Demokrasi, Kok Anti Koreksi?


ilustrasi :google


Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, Member Akademi Menulis Kreatif)

Isuk dhele, sore tempe (peribahasa Jawa)

Apa boleh buat, peribahasa itu yang terlintas di benak terkait kondisi saat ini.  Demokrasi yang sebelumnya digemborkan memuja kebebasan berbicara dan berpendapat  ambigu kini.  Entah apa yang merasuki, namun laporan terhadap  status yang  diklaim memuat ujaran kebencian makin rajin berseliweran.  

Harus diakui kala media mainstream oleh sebagian kalangan mengarah ke corong penguasa, maka media sosial tampil sebagai alternatif pengganti.  Tumpah ruah netizen meluapkan aspirasi di berbagai akun yang dimiliki.  Sayang belakangan hadir UU ITE yang kerap menjerat akun yang mengkritisi.  Tak sedikit cuitan bernada kritik pada rezim berimbas dibungkam hingga  dieliminasi. 

Terbaru Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sampai turun tangan.  Meminta seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) di seluruh instansi Kementerian/Lembaga (K/L) pemerintah  untuk selalu berhati-hati dalam menggunakan media sosial. Para ASN diharapkan menyebarkan pesan-pesan perdamaian, baik di dunia maya dan juga di dunia nyata sebagai upaya untuk menjaga persatuan.

Hal ini, kata Suhardi, agar para ASN tidak mudah terpengaruh terhadap hasutan yang timbul dari ujaran kebencian sehingga dapat terpengaruh dengan paham kekerasan yang berujung pada paham radikal terorisme yang dapat merusak persatuan bangsa. (suaraislam.id, 25/10/2019).

Pertanyaannya, sejauh mana yang dikatakan radikal terorisme?  Apakah  sebatas kritik maupun koreksi atas kebijakan penguasa sudah layak diberi stigma?  Lalu  bentuk komunikasi seperti apa yang diinginkan antara penguasa dan rakyatnya?  Sekedar ucapan setuju, mengangguk disertai puji dan puja? Memprihatinkan.

Kebebasan Atas Nama Demokrasi, Sebuah Ilusi?

Konon demokrasi disanggah 4 pilar kebebasan.  Salah satunya hak menyampaikan pendapat dengan menyuarakan aspirasi dan mengkritik penguasa. 

Tapi mengapa kini berbeda?  Kran aspirasi rakyat justru seakan perlahan disumbat.  Bahkan tak sedikit akun yang kerap vokal mengkritisi harus siap sewaktu-waktu hilang tanpa limit.  Seperti yang dialami akun  Rocky Gerung yang dikenal kritis oleh 1,3 juta follower-nya. (tribunnews, 19/10/2019).  

Wajar bila  batasan penggunaan media sosial seperti di atas bisa   dinilai  mencerminkan arogansi kekuasaan politik dan ekonomi semata, alih-alih untuk mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat.  (Agus Sudibyo, Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagad Media).

Semakin nyata kebebasan yang dielu-elukan hanya ilusi.  Membatasi segala bentuk aspirasi ASN yang notabene bagian dari rakyat tak pelak malah menggiring demokrasi untuk harakiri.  

Apalagi melekatkan standar karet dalam hal radikalisme dan terorisme.  Berbeda dengan rezim berarti radikal dan dimusuhi, sedang yang sejalan disambut  sepenuh hati.  Adapun  masalah kebijakan apakah pro rakyat atau tidak malah tak pernah dikaji. Bila demikian, masihkah berharap pada demokrasi?

Tegaknya Muhasabah dengan Islam

Ya, sebab pemimpin negara dalam Islam wajib menjamin tegaknya syariat secara kaffah.  Bersumber dari risalah Islam yang sempurna dan menyeluruh.   

Diketahui setelah Rasul saw. wafat, maka tugas memimpin umat berpindah ke pundak para imam (khalifah) kaum Muslimin.
Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkamus Sulthaniyah, 1/3 berkata, “Kepemimpinan adalah pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengannya.”
Imam Ar-Ramli menyebutkan, ”Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki posisi sebagai pengganti kenabian dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.” (Al-Imam Muhammad ar-Ramli, Nihâyat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, Juz 7, hal 289)

Tetapi harus dicamkan  pemimpin ialah seorang manusia biasa. Berpotensi untuk salah dan khilaf  karena hanya Nabi yang dijamin kebenarannya.

Maka kritik, koreksi atau dikenal juga dengan muhasabah adalah suatu keniscayaan.  Terlebih jika dibuktikan adanya kezaliman atau pelanggaran atas syariat yang dilakukan.  Maka saat itu Islam mewajibkan setiap warga negara memberikan saran maupun kritik terhadap pemimpin. 

Perbuatan ini bahkan digolongkan sebagai bagian   dari ketaatan pada perintah Allah yang  wajib yaitu amar ma’ruf nahi munkar alias dakwah.  Hebatnya lagi, kelak di Yaumul Hisab pelakunya  disandingkan dengan penghulu para syuhada, Hamzah bin Abdul Mutholib ra.

Sabda Rasul saw.,

“Penghulu para Syuhada adalah Hamzah bin Abdul Mutholib dan seseorang yang berdiri di hadapan pemimpin zalim lalu ia menasihatinya dan melarangnya, lalu pemimpin itu membunuhnya.” (Hadits Shahih dalam Mustadrak ‘ala shahihain, imam Al Hakim no. 4884). 

Mari simak kisah yang masyhur  ketika pengangkatan Umar Bin Khattab ra. menjadi khalifah. Beliau berbicara di hadapan semua orang  dan mengatakan bahwa dirinya khawatir tidak akan ada sahabat yang berani meluruskan. Maka berdirilah seorang pemuda sambil mengangkat pedangnya lalu berkata lantang, “Ya Umar laksanakan perintah Allah atau pedang ini yang akan meluruskanmu.”  Umar pun tersenyum.

Hal yang sama terjadi di masa khalifah Umar bin Abdul Aziz.  Suatu hari, usai mengurus pemakaman jenazah saudaranya,  Sulaiman bin Abdul Malik,  khalifah Umar bin Abdul Aziz pulang ke rumah untuk istirahat sejenak. 

Tiba-tiba Abdul Malik bin Umar, putranya menghampiri
dan bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah gerangan yang mendorong Anda membaringkan diri di siang hari seperti ini?” Umar bin Abdul Aziz pun tersentak  menjawab pertanyaan putranya, “Aku letih dan butuh istirahat sejenak.”

“Pantaskah engkau beristirahat, padahal masih banyak rakyat yang teraniaya?” kata sang anak dengan bijak. “Wahai anakku, semalam suntuk aku menjaga pamanmu. Nanti usai Zuhur aku akan mengembalikan hak-hak orang yang teraniaya,” jawab Umar.

“Wahai Amirul Mukminin, siapakah yang dapat menjamin Anda hidup sampai Zuhur jika Allah menakdirkanmu mati sekarang?” kata Abdul Malik. Umar bin Abdul Aziz terperangah.

Lalu, ia memerintahkan anaknya  mendekat, menciumnya  sembari berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan kepadaku anak yang telah membuatku menegakkan agama.” 

Masih banyak lagi kisah lainnya yang dicatat sejarah dengan tinta emas.  Betapa mutiara hikmah bertaburan memberi pelajaran bagi kita untuk meneladaninya. Bahwa sistem yang baik datang dari Yang Maha Baik niscaya mengentaskan pribadi-pribadi yang baik pula.  Kokoh menggenggam ketaatan, tak gentar menyuarakan kebenaran, utamanya menolong agama Allah dan Rasul-Nya.  Wallaahu a’lam.   





Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak