Di Balik Indahnya BPJS






Oleh: Utami Az-Zahra


Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fachmi Idris terlihat menyambangi Kantor Bareskrim Polri, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa (18/9/2018).

Pemerintah tengah menyiapkan aturan yang secara otomatis bisa memberi sanksi terhadap penunggak iuran BPJS Kesehatan ketika membutuhkan pelayanan publik, seperti perpanjangan SIM, pembuatan paspor, dan IMB.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan, pemberlakuan sanksi layanan publik itu untuk meningkatkan kolektabilitas iuran peserta BPJS Kesehatan dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

"Inpresnya sedang diinisiasi untuk sanksi pelayanan publik. Selama ini sanksi ada, tapi hanya tekstual tanpa eksekusi karena itu bukan wewenangnya BPJS," kata Fachmi di Jakarta, Senin (7/10/2019).

Melalui regulasi instruksi presiden ini, pelaksanaan sanksi layanan publik akan diotomatiskan secara daring antara data di BPJS Kesehatan dan basis data yang dimiliki oleh kepolisian, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil, Badan Pertanahan Negara, dan lain-lain.

Maka, apabila ada seseorang yang ingin mengakses layanan publik, seperti memperpanjang SIM tapi masih menunggak iuran, sistem yang terintegrasi secara daring tidak bisa menerima permintaan tersebut.(Kompas.com 8/10/2019)

Bahkan bukan hanya itu, demi mengejar Bu tunggakan iuran pesertanya, BPJS Kesehatan mengerahkan 3.200 orang penagih yang disebut kader JKN.(Tempo.co 11/10/2019)


   Jaminan kesehatan seakan mendadak viral saatini,dimana betapa  banyak permasalahan yang bekaitan dengan BPJS. Badan Jaminan kesehatan yang sudah menjadi favorit bagi masyarakat saat mereka sakit seolah-olah sudah menjadi tumpuan harapan untuk mendapatkan layanan kesehatan yang murah dan mudah di akses bagi siapapun.

Tidak dipungkiri ketika berdirinya BPJS masalah sudah banyak terlihat, namun terdapat sesuatu yang menarik dari beberapa tahun ini pemerintah selalu mengeluhkan BPJS selalu mengalami defisit alias tekor sejak 2014, bahkan defisit diperkirakan akan mencapai Rp. 32,84 Triliun.

Direktur utama BPJS Pof. Dr.dr. Fachmi Idris mengungkapkan setidaknya ada penyebabnya. Salah satu yang terngiang kuat opini di publik adalah premi yang ditetapkan pemerintah belum sesuai hitungan aktuaria, contohnya untuk kelas 2 besarnya biaya Rp.51.000/ bulan saat ini seharusnya naik menjadi Rp.63.000 (detiknews.com/senin/09 sep 2019).

Dan ada hal yang lebih menarik lagi yang di kemukakan oleh Wakil Ketua DPR Fadli Jon menyatakn bahwa kenaikan iuran BPJS mestinya tidak harus dibebankan kepada masyarakat dan melawan logika unsur jaminan social. ( sloops.com, 8 september 2019).

Dari hal ini bisa kita telaah lebih cermat, bahwa jaminan kesehatan selama ini sangat bergantung pada Premi yang dibayar oleh peserta BPJS.

Pemerintah akan ambruk. Pabila dana yang ada untuk mengelola pelayanan kesehatan ini tidak cukup digunakan untuk jaminan kesehatan tersebut. Dari pemaparan ini, dapat digambarkan bahwa premi merupakan satu pokok penting di dalam penyelenggaraan JKN di Negeri ini.

Secara tidak langsung Jaminan kesehatan sama dengan Asuransi kesehatan. Maka jika seseorang tidak membayar Premi maka, terputuslah layanan tersebut. Bahkan sistem dendapun berlaku bagi peserta yang sudah terdaftar. Dalam Islam seperti apakah pandangan ini?

KONSEP JAMINAN KESEHATAN DALAM PANDANGAN ISLAM DAN KONSEP RASULULLAH SAW.


Majelis ulama Indonesia sejak tahun 2015 sudah menetapkan bahwa BPJS merupakan produk haram. Keputusan ini ditetapkan dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa yang di gelar di Ponpes at-Tauhidiyah , Cikura Tegal .

Konsep BPJS di jaman Rasulullah atau disini disebut sebagai Konsep Jaminan sosial berbeda jauh dengan apa yang diterapkan saat ini. Rasulullah memberikan pelayanan kepada warganya tanpa memungut biaya sepeserpun.

Dalam pandangan hukum Islam, haram hukumnya pemerintah menyelenggarakan jaminan kesehatan nasional berdasarkan UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 tahun 2011 tentang BPJS. Dari hal ini, kata “Jaminan” tidak layak di sebutkan dalam penyelenggaraan kesehatan, tetapi justru lebih tepatnya menjadi ”ASURANSI KESEHATAN.

Jika Negara sudah menjamin, seharusnya Negara harus mampu melaksanakan peran sentralnya dan bertanggung jawab penuh terhadap segala urusan rakyat. Rasulullah tidak pernah memungut biaya bagi umatnya untuk memperoleh jaminan kesehatan, hal ini terdapat dalam HR. Muslim 2207, yaitu pada saat salah seorang sahabat sedang sakit, dan dokter memotong urat dan mengobatinya. Dalam hadits tersebut, Rasulullah sebagai kepala Negara islam telah menjamin kesehatan rakyatnnya secara gratis dan Cuma-Cuma.

Jika melihat hal ini, permasalahan defisitnya anggaran dana untuk penyelenggaraan kesehatan di Indonesia seharusnya tidak dibebankan kepada rakyat. Karena rakyat sudah memiliki beban tanggungan yang sudah di milikinya.

Krisis ekonomi dan sulitnya mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat juga harus di pikirkan oleh pemerintah, karena sejatinya pemerintah adalah pihak yang paling bertanggung-jawab ketika rakyat butuh pelayanan kesehatan. (***)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak