Oleh : Silmi Kaffah (Muslimah Peduli Umat)
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kini kembali terjadi lagi di Riau. Sejumlah kota dilanda kabut asap. Di Pekanbaru, nafas lega adalah barang mahal dan langka. Di kota Tarakan, kabut asap semakin parah hingga mengakibatkan sejumlah penerbangan tertunda. Di Palembang, bahkan telah memakan korban jiwa. Ini hanya secuil dari kota-kota yang belakangan ini memiliki kualitas udara berbahaya akibat kabut asap yang berhulu dari kebakaran hutan dan lahan.
Kebakaran hutan dan lahan di Riau, belum juga padam, bahkan asap makin pekat dan kualitas udara tak sehat bahkan menyentuh level berbahaya. Ratusan ribu warga menderita ISPA. Penderita ISPA sepanjang 2019 sebanyak 281.626 orang terdampak. Angka ISPA dalam empat tahun berturut-turut (2014-2018, 639.548, 720.844, 565.711, dan 529.232 orang terdampak.
Meskipun sempat hujan, pekan ini kabut asap pekat kembali mendatangi Riau. Kebakaran hutan dan lahan, kembali membara. Pada Kamis (12/9/19), kualitas udara sampai level berbahaya. Tak pelak, banyak warga menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Berdasarkan parameter kiritikal indeks standar pencemaran udara PM10, mulai 1-3 September, kualitas udara di Rumbai, tidak sehat. Sehari kemudian sempat normal, tetapi kembali sangat tak sehat pada 7 September hingga level berbahaya pada 10-11 September. Selain Rumbai, kualitas udara di Tenayan Raya dan Libo juga tidak sehat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan " upaya pemerintah dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) belum maksimal. Walhi menilai pemerintah tidak menyelesaikan masalah dari karhutla". ( Minggu 22/9/2019).
Akar Masalah
Jika kita tela’ah lebih dalam, parahnya kapur asap tentu bukan tanpa sebab. Kebakaran hutan terus terjadi setiap tahunnya. Pemerintah seolah tidak mengambil pelajaran dari kasus-kasus sebelumnya. Apalagi dalam menegakan hukum kepada pelaku pembakaran hutan tidak tegas, serta penegakan hukumnya dinilai masih lemah. Akibatnya perusahaan masih bisa memiliki lahan yang luas atas izin pemerintah, kemudian di kelola untuk kepentingannya tanpa memperdulikan dampaknya. Hal ini menjadi wajar, sebab dalam sistem kapitalisme sekuler, negaralah yang memberi hak konsesi lahan kepada perusahaan swasta bahkan asing untuk mengelola lahan yang awalnya hutan gambut atau hutan lindung.
Jadi pangkal kebakaran hutan dan lahan adalah sistem undang-undang yang telah memberikan hak pengelolaan hutan dan lahan pada korporasi atau perusahaan. Aturan ini bersumber pada pemikiran sekuler yang menjamin kebebasan memiliki pada warganya. Hak memiliki yang dijamin negaralah yang membuat pemilik kapital boleh memiliki apa saja yang dikehendakinya.
Maka sekedar seruan untuk tidak bakar hutan saja tidak cukup, apalagi setelah pembakaran malah negara yang bertanggung jawab memadamkan api sementara tindakan tegas terhadap perusahaan yang menjadi tersangka tidak serius dilakukan, tentu tidak akan pernah menyelesaikan masalah Karhutla ini sampai kapanpun
Solusi Islam
Dalam Islam, Hutan adalah salah satu jenis kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki oleh satu atau sekelompok orang. Rasulullah Saw pernah bersabda :
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ يَعْنِي الْمَاءَ الْجَارِيَ
Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput & api. Dan harganya adl haram. Abu Sa’id berkata, Yang dimaksud adl air yg mengalir. [HR. ibnumajah No.2463].
Maka yang berhak mengelola hutan dalam hal ini adalah negara untuk kemaslahatan umat. Tidak boleh diserahkan kepemilikannya kepada seseorang atau swasta, terlebih asing. Sehingga hak rakyat tidak terpenuhi.
Negara harus menjaga kelestarian hutan, terutama hutan gambut yang sangat bermanfaat untuk paru-paru dunia, penyimpan air pada saat musim hujan dan sebagai sumber air pada saat musim kemarau tiba. Selain itu hutan gambut adalah sumber habitat flora dan fauna yang menjaga keseimbangan alam.
Selain larangan pemilikan hutan, Negara juga harus memberi sanksi yang tegas kepada pelaku pembakaran hutan dengan ta’zir kepala negara (Khalifah) hingga mampu menimbulkan efek jera dan penebus dosa bagi pelakunya.
Dengan pengaturan yang terperinci tentang kepemilikan, kesadaran umum untuk menjaga lingkungan dan sanksi yang tegas bagi pelaku kemaksiatan akan menjadi solusi tuntas karhutla.
Namun penyelesaian masalah Karhutla ini tidak akan mungkin bisa diterapkan tanpa ada perubahan rezim dan Sistem yang diberlakukan sekarang. Rezim yang sangat Pro Kapital dan Sistem Kapitalisme Sekuler ini adalah sumber masalahnya.
Oleh karena itu harus ada perubahan secara fundamental terhadap tatanan kehidupan yang rusak dan merusak ini. Yaitu harus kembali kepada penerapan hukum-hukum Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-showab
Tags
Opini