Oleh : Fadhilla Lestari (Mahasiswa Fisip dan Aktivis BMI Kolaka)
KOMPAS.com - Kapolda Papua Irjen Rudolf A Rodja mengatakan aksi anarkistis di Wamena dipicu kabar hoaks tentang seorang guru yang mengeluarkan kata-kara rasis di sekolah. "Wamena minggu lalu ada isu, ada guru yang mengeluarkan kata-kata rasis sehingga sebagai bentuk solidaritas mereka melakukan aksi," ujar Rudolf di Jayapura, Senin (23/9/2019).
Rudolf mengklaim kepolisian sudah mengonfirmasi isu tersebut dan memastikannya tidak benar. "Guru tersebut sudah kita tanyakan dan tidak ada kalimat rasis, itu sudah kita pastikan. Jadi kami berharap masyarakat di Wamena dan di seluruh Papua tidak mudah terprovokasi oleh berita-berita yang belum tentu kebenarannya," tuturnya.
Polri Sebut Hoaks Picu Kerusuhan di Wamena Dilansir dari Tribunnews.com, aksi anarkistik berawal ketika siswa SMA PGRI dan masyarakat yang berjumlah sekitar 200 orang menuju salah satu sekolah di Kota Wamena, Kabupaten Jayapura, Senin (23/9/2019).
Jumlah massa yang begabung bertambah dan pergerakan massa pun terpecah di beberapa titik, yakni kantor bupati, perempatan Homhom, dan sepanjang Jalan Raya Sudirman. Kantor Bupati Jayawijaya di Jln Yos Sudarso dilempari batu oleh massa. Sementara itu, seluruh aktivitas pertokoan dan sekolah termasuk kantor pemerintah dan swasta lumpuh dan masyarakat memilih mengungsi kebkantor Polres , Kodim dan Koramil.
Kantor Bupati Jayawijaya Dibakar Massa dalam Kerusuhan di Wamena Papua Kantor Otonom di Jalan Yos Sudarso Wamena juga dibakar massa. "Bupati juga sudah mendekati massa karena itu hanya isu. Kita juga sudah tanyakan dan kita pastikan tidak ada kata-kata rasis.Kami harap masyarakat di Wamena dan di tamah Papua tidak mudah untuk terprovokasi isu yang belum tentu kebenarannya," pungkasnya.
“Katanya” Negara Hukum?
Akhir-akhir ini, wacana tentang politik di Indonesia menghiasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hampir setiap saat kita mendengar, melihat, merasakan, mencium dan mengecap term ‘’politik’’ selalu tertuju pada magnetisme wacana dan laku yang serba datar dalam domain negatifisme, skeptisisme, dan nihilisme. Artikulasi lidah kita hampir setiap hari berlumuran kata-kata yang berkonotasi hujatan, kekecewaan, ancaman, kekerasan, dan dendam terhadap terminologi politik.
Pertanyaan yang kemudian muncul dari konteks ini adalah dimanakah peran dan fungsi negara khususnya aparat penegak hukum dalam mencegah dan menindak setiap tindak kekerasan yang terjadi di Republik ini?
Sungguh ironis ketika mengingat teori Negara dan hukum dari John Locke tentang eksistensi, posisi, peran dan fungsi Negara sebagai institusi atau lembaga yang dibentuk dan dibangun oleh banyak individu dengan latar belakang yang beragam untuk dapat memberikan perlindungan terhadap hak-hak dasar mereka baik individu maupun kolektif. Dimana hak dasar yang dimaksud adalah hak hidup, kemerdekaan dan mencari nafkah.
Dalam mengatasi mencegah dan menindak masalah kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara tentunya setiap Negara memiliki aturan main (hukum) jelas. Sebagai Negara hukum yang senantiasa menjadikan hukum sebagai panglima Negara Indonesia tentunya menjunjung tinggi asas-asas hukum kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan efek jera, dimana obyek hukum dipandang sama didepan hukum mulai dari rezim, hingga penjual sayur dipasar. Bukankah sumber hukum yang berasal dari nilai-nilai pancasila yang merupakan aturan main yang ideal, jelas dan tegas bagi para penegak hukum dan masyarakat secara umum untuk melakukan upaya-upaya pencegahan, penindakan hingga penyelesaian konflik yang bermotif keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?bukankah aturan mainnya adalah syarat akan bhineka tunggal ika? Lantas apa yang telah dilakukan oleh pemerintah dan para penegak hukum dalam mengartikulasikan aturan main yang ada? Kalau memang pemerintah dan para penegak hukum telah melakukan upayah-upayah yang signifikan, lantas mengapa masih ada tindakankekerasan, kerusuhan yang juga baru-baru terjadi di Wamena sementara masih banyak lagi konflik, kekacauan, masalah Negara yang belum terselesaikan. Bukankah hal ini menciptakan citra dan kesan pembiaran dan penyengajaan oleh Negara?
Oleh karenanya, sangat jelas bahwa demokrasi kapitalisme bukalah solusi Negara dan bangsa ini, Pemerintah dan penegak hukum tidak perlu dipertanyakan dan disanksikan lagi, karena hal ini mereka sangat kaya dalam hal kearifan dan kebijaksanaan retorika podium apalagi diliputi oleh media, tetapi sangat disayangkan justru sangat miskin dalam tataran implementasi. Teori hukum abad pertengahan dari St. Agustinus yang menyatakan bahwa “ada undang undang tapi tidak adil sama dengan tidak ada undang-undang sama sekali” sedikit berprasangka positif mungkin tidak berlaku dinegara ini, sebab undang-undang yang jelas menjunjung tinggikeadilan hanya saja sangat miskin dan bertolak belakang diranah implementasi, sehingga proposisi dari St. Agustinus jika dihubungkan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia akan berubah menjadi ‘’ada undang-undang tapi tidak ada implementasi sama dengan tidak ada undang-undang sama sekali’’.
