksiatan, termasuk didalamnya seks bebas. Kedua Pilar Masyarakat, Masyarakat harus menjalankan fungsinya sebagai kontrol masyarakat. Melakukan amar ma'ruf nahi munkar dan peka terhadap berbagai penyimpangan dari nilai-nilai luhur di masyarakat.
Ketiga Pilar Negara, Negara sebagai pelaksana hukum dan penentu kebijakan. Negara harus tegas melarang praktik perzinaan apapun bentuknya. Bahkan tak segan memberi sanksi tegas bagi pelaku perzinahan. Dengan demikian akan terwujud lah masyarakat yang berbudi luhur dan jauh dari bermacam penyakit kelamin yang mengerikan.
Namun terwujudnya integrasi fungsi 3 pilar penjaga masyarakat akan sulit selama paradigma kapitalis sekuler masih dijadikan pijakan. Harus ada upaya ideologis untuk mewujudkan sistem yang baik. Karena terwujudnya masyarakat yang mulia tidak hanya bergantung pada manusia didalamnya tapi juga sistem yang diterapkan atas mereka. Untuk itu, sudah saatnya kita mengarahkan segala daya untuk mewujudkan kan sistem yang mampu menjaga masayarakat dari berbagai kerusakan moral yaitu sistem Islam yang berasal dari yang maha baik.
Wallahu a'lam Bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak