Oleh: Amalidatul Ilmi, S.Pd. (Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya)
Beberapa waktu terakhir Tanah Air kita terus dirundung musibah. Diantaranya adalah konflik dan kerusuhan. Kejadian itu terjadi khususnya di bumi cendrawasih Papua. Di tempat kejadian warga yang banyak menjadi korban didominasi warga pendatang. Mereka dengan berbagai macam profesi yang turut mengembangkan kehidupan di Papua dirinya terancam. Tak sedikit dari mereka juga kehilangan nyawa akibat dari kerusuhan. Sungguh ini adalah kondisi yang mencemaskan. Pasalnya hal ini terjadi di negeri yang dihuni berbagai macam suku, bangsa, agama dan budaya. Maka memang potensi terjadinya konflik karena etnis di tengah-tengah masyarakat cukup besar.
Islam Memandang Keberagaman
Jika kita mau membuka lembaran sejarah dunia. Disana banyak tertorehkan terjadinya konflik dan penaklukan antar etnik yang berujung pada pejajahan. Yang akhirnya menjadikan bangsa yang ditaklukkan diskriminasi dan terus dieksploitasi.
Seperti yang terjadi pada suku Indian. Dimana yang menjadi suku asli benua Amerika mereka justru tertindas dan tersisihkan secara sosial dan ekonomi. Jadi hingga hari ini tanah nenek moyang mereka tidak bisa dimiliki lagi. Populitas mereka saat ini hanya sekitar 2,09 di seluruh Amerika. Sedangkan di Australia suku tersebut hanya ada 3,3 persen dari seluruh warga Australia. Baik suku asli Indian ataupun Aborigin mengalami banyak penindasan dan pembunuhan oleh bangsa Barat kulit putih yang menguasai tanah asli mereka.
Realita kondisi umat manusia saat ini jauh berbeda saat umat manusia hidup dalam naungan Islam. Selama 14 abad lamanya Khilafah Islamiyah telah menguasai hampir 2/3 dunia, tak pernah terjadi penjajahan, diskriminasi maupun eksploitasi terhadap warga asli sebuah negeri atau wilayah tersebut. Justru negeri atau wilayah yang ditaklukkan mampu hidup bersama dengan kaum muslimin yang berjuang membebaskan negeri tersebut.
Kita coba pahami bersama saat Islam pertama kali dibawa oleh kaum Muslim dari Jazirah Arab, sama sekali tidak pernah memperlihatkan arogansi kesukuan. Justru sebaliknya Islam membawa semangat persaudaraan dan persamaan. Tentu itu semua karena Islam mengakui adanya keragaman suku-bangsa. Islam meletakkan kemuliaan manusia bukan pada suku-bangsa, pendatang atau warga asli, warna kulitnya; tetapi pada ketakwaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana yang sudah Allah SWT firmankan dalam kalam-Nya di Surat al-Hujurat [49]: 13.
Kehidupan kaum muslimin dengan berbagai macam suku-bangsa hidup rukun dan damai hampir selama 14 abad sebagai satu umat. Wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah terbentang dari Afrika hingga di Asia telah terbukti berhasil mewujudkan persatuan dan kerukunan antarumat manusia. Bukti nyata Persatuan dan kerukunan itu diawali dengan persatuan dan kerukunan kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah. Selanjutnya terus berlanut di negeri-negeri lain, Islam berhasil melebur perbedaan suku-bangsa, warna kulit dan bahasa dalam ikatan akidah Islam. Selama belasan abad Islam juga telah berhasil mempersatukan umat manusia dalam ikatan akidah Islam. Di sisi lain, warga non-Muslim terpelihara jiwa dan kehormatan mereka dalam naungan syariah Islam. Begitu luar biasanya Islam.