Ironisnya ruang publik kita hari ini hanya diisi oleh kaum-kaum petualang yang menggunakan gelar hebat tapi tidak ada isinya. Polemik terus-menerus dihadirkan untuk menghiasi publik setiap hari di media.Tetapi realitasnya polemik itu tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidak berdayaan menjadi keberdayaan.
Cita-cita kemerdekaan yang digariskan oleh para pendiri republik seolah luntur. Barangkali tak pernah disangka para pendiri republik jika akhirnya kemerdekaan yang telah diraih dengan darah dan pengorbanan untuk keluar dari jerat pikir penjajahan asing dan aseng, kembali lagi menuju penjajahan di bawah dalih kemerdekaan, ironisnya, penjajahan dalam arti yang lebih luas (politik, ekonomi, pendidkan, sosial, budayah) dilakukan oleh bangsa sendiri melalui berbagai persekongkolan jahat. Dalihnya kemakmuran, tapi yang jelas adalah ketertindasan.
Mengapa Harus Hukum Islam
Kesejahteraan berupa hidup di lingkungan yang nyaman, damai, jauh dari perbuatan zalim serta tegaknya keadilan hanya bisa diperoleh jika ditegakkannya syariat Islam secara kaffah. Sebab, hukum yang paling adil serta paling ideal untuk mewujudkan pemerintahan yang adil sehingga terbentuk masyarakat sejahtera adalah hukum dari Sang Pencipta. Demikian juga sebaliknya, ketika Syariat Islam mulai dijauhkan maka kesejahteraan hidup pun akan semakin sulit untuk diwujudkan.
Ajakan untuk menegakkan syariat dengan janji hidup sejahtera semacam ini ternyata tidak mudah diterima oleh sebagian orang. Bagi mereka, janji tersebut hanyalah semacam ilusi yang ada dalam pikiran kelompok radikal. Apalagi fakta yang terjadi selama ini belum mampu membuktikan hal tersebut.
Justru jaminan hidup sejahtera dengan syariat Islam sering dicibir oleh kaum sekuler. Faktanya, Afghanistan pernah menerapkan syariat Islam sebagai dasar undang-undang dalam bernegara. Tapi apa yang terjadi? ternyata rakyatnya tetap saja tidak mengalami kemajuan. Tidak ada perubahan yang signifikan.Bahkan yang terjadi adalah Afghanistan masuk salah satu negara yang tertinggal di antara negara-negara Asia lainnya. Jadi, janji kesejahteraan setelah adanya penerapan Syariat Islam hanyalah omong kosong dan jauh dari realitas yang ada.Lalu mengapa kita mesti berjuang untuk menerapkan Syariat Islam? Hal ini karena mereka menilai kesejahteraan dengan ukuran duniawi. Pembangunan dan industri, itulah alat ukur mereka terhadap kesejahteraan. Padahal Islam memiliki cara pandang sendiri dalam melihat kesejahteraan itu.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang di pagi hari merasakan keamanan pada diri dan keluarganya, sehat badannya dan memiliki makanan yang cukup untuk hari itu, maka seolah-olah dunia dan seiisinya telah dikumpulkan baginya.” (HR Tirmidzi)
Bagi seorang muslim, Allah adalah ha ahkamul kimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (QS. At-Tiin: 8).
Oleh sebab itu ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini bahwa, “Ayat ini bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan -yang benar- selain itu.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [6/423] cet. Dar Thaibah)
Tunduk kepada hukum Allah, ridha dengan syari’at-Nya, dan kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan merupakan konsekuensi keimanan dan penghambaan kepada Allah SWT.
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan berkata, “Demikianlah, memang sudah seharusnya seorang hamba menerima hukum Allah, sama saja apakah hal itu menguntungkan dirinya atau merugikannya, sama saja apakah hal itu sesuai dengan hawa nafsunya ataukah tidak.” (lihatal-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 103 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)
Ridha terhadap hukum Allah merupakan bagian dari sikap ridha terhadap rububiyah Allah dan ridha Muhammad sawsebagai utusan-Nya. Dari al-‘Abbas bin Abdul Muthallib ra, Rasulullah saw bersabda, “Akan merasakan manisnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim no. 34)
Hukum Allah adalah hukum yang tegak di atas keadilan. Allah SWT berfirman (yang artinya), “Apakah hukum jahiliyah yang mereka cari? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada [hukum] Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al-Ma’idah: 50)
Allah SWT berfirman (yang artinya), “Janganlah kebencian kalian terhadap suatu kaum menyeret kalian sehingga berbuat tidak adil. Berbuat adillah! Sesungguhnya hal itu (keadilan) lebih dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Allah SWT berfirman (yang artinya), “Dan jika kamu memutuskan hukum maka berikanlah keputusan hukum diantara mereka dengan adil.Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang menegakkan keadilan.” (QS. Al-Ma’idah: 42)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil dan ihsan (kebaikan), memberikan santunan kepada sanak kerabat, melarang dari perkara yang keji dan munkar serta melanggar hak orang lain.” (QS. An-Nahl: 90)
Alhasil, orang yang berpaling dari hukum Allah kepada hukum jahiliyah adalah orang yang telah melakukan kezaliman dan terjerumus dalam kesesatan.olehnya itu untuk terbebas dari segala kesesatan yang akan menjerumuskan kepada kesengsaraan maka hanya dengan menerapkan sistem islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam.