Dinasti Politik di Gedung Parlemen



Oleh: Ong Hwei Fang 
(Activist Literacy for Change)

Wajah baru Ketua DPR RI periode 2019-2024, Puan Maharani. Cucu Bung Karno, anak dari pasangan Taufiq Kiemas dan Megawati Soekarnoputri itu memantapkan pengaruh keluarganya dalam blantika politik nasional. Wanita kelahiran 6 September 1973 ini baru saja dilantik menjadi Ketua DPR RI. Inistri Hapsoro Sukmonohadi itu pun tercatat menjadi wanita pertama yang memimpin DPR RI.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) ini kerap mendapat sorotan sejumlah pihak yang menganggap dia tak kompeten pada saat menjabat sebagai menteri koordinator.Ujaran yang viral yakni meminta agar rakyat miskin diet dan kurangi makan. Gurauan Puan ini kemudian menjadi polemik. Puan dinilai tidak peka terhadap situasi dan kondisi rakyat miskin. Jika menelaah dari prestasi selama menjabat sebagai PMK, belumlah tuntas mengatasi permasalahan terkait pengangguran, kemiskinan. Lantas bagaimana program kerja kabinet yang dipimpin oleh Putri dari Megawati Soekarnoputri ini?

Melansir dari TEMPO.CO, Jakarta - Politikus PDIP, Puan Maharani, mengaku bangga karena partai menunjuknya menjadi calon Ketua DPR. "Pecah telor pimpinan DPR perempuan setelah 70 tahun. Semoga bisa menjadi inspirasi lah," kata Puan Maharani di Ruangan Fraksi PDIP, Lantai 7 Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan pada Selasa, 1 Oktober 2019.

Puan Maharani belum mau berkomentar banyak ihwal program kerjanya jika sudah menjadi Ketua DPR RI Periode 2019-2024. Puan menyebut, dia akan berkomentar lebih banyak jika sudah dilantik. Kendati demikian, Puan mengatakan, bahwa di bawah kepemimpinannya, DPR tidak akan banyak menghasilkan undang-undang. "Saya ingin kerja yang produktif, tapi tidak banyak undang-undang. Terpenting produknya matang. Tidak perlu banyak," ujar Puan Maharani di Ruangan Fraksi PDIP, Lantai 7 Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan pada Selasa, 1 Oktober 2019. Belajar dari banyaknya protes atas kerja DPR dalam membuat produk legislasi, Puan memastikan UU yang dihasilkan merupakan hasil sinergi pemerintah dan DPR serta mengakomodir aspirasi masyarakat.

Pada pelantikan DPR RI pada Selasa (1/10), sederet nama artis ikut dilantik, dan Puan Maharani disumpah sebagai Ketua DPR RI perempuan pertama. Beberapa artis itu adalah penyanyi Indonesia Krisdayanti dan Mulan Jameela, bersama 12 artis lainnya. Pelantikan DPR RI ini dilakukan di tengah unjuk rasa ganti revisi KPK dan RKUHP. Jokowi diperkirakan akan mengeluarkan Perppu KPK (walau ditolak oleh koalisinya), dan DPR baru akan segera mengambil langkah yang sesuai dengan RKUHP. Lantas, apakah wajah baru DPR akan mengalami kemajuan atau bahkan kemunduran, dalam kepemimpinan Puan? 

Trias Politica Omong Kosong

Hancur!, itulah komentar pertama publik setelah dilantiknya Puan Maharani sebagai ketua DPR RI. Sebentar lagi, Jokowi yang menjabat Presiden juga akan dilantik sebagai Presiden untuk periode kedua. Di sosial media, beredar viral foto Jokowi, Megawati, dan Puan Maharani saat mengklarifikasi posisi Puan yang namanya masuk dalam `daftar penerima duit korupsi e KTP` bersama Ganjar, dan geng PDIP lainnya. Saat itu, Mega begitu berang anak perempuannya dikabarkan santer masuk pusara korupsi e KTP.

Mega, ingin menunjukan kepada publik bahwa Presiden Indonesia adalah petugas partainya. Mega, memberi `instruksi` ke Jokowi untuk mengamankan Puan melalui Pres conference. Mega, memberi pesan kepada penegak hukum, jangan mengusik puan sebab puan berada dalam perlindungan Presiden yang tidak lain petugas partainya. Sekarang, saat Puan ketua DPR, Jokowi Presiden, runtuh sudah teori trias politica. Pemisahan kekuasan itu hanya mitos. Kekuasaan, realitasnya akan dijadikan sarana untuk berlaku sewenang-wenang.

Korupsi kekuasaan, apalagi kekuasaan yang absolute dimana eksekutif dan legislatif berada pada kendali mega, sudah pasti terjadi. Kutukan Lord Acton tentang kekuasaan yang absolut, pasti berlaku di negeri ini. Lalu, apa lagi yang bisa menjamin kepentingan rakyat difikirkan oleh penguasa ? Jika ada kebijakan negara, maka Megawati bisa mengundang Jokowi dan puan Maharani untuk kongkow, memberi instruksi kepada keduanya, dan dieksekusi.

Jokowi sebagai petugas partai, akan diberi tugas untuk membuat kebijakan yang pro kepada partai. Sementara, Puan akan ditugaskan untuk melegitimasi kebijakan Jokowi melalui lembaga yang dipimpinnya. Eksekutif dan legislatif, akan menjadi `alat tiran` yang efektif untuk menghisap darah rakyat. Sementara, bagi rakyat tidak ada pilihan lain kecuali merintis parlemen jalanan. Ketika, DPR tak lagi menjadi representasi rakyat, tapi justru alat legitimasi eksekutif, maka rakyat akan menempuh jalur parlemen jalanan untuk memperjuangkan hak-haknya. Apa yang dirintis oleh mahasiswa dan adik-adik STM, Kedepan akan menjadi sarana mainstream sebagai penyalur aspirasi rakyat.

Maka akan muncul parlemen jalanan lebih masif, fraksi jalanan, komisi jalanan, dan demo-demo paripurna yang menuntut dicabutnya mandat, dikembalikannya kedaulatan, dan memotong tangan-tangan kekuasaan. Selamat datang, di era bar bar politik dimana setiap perselisihan akan diselesaikan melalui mimbar-mimbar jalanan. Selamat datang mahasiswa dan adik-adik STM, karena kedepan kalianlah wakil rakyat sejati, penyambung lidah rakyat. (Law-justice.co. 8/10/2019)
Paradoks Demokrasi

Demokrasi secara ideal dirumuskan oleh Abraham Lincoln sebagai sebuah sistem pemerintahan yang didasarkan atas prinsip kedaulatan dari, oleh dan untuk rakyat. Melalui sistem pemilihan tertentu, transformasi kedaulatan rakyat tersebut diwujudkan dalam proses pemberian suara untuk meraih jabatan politik tertentu. Dalam kekuasaannya, aspirasi masyarakat akan diperjuangkan melalui mekanisme yang telah disepakati. Vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Benarkah secara faktual dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat?

Anggapan yang menyatakan kedaulatan ada di tangan rakyat jelas keliru. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para elit wakil rakyat, termasuk elit penguasa dan pengusaha. Bahkan kebijakan dan keputusan pemerintah sering dipengaruhi oleh kepentingan para pemilik modal, baik lokal maupun asing. Tidak aneh jika banyak UU atau keputusan yang merupakan produk lembaga wakil rakyat (DPR) maupun Presiden-yang katanya perpanjangan dari kepentingan rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat-sering bertabrakan dengan kemauan rakyat. Betapa sering kebijakan pemerintah yang diamini para wakil rakyat justru didemo oleh rakyat sendiri.