Coba kita bandingkan dengan Negara-negara Barat. Seperti Negara yang dibilang Adidaya saat ini yakni Amerika Serikat. Yang membutuhkan waktu ratusan tahun untuk bisa menghapuskan perbudakan terhadap warga kulit hitam dan untuk mengakui kesetaraan warga kulit putih dengan warga kulit hitam. Bahkan hingga hari ini pun diskriminasi karena perbedaan warna kulit di AS masih terus terjadi.
Belasan abad silam, Islam menghapuskan dan tegas mengharamkan seseorang membanggakan asal-muasal keluarganya dan suku bangsanya. Seperti kisah pada masa Rasulullah saw. Sahabat Rasulullah Ubai bin Kaab ra. pernah mendengar seorang pria berkata, "Hai keluarga fulan!" Lalu Ubay berkata kepada dia, "Gigitlah kemaluan bapakmu!" Ubay mencela dia terang-terangan tanpa memakai bahasa kiasan. Orang itu berkata kepada Ubay, "Wahai Abul Mundzir (Abu Ubay), engkau bukanlah orang yang suka berkata keji." Ubay berkata kepada dia, “Sungguh aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Siapa saja yang berbangga-bangga dengan slogan-slogan Jahiliah maka suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya...’" (HR Ahmad).
Seandainya kita mau menilai, mengatakan dengan jujur. Tanya mengapa keberagamaan di negeri ini dapat terjaga selama bertahun-tahun? Jawabannya sebenarnya telah jelas. Ya karena mayoritas warga di negeri ini adalah Muslim. Mereka memahami kewajiban berbuat baik kepada sesama umat manusia, tanpa memandang suku, bangsa termasuk agama.
Bahaya Provokasi Asing
Runtuhnya persatuan umat Muslim di Dunia Islam justru terjadi setelah masuknya paham asing berupa nasionalisme dan patriotisme ke negeri-negeri kaum Muslim. Misalnya melalui kaki tangan kolonial Inggris, pada tahun 1834, didirikan perkumpulan rahasia yang merencanakan seruan kebencian di tengah-tengah bangsa Arab terhadap Khilafah Utsmaniyah di Turki. Pada saat itu mereka menyebarkan seruan dan tulisan dalam bentuk brosur atau pamflet-pamflet. Yang berisikan permusuhan terhadap Khilafah Utsmaniyah yang mereka pandang sebagai penjajah bangsa Arab.
Kolonial Inggris juga telah mampu menghasut sehingga muncul permusuhan antara kaum Muslim dengan kaum Nasrani. Sehingga terjadilah konflik dan pembantaian massal pada tahun 1860 di wilayah Libanon. Keadaan ini tidak pernah terjadi pada masa Kekhilafahan melainkan setelah Inggris melalui kaki tangannya dapat menyusup dan menghembuskan paham-paham primordialisme ke tengah-tengah kaum Muslim. Akibatnya, muncul konflik etnik dan agama: bangsa Arab dengan Turki; Muslim dengan Nasrani; termasuk umat Kristen dengan kaum Druze.
Dengan demikian bukan Islam dan Khilafah Islam yang menjadi pemicu konflik ataupun peperangan antaretnik di kawasan Timur Tengah. Melainkan masuknya pemikiran asinglah yang menjadi penyebab perpecahan dan konflik tersebut. Upaya ini berujung pada keruntuhan Khilafah Islamiyah pada masa itu.
Memelihara Kehidupan dan Kerukunan
Syariah Islam lah dengan kemuliaannya mampu memberikan pemeliharaan dan perlindungan kepada setiap warganya. Maka Umat manusia yang terpelihara dalam naungan Islam jelas tak bisa dilepaskan dari kemuliaan syariah Islam tersebut. Menurut ajaran Islam, di antara dosa besar dan sanksi berat yang ditimpakan atas pelaku kejahatan adalah dalam kasus pembunuhan. Allah SWT berfirman:
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya (TQS al-Maidah [5]: 32).
Sungguh Allah SWT tidak peduli berapa banyak orang yang terlibat dalam pembunuhan, Allah SWT sangat keras dalam memberikan ancaman terhadap para pelakunya. Nabi saw. bersabda:
لَوْ أَنَّ أَهْلَ السَّمَاءِ وَأَهْلَ الأَرْضِ اجْتَمَعُوا عَلَى قَتْلِ مُسْلِمٍ لَكَبَّهَمُ اللهُ جَمِيعًا عَلَى وُجُوهِهِمْ فِي النَّارِ
Andai penduduk langit dan bumi berkumpul membunuh seorang Muslim, sungguh Allah akan menjerumuskan mereka semuanya dengan wajah mereka tersungkur di dalam neraka (HR ath-Thabarani).
Larangan membunuh warga tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariah juga berlaku pada kalangan non-Muslim. Nabi saw. mengancam siapa saja yang menghilangkan nyawa non-Muslim tanpa alasan yang haq:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا تُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
Siapa yang membunuh seorang mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian dengan Negara Islam) tak akan mencium bau surga. Sungguh bau surga itu tercium dari jarak perjalanan 40 tahun (HR al-Bukhari).
MasyaaAllah luar biasa. Dimana hukum yang agung ini sanggup memelihara kehidupan umat manusia sehingga kerukunan juga mewujud sempurna dalam kehidupan bernegara.
Beberapa riwayat sahih menceritakan bagaimana para khalifah menegakkan hukum secara adil terhadap siapa saja. Ketika ada seorang warga Kristen Koptik di Mesir yang mengadu kepada Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab ra. karena mendapat tindakan kekerasan dari Gubernur Mesir Amr bin al-‘Ash ra. dan putranya, palu hukum yang adil pun dijatuhkan. Khalifah Umar memanggil Gubernur Mesir beserta putranya lalu menjatuhkan sanksi qishash atas mereka. Setelah sanksi dijalankan, Khalifah Umar ra. menegur keras Gubernur Mesir dengan perkataan yang menjadi kemudian menjadi adagium hukum yang agung:
مَتَى اِسْتَعْبَدْتُمْ النَّاسَ وَ قَدْ وَلَدَتْهُمْ أُمُّهَاتُهُمْ أَحْرَارًا ؟
“Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sedangkan ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan merdeka?” (Dr. Akram Diya al-‘Amri, ‘Ashr al-Khilafah ar-Rasyidah, hlm. 127).
Kaum Muslim di bawah naungan Khilafah Islam juga berhasil menciptakan kesejahteraan yang berkeadilan di tengah-tengah umat manusia. Syariah Islam menata agar setiap warga negara (Muslim dan non-Muslim) mendapat jaminan kebutuhan pokok semisal sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Berkat keadilan hukum-hukum Islam inilah maka gejolak sosial dan konflik di tengah-tengah masyarakat dapat dihilangkan dan kerukunan pun tercipta.
Saatnya Tegakkan Islam
Kerusuhan kerusuhan yang terus-menerus terjadi di negeri ini patut diselesaikan dari akar persoalannya. Caranya dengan menjadikan Islam sebagai pengikat seluruh kaum Muslim. Kemudian juga membuat masyarakat kembali bersaudara dalam ikatan ukhuwah islamiyah. Dengan itu mereka akan saling memelihara harta, darah dan kehormatan satu sama lain.
Selanjutnya yang seharusnya kita upayakan adalah dengan tegakkanlah syariah Islam. Karena, hanya syariah Islam yang dapat memberikan keadilan bagi setiap orang. Bukan hanya Muslim. Syariah Islam juga menjamin kehidupan yang mensejahterakan setiap warga negara, Muslim dan non-Muslim. Syariah Islam akan memberangus oligarki dan monopoli ekonomi yang hanya memperkaya segelintir orang dan membiarkan banyak warga dalam jurang kemiskinan.
Inilah cara Islam yang mampu menciptakan dan menjaga serta merawat kebersamaan selama belasan abadlamanya. Dan Islam juga telah mampu menciptakan peradaban yang unggul dan memuliakan umat manusia.
Wallahu ‘alam bish showab