Demokrasi Anti Kritik, Benarkah?



Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

(Pemerhati Sosial Masyarakat)


Tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat saksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto.

Tidak tanggung-tanggung, suami-suami mereka dicopot dari jabatannya masing-masing ditambah penahanan selama 14 hari. Bukan hanya itu, TNI juga melaporkan istri tiga anggotanya ke polisi terkait konten negatif (UU No 19 Tahun 2016 tentang ITE) terkait penusukan Wiranto yang diunggah di media sosial (KONTAN.CO.ID, 12/10/2019).

Kepala Subdinas Penerangan Umum TNI AU Kolonel (Sus) Muhammad Yuris dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/10) menjelaskan bahwa dalam urusan politik, posisi prajurit TNI AU dan keluarganya (KBT/Keluarga Besar Tentara) harus netral.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kapendam) XIV Hasanuddin Letnan Kolonel Maskun Nafik. Ia menjelaskan, sikap atau pernyataan seorang istri perwira atau personel TNI bisa berimplikasi menjadi gangguan atau polemik di dalam kondisi sosial masyarakat yang akan menjatuhkan kehormatan sang prajurit militer.

Nyata betapa hari ini rezim sedang panik dan berusaha menghambat gelombang kritikan masyarakat sekuat tenaga. Mereka sebenarnya sadar bahwa fakta berbicara lain, mereka sudah diujung tanduk. Keruntuhan bagi keangkuhan dan arogansi mereka akan segera lenyap.

Hal ini mudah saja dianalisa mengapa seakan dipaksakan oleh penguasa, agar kegagalan mereka memberikan rakyat sejahtera tidak bergulir menjadi opini yang akhirnya justru merugikan mereka. Keambiguan, inilah ciri paling menonjol dari  rezim Demokrasi yang seolah menjamin kebebasan berpendapat, namun faktanya anti kritik.

Rakyat memang tak sebodoh dulu. Berbagai penderitaan yang mereka hadapi kiranya sudah berhasil memunculkan kesadaran jika mereka tidak sedang baik-baik saja. Mereka dizalimi dan tidak mendapatkan apa yang seharusnya didapatkan rakyat dari negaranya. Bak anak ayam kehilangan induknya.

Demokrasi memang akan memunculkan tirani minoritas atas mayoritas. Karena dalam sistem ini, kekuasaan adalah alat kepentingan individu atau kelompok. Jika demokrasi mengklaim prinsipnya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hari ini bisa dibuktikan hari ini bisa begitu mudah ditelanjangi rakyat, karena semua berbalik 180 derajat sejak penguasa mengumbar janji di musim pemilihan atau kampanye.

Padahal muhasabah lil hukam atau memberi nasehat kepada penguasa adalah kewajiban masyarakat. Karena jika penguasa dalam keadaan lalai bahkan zalim tentu rakyatlah yang menjadi korban, karena penguasalah pihak yang mengeluarkan aturan atau kebijakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةٍ ، إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (bukan maksiat).” (HR. Bukhari no. 7257), Rasulullah SAW juga bersabda

عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ ، فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Seorang muslim wajib mendengar dan taat dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (HR. Bukhari no. 7144).

Pengertian makna hadist di atas, jika seorang muslim biasa saja boleh dikritik, apalagi seorang penguasa muslim yang ia mendapat amanah syara mengurusi urusan rakyatnya. 

Sistem Islam bukan sistem anti kritik. Rakyat, siapapun dia, terbuka menyampaikan muhasabah atau kritik sebagai kontrol. Tapi tentunya kritikan harus berbasis pada standar yg sama, yakni akidah dan hukum syara. Banyak cara untuk memberi masukan atau kritikan, selain bisa disampaikan langsung juga bisa melalui Majelis Umat. Dimana Majelis Umat ini berisikan wakil-wakil rakyat. Yang mereka dikenal dan bergaul dengan rakyat.

Namun ada fungsi utama yang membedakannya dengan majelis perwakilan dalam sistem hari ini. Majelis Umat tidak melegalisasi hukum, ia hanya berfungsi muhasabah lil hukam, mengkritik sekaligus memberi masukan terhadap semua pelaksaan hukum syara oleh Khalifah. Semua agar tidak ada penyimpangan, penerapannya sesuai dan tidak ada kesalahan. Karena aktifitas utama Khalifah adalah menerapkan syariat, satu-satunya hukum tertinggi dalam daulah. 

Wallahu alam bi a' showab.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak