Oleh: Ummu Syaqieb
Film SIN menuai kontroversi. Tak sedikit masyarakat yang resah dengan hadirnya film tersebut karena khawatir berdampak negatif bagi penonton, terutama generasi muda. Film romansa yang diadaptasi dari novel Watppad 2017 dengan judul yang sama berkisah tentang cinta dua insan sedarah, dengan tagline 'Saat Kekasihmu adalah Kakakmu Sendiri'.
Sebelum SIN, film The Santri pun sama, menuai kontroversi. Sebagian masyarakat mengganggap film tersebut merusak akidah karena bermuatan pluralisme. Memang pada faktanya, film-film sarat kontroversi terus bermunculan. Seolah merupakan unsur kesengajaan menyelipkan nilai-nilai kontroversial untuk memancing minat calon penonton, demi meraup keuntungan.
Film merupakan media audio visual yang memang menarik untuk dinikmati. Namun, ada sisi lain yang jarang kita sadari. Film tak sekedar menyajikan tayangan, selalu mengandung nilai-nilai tertentu yang secara tidak sadar dipaksakan untuk sampai pada para penonton.
Antonio Gramci, filsuf Italia, melihat media, dalam hal ini film, sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan (Eriyanto, 2001). Ini berarti, film bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan kontrol atas wacana publik (Melisa Arisanty, Imperialisme Budaya Melalui Perangkulan Budaya Lokal di Balik Film Java Heat).
Salah satu teori yang mampu memberikan penjelasan tentang betapa kuatnya efek industri Hollywood Amerika adalah teori Cultural Imperialism. Cultural imperialism (imperialisme budaya) adalah teori yang dikemukakan oleh Herb Schiller pada tahun 1973. Secara ringkas, teori ini mengatakan bahwa negara-negara Barat mendominasi media di seluruh dunia.
Sehingga menghasilkan efek yang besar dalam mempengaruhi budaya Negara Dunia Ketiga dengan memaksa mereka untuk menggunakan persepsi Barat sehingga menghancurkan budaya asli daripada negara dunia ketiga tersebut.
Jelaslah, film tak semata sebagai tayangan, melainkan selalu bermuatan nilai-nilai ideologi tertentu. Masa kini, dimana dominasi ideologi kapitalisme atas dunia termasuk Indonesia, menjadikan film-film yang dihasilkan pun bermuatan ideologi ini. Nilai-nilai liberal, hedonis, pluralis, sekular selalu menjadi warna dalam film yang diproduksi.
Mirisnya, masyarakat muslim tidak memiliki sebuah institusi pun yang dapat melindungi mereka dari gempuran budaya bermuatan ideologi Kapitalisme. Padahal ideologi ini sangat bertentangan dengan akidah Islam.
Maka cara yang dapat dilakukan masih dalam ranah pribadi (individu). Dengan selalu memfilter tontonan yang ditayangkan, selaraskan dengan akidah Islam atau justru bertentangan? Tinggalkan tontonan yang berseberangan dengan nilai-nilai Islam.
Pahamkan orang-orang tercinta dan sekitar tentang bahaya tontonan merusak yang tidak berfungsi sebagai tuntunan. Dengan senantiasa berpegang teguh pada nilai-nilai Islam, semoga keselamatan dari invasi budaya kapitalis ini dapat kita raih. []