Dibalik Tabir Pemilihan Pemimpin Demokrasi Vs Islam



Oleh: Yanti Nuryanti

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara Indonesia dari tahun 1945 sampai sekarang dalam sisi pemerintahan menerapkan sistem Demokrasi. Dimana semboyan yang dimiliki oleh sistem ini adalah "Dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat". Salahsatu contohnya pada saat memilih seorang pemimpin negara. Pemilihan pemimpin tersebut melalui proses Pemilu yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia.

Apabila kita sekilas menengok sepak terjang pemilihan kepala negara di Indonesia, dimana yang kita tahu belum lama ini Indonesia mengadakan Pilpres yang notabene diadakan secara rutin setiap 5 tahun sekali dan sudah seperti pesta demokrasi 5 tahunan di negeri ini. Mirisnya, pemilu tahun 2019 ini bisa dikatakan sebagai pemilu yang paling kacau dan brutal. Kenapa? karena, Bagaimana bisa sebuah Pemilu yang "aman" tanpa todongan senapan atau ledakan bom, mampu menelan banyak korban jiwa. Apakah jadi tumbal pemilu Demokrasi?.

Demokrasi hanya menjadikan rakyat sebagai obyek penderita yang suaranya saja dibutuhkan untuk formalisasi proses, bukan untuk mewujudkan kehendak rakyat. Pengadaan Pilpres tahun 2019 telah menguras anggaran yang sangat besar mencapai Rp.25,59 triliun, tidak hanya itu waktu, tenaga, pikiran serta proses yang terbilang rumit dan berbelit bahkan nyawa manusia jadi taruhannya.

Tentu hal itu sangat tidak efisien, efektif dan merugikan banyak rakyat terlepas dari halal-haramnya kepemimpinan Demokrasi.

Pesta Demokrasi tidak hanya dapat dirasakan di dunia nyata saja. Ternyata juga bisa dirasakan didunia maya, seiring dengan perkembangan zaman yang sekarang serba digital, mudah dan cepat respon. Salah satunya adalah dengan adanya para yang menyebar berita dan isu seputar pilpres. Lalu siapakah mereka? Ya, Mereka adalah para Buzzer yang mempunyai tugas mempromosikan kandidat, tokoh atau isu untuk menjatuhkan lawan politiknya.

Sarana yang digunnakan para Buzzer biasanya melalui akun media sosial dengan bnyak memiliki pengikut seperti Twitter, facebook, Instagram, Youtube dan media sosial lainnya. 

Ternyata para Buzzer itu biasanya bekerja berkelompok dan dibagi kedalam 3 tugas yaitu:
1. Perayu: bertugas mempengaruhi lawan politik yang dianggap potensial agar tidak jadi mencalonkan diri.
2.  Pelaku Propaganda: bertugas melemparkan suatu argumen, foto atau video untuk mengubah opini publik ke arah negatif terhadap lawan politik. 
3. Pembully: bertugas  menyerang secara terbuka lawan politik berupa fitnah, hoax atau berita bohong untuk mengubah persepsi masyarakat.

Belum lama ini ada penelitian oleh para ilmuwan dari Universitas Oxford yang menyatakan bahwa indonesia adalah salah satu negara pengguna buzzer dari 70 negara didunia pada tahun 2019 ini. Sangat aktif dan ramai pada saat adanya pilpres dan bahkan setelah pilpres berakhirpun para Buzzer masih terus melancarkan aksinya membuat berita-berita atau isu bernada negatif yang ditujukan kepada pemerintah maupun partai-partai politik untuk memecah belah publik. 

Selain itu menurut penelitannya. Para Buzzer di Indonesia dikontrak oleh pemerintah atau partai politik tidak secara permanen. Biasanya mereka dibayar kisaran harga Rp 1 juta sampai Rp 50 juta. Lalu alat yang digunnakannya adalah akun-akun palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan bot. (www.faktakini.com 04/10/19)

Sampai disini sudah jelas bahwa seorang pemimpin yang terpilih dari jalur sistem Demokrasi yang penuh dengan kebobrokan dan tegak diatas fondasi kebohongan hasil produksi para buzzer bayaran. sudah tentu pemimpin yang dilahirkan pun akan melahirkan berbagai kebohongan pula.

Pemilihan pemimpin dalam sistem Islam.

Penjabaran diatas berbanding terbalik dengan sistem Islam. Didalam Islam seorang pemimpin negara dipilih melalui pembaiatan bukan melalui pemilu. Proses penetapan seorang pemimpin harus memenuhi syarat In'iqad yaitu laki-laki, muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. dipilihnya pun tidak mesti harus rakyat langsung. karena, pengangkatan pemimpin hukumnya Fardhu Kifayah. Jadi, kalau ada representasi dari umat.Misal dari Majelis umat, maka Fardhu Kifayah itupun terpenuhi. Sehingga pemimpin bisa di baiat In'iqad. Setelah itu baru seluruh rakyat wajib membaiatnya dengan baiat tha'at. Pada saat itulah rakyat telah menyerahkan pengurusan semua hajatnya kepada pemimpin negara.

Dalam sistem Islam tidak di berlakukan pemilihan berkala yang membuang banyak energi, biaya serta waktu. Selama seorang pemimpin masih terjaga dari pelanggaran hukum syara, adil, qaadir dalam melaksanakan tugas kenegaraan. Maka, pemimpin tersebut masih boleh menduduki jabatannya tanpa ada batas waktu.

Jadi, sudah jelas bahwasanya hanya sistem Islamlah satu-satunya sistem pemerintahan yang bisa menjamin kesejahteraan dan ketentraman bagi seluruh umat. Karena, diatur oleh hukum syara yang berasal dari Allah Subhanahu Wata'ala tanpa ada kecacatan didalamnya, Akuntabel dan memiliki daya solusif yang tinggi. 

Wallahu'alam bi shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak