Oleh : Shita Ummu Bisyarah
Hari ini rabu 23 Oktober 2019 Presiden Jokowidodo secara resmi mengumumkan mentri - mentri yang akan membantunya dalam Kabinet Indonesia Maju. Dengan duduk lesehan di tangga veranda Istana Merdeka, 38 pejabat negara remi memikul amanah rakyat dipundaknya. Selamat wa innalillah kami ucapkan kepada putra terbaik bangsa yang memangku jabatan mengurus urusan rakyat.
Susunan kabinet baru ini terbilang unik karena tak hanya ada koalisi namun juga oposisi. Namun ada beberapa hal yang mengejutkan kami yakni diangkatnya menag ( mentri agama) seorang Jendral TNI yang ditugasi memberantas "radikalisme" di negri ini. Bersama sang polisi berpangkat tinggi Tito Karnafian sebagai mendagri, sungguh pasangan yang serasi.
Lagi - lagi isu radikalisme digodok kembali, tentunya mengarah kepada umat islam yang getol menyuarakan perubahan hakiki. PNS yang terpapar isu radikalisme dan terorisme akan diberantas oleh mendagri. Nampaknya dakwah islam akan semakin dipungkam dan dikebiri
Padahal radikalisme sebenarnya berarti netral. Menurut KBBI radikal berarti perubahan yang mendasar, namun sekarang radikal identik dengan kekerasan bahkan monsterisasi bagi kaum muslim yang taat dan dekat dengan agamanya. Orang bercadar, berjenggot disebut radikal, orang menggunakan standar agama dalam bertindak disebut radikal dll.
Radikalisme itu kini menjadi alat
propaganda. Pasca program global war on terrorism (GWOT) yang
diarahkan kepada Muslim, Barat yang dipimpin Amerika Serikat
menukik lebih dalam lagi dengan program global war on radicalism
(GWOR). Sasarannya tetap sama yakni Muslim. Rupanya mereka
belum puas dengan propaganda terorisme karena hanya menyasar
sebagian kecil umat Islam. Dengan propaganda radikalisme, mereka
bisa menjangkau kaum Muslim lebih luas.
Propaganda radikalisme akhirnya berubah menjadi alat gebuk
yang efektif. Pola penerapannya mirip sekali dengan propaganda
terorisme. Dengan propaganda tersebut, harapannya umat Islam
menjauhi agamanya dan bisa lebih toleran dengan Barat
Propaganda ini akhirnya menjadi agenda internasional dengan diperkuat oleh presiden Amerika terpilih yakni Donal Trump yang menyatakan secara jelas permusuhannya terhadap Islam. Indonesiapun sebagai negara yang membebek kepada barat turut melaksanakan perintah tuannya dengan menggemborkan isu radikalisme ini yang menyudutkan kaum muslim. Walau para pengusungnya adalah kaum akademisi muslim yang merupakan antek mereka.
Terlihat jelas dengan adanya perpu ormas yang akhirnya membubarkan beberapa ormas yang dituduh radikakal secara sepihak, pembubaran kajian yang diisi oleh ustadz yang dituduh radikal seperti ust fellixiaw, abdul somad dll padahal kajian mereka bertajuk iptek seperti kasus UAS oleh rektor UGM baru - baru ini. Kali ini isu radikal lebih digencarkan lagi dengan terlantiknya mendagri Kapolri Toto Karnavian dan menag mantan jendral TNI Fakhrurrazi dengan mandat utamanya memberantas ASN yang terpapar paham radikal.
Terlihat jelas negeri ini tampak semakin diktator kepada rakyatnya, padahal demokrasi yang mereka emban meniscayakan kebebasan berpendapat dan bersuara. Namun kenapa kepada kaum muslim yang memperjuangkan agamanya demi kemaslahatan negri ini malah dibungkam erat - erat? Tampaklah sejarah firaun terulang. Mulai dari pelantikan yang melibatkan alam ghoib hingga visi misi mereka kedepan yang anti kritik. Mirip seperti firaun yang sombong tak mau menerapkan aturan sang pencipta. Rezim Firaum mode on.
Namun seberapa getolpun kalian membungkan dakwah islam, dakwah ini akan tetap kami lantunkan karena ada Allah sebaik - baik pelindung. Wallahualambissowab
Tags
Opini