Ketergantungan parpol pada jalur ekonomi sebenarnya merupakan suatu hal klasik dan wajar. Sebab, partai-partai memerlukan dana untuk berbagai macam kegiatannya. Namun, dalam demokrasi, nampaknya kerjasama aktor-aktor dan instrumen politik dengan aktor-aktor dan instrumen ekonomi telah membentuk suatu lingkaran setan. Pada saat akan terjadi pemilihan umum, para konglomerat berupaya memasang perlindungan bagi bisnisnya agar tidak rontok di tengah jalan dengan mengucurkan dana kepada partai-partai yang diprediksi akan meraih suara cukup banyak.

Pengkritik demokrasi seperti Gatano Mosca, Cilfrede Pareto dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya yang berkuasa adalah sekelompok kecil orang atas kelompok besar. Khusus kasus di Indonesia, kelompok mayoritas adalah Muslim, tetapi kenyataanya yang senantiasa diuntungkan adalah kelompok non-Muslim karena kekuasaan atau modal dimiliki oleh kelompok minoritas non-Muslim. Hal senada juga dinyatakan oleh Benjamin Constan. Ia menyatakan bahwa demokrasi membawa masyarakat menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.

Konsep Suara Mayoritas

Memang benar, realitasnya masyarakat tidak mungkin semuanya duduk di pemerintahan. Oleh karena itu, suatu hal yang wajar muncul konsep perwakilan rakyat. Suatu hal yang patut dicermati adalah klaim sistem demokrasi terhadap suara mayoritas wakil rakyat di parlemen sebagai suara mayoritas rakyat.

Dalam kenyataannya, telah terjadi pengalihan dari mayoritas rakyat ke minoritas rakyat. Bagaimana tidak, untuk menjadi anggota legislatif seseorang perlu mengantongi suara dengan kuota tertentu. Konsekuensinya, seorang wakil rakyat setara dengan jumlah rakyat dengan kuota tersebut. Setiap pikiran, saran, sikap, dan keputusan dari setiap anggota legislatif dianggap selalu setara dan senantiasa mewakili sejumlah orang tersebut. Padahal, realitasnya ‘’wakil rakyat’’ tersebut tidak pernah meminta pendapat rakyat yang diwakilinya, rakyat tidak dapat mengoreksi apalagi memecatnya. Kalaupun di-recall bukan oleh rakyat melainkan oleh pimpinan partainya.

Dengan demikian, sebenarnya keputusan-keputusan yang diambil oleh para anggota legislatif sekalipun diakukan sebagai suara rakyat, hakikatnya telah beralih kepada suara anggota legislatif itu secara individual. Satu hal lagi, apakah suara mayoritas itu pasti benarnya? Bila jawabannya didasarkan pada pelogikaan manusia maka boleh jadi ya. Namun, ternyata Allah SWT Dzat Yang Maha Tahu menyatakan sebaliknya. Kebenaran bukan ditentukan oleh mayoritas atau minoritas suara melainkan ditetapkan berdasarkan dalil syar’i.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Jimly Asshiddiqie pernah mengatakan dalam kesempatan Silaknas ICMI di Pekanbaru, bahwa demokrasi memang telah membawa cacat bawaan. Nah, mestinya kita tidak terjebak dalam pola pikir democratic trap (jeratan demokrasi). Untuk memperbaiki negeri ini kita harus keluar dari kotak pemikiran konvensional (out the box), sehingga akan muncul pikiran-pikiran alternatif yang jernih, tidak sekedar defensif apologetik tatkala menghadapi serbuan pemikiran dari Barat. Karena sebagaimana kata Samuel P Huntington, Barat menjadi maju bukan karena keunggulan pemikiran, ide atau agamanya namun karena kemampuan mengelola kekacauan alias imperialisme. Lantas untuk apa kita ikut-ikutan mengadopsi dan memasarkan ide-ide Barat ? Wallahu a’lam bi-showab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak